news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

PNS dan Tahun Politik

Darmawan Hadi
Abdi Negara yg alhamdulillah telah diberikan kesempatan melihat ciptaan Allah SWT di belahan bumi lainnya.
Konten dari Pengguna
24 Februari 2018 12:21 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darmawan Hadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
PNS dan Tahun Politik
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun gawe politik yang pasti riuh dengan perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilu Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Suasana kebathinan sosial khususnya di dunia maya sudah pasti dipenuhi dengan postingan-postingan bernada kampanye, dukungan, bahkan black campaign kubu lawan. Bahkan sisa-sisa pertempuran dahsyat Pilpres 2014 pun masih mewarnai media sosial khususnya Facebook hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bagian dari masyarakat yang juga merupakan aparatur pemerintah tak luput dari paparan radiasi panasnya Pilkada maupun Pilpres. Preferensi terhadap calon tertentu merupakan pilihan pribadi yang tentu tidak dapat diatur secara legal formal karena menyangkut ranah privat. Tak dapat dihindari, ungkapan dan tingkah laku di media sosial akan cenderung menggambarkan sikap dan dukungan terhadap sosok yang menjadi calon pilihannya.
Hal tersebut menjadi agak menganggu ketika tingkah laku mereka di dunia medsos terlalu mengagungkan idolanya dan sekaligus meremehkan dan terkadang merendahkan sosok lawan. Pendukung lawan, yang juga banyak dari kalangan teman sejawat, tentunya merasa terganggu dan membalas melakukan hal yang sama sebagai langkah defensive atau serangan balik.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, terjadilah perang argumen yang berujung kesepakatan untuk tidak sependapat. Dapat dibayangkan bahwa fenomena ini terjadi di berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, mulai dari lingkungan PNS, swasta, kelompok alumni sekolah, hingga ke grup whatsapp keluarga.
Kalangan PNS yang merupakan anak kandung pemerintah sudah semestinya menaati Peraturan Perundan-Undangan dan imbauan Menpan Reformasi dan Birokrasi (MENPAN RB) agar tetap netral di tengah perhelatan pesta demokrasi saat ini. Namun memang, menerjemahkan kata “Netral” bukan perkara mudah.
Terdapat sejumlah peraturan yang mengatur netralitas PNS dalam politik. UU Nomor 5 Tahun 2014, UU 10/2016, PP 53/2010, dan kode etik PNS (PP 42/2004) telah dengan jelas mengatur posisi PNS dalam politik praktis. Baru-baru ini, melalui surat resmi dan media massa, Menpan RB menyampaikan sejumlah amaran bagi PNS.
ADVERTISEMENT
1. ASN dilarang mendeklarasikan diri sebagai calon Kepala Daerah.
2. Dilarang memasang spanduk promosi untuk calon.
3. Dilarang mendekati Parpol terkait dengan pungusulan dirinya atau orang lain menjadi calon.
4. Dilarang mengunggah, memberikan like, atau mengomentari dan sejenisnya serta menyebarluaskan gambar maupun pesan visi-misi calon baik di media online atau media sosial.
5. Dilarang menjadi pembicara pada pertemuan Parpol.
6. Dilarang foto bersama calon .
7. Dilarang menghadiri deklarasi calon, baik itu dengan atau tanpa atribut Parpol.
Tidak main-main, Kemenpan RB dalam edarannya mengancam PNS yang melanggar akan diberikan sanksi administratif dan atau sanksi hukuman disiplin mulai dari penundaaan kenaikan gaji berkala sampai dengan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
ADVERTISEMENT
Himbaun tersebut merupakan hal wajar dan dapat dimengerti sebagai salah satu upaya pemerintah menjaga aparatnya agar tidak terjebak dalam politik praktis. Namun demikian, dalam pandangan pribadi saya, larangan mengklik like atau posting visi-misi calon, menyebarkan foto calon, foto bersama calon, termasuk rencana memantau akun media sosial PNS yang saat ini berjumlah sekitar 4.5 juta terkesan agak berlebihan.
Aparatur PNS sudah cukup dewasa untuk menempatkan dirinya secara proporsional dalam perhelatan pesta demokrasi yang tengah berlangsung. Namun demikian, pemerintah tetap dapat melakukan pengawasan secara internal di masing-masing Lembaga/Kementerian/Pemda, terkait ada tidaknya keterlibatan personil mereka dalam kegiatan politik seperti menjadi anggota Parpol, terlibat kegiatan kampanye, menggunakan atribut Parpol, atau kegiatan politk praktis lainnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan public awareness campaign kepada masyarakat terkait peran PNS dalam Pemilu dan meminta mereka melaporkan kepada Bawaslu dan instansi tempat PNS tersebut bekerja jika menemukan mereka terlibat aktif dalam politik.
Sebagai aparat pemerintah, PNS sudah selayaknya dapat memainkan peran yang konstruktif dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Marilah kita kembali kepada sumpah janji untuk tetap menjunjung kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Pilihan politik merupakan hak individu warga negara yang telah mendapat jaminan konstitusi. Marilah kita manfaatkan priviledge kewarganegaraan tersebut secara tepat dan bertanggung jawab.
Kita tetap dapat mengungkapkan pandangan politik kita secara proporsional dengan memperhatikan dampak negatif yang mungkin dapat ditimbulkan. Jika kita masih dapat memilih, marilah kita mengambil sikap yang senantiasa menyuarakan semangat persatuan di tengah panasnya kompetisi politik yang tidak jarang melahirkan perpecahan.
ADVERTISEMENT