Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Jogja (masih) Berhati Nyaman
20 November 2023 8:00 WIB
Tulisan dari Darius Erlangga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang pernah tinggal dan kuliah di Jogjakarta, kenangan akan kota yang selalu menyajikan keramahan, kesederhanaan, dan kenyamanan sulit terlupakan dan tergantikan meski jaman perlahan merubah wajah kota ini dengan deretan bangunan, gedung, kafe dan berbagai infrastruktur modern lainnya mengikuti tren di banyak kota di Indonesia.

Wajah malioboro yang dulu tampak kusam penuh dengan pedagang kaki lima di kiri kanannya, kini nampak lebih rapih dan teratur. Pusat-pusat keramaian dan perbelanjaan baru bermunculan dan menawarkan pengalaman baru bagi siapa saja yang berkunjung. Tua muda membaur menjadi satu… berburu cenderamata dan penganan khas yang hanya bisa ditemui ketika berkunjung ke kota yang dulu terkenal dengan sebutan kota pelajar ini.
ADVERTISEMENT
Gudeg… bakpia… dagadu… batik… tentu menjadi oleh-oleh wajib dari Jogja untuk dibawa pulang ke kota masing-masing. Tak lupa… napak tilas melalui jalanan sepanjang titik nol ke utara hingga Kampus Biru tercinta pun tak boleh dilewatkan. Jogja bukan sekedar kota yang disinggahi… lalu dilupakan. Jogja adalah kota yang senantiasa menawarkan kerinduan bagi siapa saja yang pernah mengunjunginya.
Bagiku… rindu, pulang dan angkringan membangkitkan kembali romantisme masa-masa indah ketika dunia saat itu hanya soal buku dan gagasan. Persahabatan dan nilai-nilai idealisme kemahasiswaan yang begitu diagungkan dan dibanggakan senantiasa mewarnai perbincangan sesama kawan senasib sepenanggungan. Momen indah yang sirna dan tak lagi laku karena angkringan hanya kenangan… tergantikan oleh jajanan dan masakan yang disajikan di lapak-lapak modern dalam mall dengan menu-menu yang memanjakan lidah dengan cita rasa internasional.
ADVERTISEMENT
Pak Koni dan Becak Motornya
Potret kesederhanaan Jogja terlihat dari tutur kata dan penampilan kebanyakan warga lokal. Materi bukan segala-galanya. Bagi pak Koni yang berprofesi sebagai penarik becak motor, misalnya, penghasilan sebesar Rp. 50 ribu rupiah per hari sudah dirasa cukup untuk menghidupi dirinya yang tinggal sendiri. Di usianya yang menginjak 63 (enam puluh tiga) tahun ini, dirinya tidak pernah bermimpi untuk mengejar kekayaan. Meski pernah menggeluti berbagai profesi dengan penghasilan yang lebih besar di kota besar lainnya, pada akhirnya dirinya memilih kampung halamannya di Purwokinanti, Jogja untuk menjadi pelabuhan terakhirnya.
Sembari menelusuri jalanan dengan becak motornya, pak Koni meneruskan ceritanya dengan sumringah. Membawaku berkeliling menikmati suasana Jogja senja hari yang terasa adem dan sejuk. Sambil sesekali memberikan informasi mengenai tempat-tempat yang dilalui, pak Koni mengaku telah menjalani profesinya sebagai penarik becak motor sejak 2015. Pemerintah, menurutnya, cukup adil dan perhatian terhadap nasib dirinya dan rekan-rekan seprofesi lainnya. Sedikitnya ada sekira 2000 (dua ribu) penarik becak motor yang tergabung dalam asosiasi penarik becak motor di Jogjakarta.
Meski merasa cukup dengan apa yang diperolehnya saat ini, pak Koni melanjutkan ceritanya dengan berbagi keresahan dirinya dan teman-teman terhadap rencana pemerintah daerah yang perlahan-lahan akan menggantikan becak motor yang berbahan bakar bensin dengan becak listrik yang memerlukan modal cukup besar jika harus ditanggung secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah daerah. Dirinya berharap pemerintah dapat memberikan solusi yang terbaik bagi semua.
ADVERTISEMENT
Tak terasa… kami pun tiba kembali ke penginapan. Saya pun bergegas turun dan tak lupa berpesan agar pak Koni tidak kehilangan semangat dan tetap menjalani kehidupan sehari-hari dengan hati yang bahagia.