Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
PILKADA dan Peringkat Korupsi Indonesia
1 Maret 2018 18:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Darmawan Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi: Pilkada dengan sarat permainan duit. Karikatur | surveicalonwalikota.blogspot.co.id
Peluit pertarungan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 telah dibunyikan. Masing-masing calon tengah gencar-gencarnya melakukan kegiatan kampanye. Semua partai dan relawan kini mulai memanaskan mesinnya untuk menggalang simpati dan dukungan masyarakat di tingkat akar rumput. Semua calon kepala daerah mengeluarkan berbagai slogan termasuk anti-korupsi sebagai salah satu mantra menggaet simpati pemilih. Tercatat sebanyak 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tahun 2018. Ini merupakan kali ketiga setelah 2015 dan 2017 lalu Indonesia berhasil melaksanakan Pilkada langsung secara serentak.
ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri bahwa upaya pemenangan yang dilakukan sejak jauh-jauh hari oleh para calon yang berkompetisi memerlukan dana yang cukup fantastis. Sebagai contoh, untuk penggandaan selebaran foto atau visi misi calon saja membutuhkan biaya hingga ratusan juta rupiah. Belum lagi biaya-biaya lainnya seperti iklan TV, baliho, transportasi tim kampanye, dll. Pertanyaanya kemudian adalah siapa yang akan menanggung biaya-biaya tersebut?.
Partai politik pengusung tentu akan mencari berbagai solusi untuk pendanaan pemenangan jagoannya. Kita sering mendengar istilah “mahar politik” yang harus dibayar oleh sang calon ketika ingin mendapat rekomendasi partai untuk maju ke arena pertandingan. Hal tersebut dijustifikasi sebagai ongkos yang harus disediakan sang calon untuk mendukung proses pemenangannya.
Dalam penelitian KPK tahun 2016, ditemukan bahwa calon wali kota atau bupati rata-rata mengeluarkan Rp20-30 miliar. Sedangkan ongkos politik yang dikeluarkan calon gubernur lebih besar, sekitar Rp100 miliar. Berdasarkan kajian yang melibatkan 286 peserta pilkada di 259 tempat itu, KPK menyebut pengeluaran antara lain terdiri dari honor saksi di tempat pemungutan suara dan logistik kampanye.
ADVERTISEMENT
Dari sejumlah informasi di atas, pasti muncul dalam benak kita bagaimana kelak sang calon dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam perjalanannya menuju tampuk kekuasaan. Rasanya agak mustahil jika dana yang telah dihabiskan hanya berlalu begitu saja. Ketika itu disebut modal politik, sudah tentu harus dikembalikan dalam bentuk return yang lebih besar. Jika kita menengok pendapatan (take-home pay) seorang kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), sepertinya agak sulit mengharapkan terbayarnya modal yang telah dikeluarkan. Inilah kemudian yang menjadi titik lemah dan pintu masuk terjadinya praktek korupsi.
Dalam catatan Indonesia Corupption Watch (ICW), dalam kurun waktu 2010-2017, tidak kurang dari 215 kepala daerah menjadi tersangka korupsi, baik yang ditangani KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Perkara yang melibatkan kepala daerah terjadi dengan berbagai modus, mulai dari permainan anggaran proyek, suap, hingga korupsi pengadaan barang dan jasa.
ADVERTISEMENT
Menurut data Transparancy International tentang Corruption Perception Index 2017 yang dirilis pada Februari 2018, dari total 180 negara yang disurvei, Indonesia mengalami penurunan peringkat dari posisi 90 tahun 2016 menjadi 96 pada tahun 2017. Peringkat tersebut berada jauh di bawah Singapura (peringkat 6), Brunei Darussalam (32), Malaysia (62), dan bahkan Timor-Leste di peringkat 91.
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2002 dimaksudkan untuk menurunkan tingkat korupsi di Indonesia melalui aksi pencegahan dan penindakan. Namun, angka korupsi dari tahun ke tahun bukannya menurun, tapi justru menunjukkan peningkatan. Data penanganan korupsi tiga tahun terakhir (2014 – 2017) memperlihatkan tren tersebut. Pada 2014, tercatat 56 kasus korupsi yang disidik KPK, naik menjadi 57 kasus (2015), dan 99 kasus (2016).
ADVERTISEMENT
Hukuman yang selama ini diharapkan menimbulkan efek jera seperti tidak bertaji. Angka korupsi semakin menjadi-jadi dari tahun ke tahun. Karenanya, sudah saatnya para pemangku kepentingan berkontemplasi memahami permasalahan yang terjadi dan mencari solusi. Parpol sebagai salah satu pemain utama dalam demokrasi seharusnya berbenah diri memperbaiki situasi. Parpol sebagai lembaga yang menjaring dan merekrut calon-calon pemimpin bangsa memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan sebuah sistem yang melahirkan pemimpin bersih, amanah dan terbebas dari korupsi. Mekanisme penunjukan kepala daerah oleh Presiden mungkin masih bisa menjadi opsi perbaikan sistem demokrasi kita saat ini. Jika itu merupakan resep yang lebih baik, kenapa kita tidak mencoba menerapkannya kembali.
Solusi lain yang dapat dipertimbangkan adalah teknik pemungutan suara dengan e-voting. Teknologi ini setidaknya akan mampu mengurangi biaya untuk pengiriman logistik dan pengerahan saksi-saksi di TPS. Opsi tambahan lainnya, misalnya, pengaturan iklan kampanye hanya melalui media digitial saja diharapkan dapat mengurangi biaya baliho atau percetakan bahan lainnya. Pada akhirnya perlu solusi yang lebih komprehensif dan jangka panjang untuk menurunkan biaya politik sehingga faktor pendorong korupsi juga menurun. Dan semoga angka korupsi di Indonesia terus menurun di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Live Update