Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia: "Bukan Cintanya yang Terlarang, Hanya..."

Konten dari Pengguna
18 April 2018 16:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dara Nanda Vitera tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia: "Bukan Cintanya yang Terlarang, Hanya..."
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Pernikahan dini~ Bukan cintanya yang terlarang~ Hanya waktu saja belum tepat, merasakan semua~~"
ADVERTISEMENT
Apakah saat membaca penggalan kalimat di atas kamu sekaligus menyenandungkannya? Jika iya, kemungkinan besar kamu adalah penikmat sinetron kebanggaan tanah air yang muncul di tahun 2000-an awal, Pernikahan Dini, karena penggalan tersebut merupakan bagian dari lirik yang menjadi musik pengiring di awal dan akhir sinetron tersebut. Sinetron yang menampilkan Agnes Monica dan Syahrul Gunawan saat remaja tersebut sesuai judulnya mengangkat tema pernikahan dini yang menjangkit anak Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dini (Agnes Monica) berpacaran dengan Gunawan (Syahrul Gunawan) setelah sempat membenci satu sama lain. Singkat cerita, suatu hari Dini yang seorang anak orang kaya mengadakan pesta ulang tahun di vila milik keluarga bersama teman-temannya, dan sudah tentu kekasihnya. Dini yang larut dalam keriaan pesta kemudian melepas lelah dengan tidur satu ranjang dengan Gunawan.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu kemudian, Dini dikabarkan hamil. Ia dan Gunawan kelimpungan. Orangtuanya yang akhirnya mengetahui kabar tersebut kemudian menikahkan keduanya. Dalam menjalani kehidupan berumah tangga di usia belia, Dini dan Gunawan digambarkan sering terlibat cekcok dan tak jarang membuat susah orang di sekitarnya. Menikah bagi mereka kemudian terasa seperti mimpi buruk.
Fenomena Pernikahan Dini
Di Indonesia, penolakan perkawinan anak sudah diangkat sejak Kongres Perempuan I pada tahun 1928. Namun pada praktiknya, pernikahan dini masih kerap dijalani dengan beragam latar belakang. Pernikahan dini sering dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan serta tekanan sosial. Padahal eksesnya yang justru menambah problem kemanusiaan adalah meningkatnya angka perceraian, angka kekerasan dan eksploitasi (KDRT) hingga angka kematian.
ADVERTISEMENT
UNICEF Indonesia melalui risetnya yang dirilis tahun 2016 menemukan bahwa satu dari empat anak berusia kurang dari delapan belas tahun menikah setiap hari. Untuk itu terdapat sekitar 340.000 anak Indonesia menikah setiap tahun. Wajar kiranya bila kemudian Indonesia menjadi negara tertinggi ketujuh dunia dari jumlah praktik perkawinan anak.
Baru-baru ini, tanah air kembali dihebohkan dengan sepasang remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mendesak untuk dinikahkan di bawah naungan negara. Salah satu alasan mereka yang cukup mengejutkan nalar adalah salah satu dari mereka selama ini takut tidur sendiri dan untuk itu butuh teman tidur. Pemahaman akan pernikahan yang dangkal seperti ini membuktikan bahwa sosialisasi dan literasi mengenai pernikahan terhadap remaja menemui urgensinya yang serius.
ADVERTISEMENT
Di Kolumbia misalnya, pernikahan serta kehamilan dini juga dialami oleh satu dari lima remaja perempuan di bawah usia delapan belas tahun. Pemerintah Kolumbia mengalami kekhawatiran cukup mendalam untuk hal ini dan untuk itu mereka bekerjasama dengan perusahaan teknologi menelurkan inovasi pencegahan kehamilan dini.
Para remaja laki-laki dan perempuan di Kolumbia dipinjami "bayi" untuk dirawat mereka secara mandiri. Bayi tersebut merupakan bayi robot yang dapat menangis ketika lapar, buang air ataupun menginginkan sesuatu. Sejumlah pelajar mengaku kewalahan dengan aktivitas tersebut dan mulai memikirkan ulang soal risiko-risiko memiliki relasi intra-personal yang intim.
Pendidikan Sebagai Obat Penawar
Deputi Perwakilan UNICEF Indonesia, Lauren Rumble mengaku bahwa hasil riset lembaganya menunjukkan bahwa mayoritas anak perempuan sebenarnya tidak ingin menikah apalagi hamil di usia muda. Hanya saja, mereka mengalami akses yang sulit terhadap banyak hal, salah satunya pendidikan. Anggapan bahwa perempuan hanya bertanggung jawab untuk hal-hal domestik juga yang membuat perempuan kurang termotivasi untuk menempuh liku pendidikan. Membangun biduk rumah tangga terlihat seolah yang paling realistis.
ADVERTISEMENT
Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa semakin banyak perempuan Indonesia yang membutuhkan pendidikan supaya dapat mengakses lebih banyak peluang di kemudian hari, selain daripada menikah dan hamil di usia muda, dan tidak bergantung lekat-lekat kepada orang lain selain dirinya. Bukan rahasia lagi bila perempuan dianggap tidak lebih kompeten dibanding laki-laki dalam hal pengetahuan, padahal nyatanya tidak.
Hal ini yang kemudian pula menarik perhatian DANAdidik sebagai penyedia layanan pinjaman pendidikan yang ramah dan berorientasi pada pelajar, khususnya perempuan. Melihat ketimpangan akses yang nyata terjadi antara perempuan dan laki-laki serta antara si kaya dan si miskin, DANAdidik terpanggil untuk mengabdikan diri melahirkan kemudahan dalam akses pendidikan, agar pelajar khususnya perempuan di luar sana dapat mantap memilih untuk berdiri di atas kaki sendiri.
ADVERTISEMENT