Konten dari Pengguna

Hijrah Next Level

Darul Ma'arif Asry
Founder Fatwa.id & Panrita.id/Inisiator Ikatan Alumni dan Santri Indonesia Timur (TAUSIT)/Part of Nasaruddin Umar Office (NUO) Sulawesi Selatan
12 Maret 2021 14:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darul Ma'arif Asry tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hijrah Next Level
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Hijrah, sebuah istilah yang secara historis mengandung makna yang sangat penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada mulanya, ia sangat erat kaitannya dengan perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lainnya. Di masa Nabi SAW. Hijrah yang dilakukan merupakan akibat dari ketidakbebasan komunitas muslim awal di Mekkah untuk menjalankan ibadahnya sebagai muslim dan untuk mendakwahkan Islam. Sekelompok sahabat yang dipimpin oleh Usman bin Affan melakukan hijrah pertama komunitas muslim ke Habasyah (sekarang Ethiopia). Selain Hijrah ke Habasyah, Nabi saw. Sebetulnya pernah juga berniat hijrah ke Thaif, sebuah daerah yang berjarak lebih kurang 91 km dari kota Mekkah. Akan tetapi, Rasulullah saw. Tidak mendapatkan respons yang baik dari penduduk setempat bahkan dilempari dengan bebatuan. Peristiwa Hijrah yang monumental adalah berpindahnya Rasulullah saw. ke Yasrib (sekarang Madinah) dan membangun pusat dakwah dan pemerintahannya disana dengan mengkolaborasikan segala unsur masyarakat; Muslim pendatang dari Mekkah (Muhajirin), Muslim penduduk Madinah (Anshar) maupun kelompok non Muslim yang juga berdomisili di sana sejak sebelum kedatangan Rasulullah saw.
ADVERTISEMENT
Sebuah riwayat hadis sahih dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa Rasulullah saw. telah mengatakan bahwa tidak ada lagi Hijrah setelah pembebesan kota Mekkah (Fathu Mekkah) di tahun 630 M/8 H, yang ada setelah itu adalah Niat dan Jihad. Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari, hadis ini menjelaskan bahwa kewajiban Hijrah dalam arti meninggalkan tanah air disebabkan kondisi yang tidak aman pada saat itu sehingga berpindah ke Madinah sudah selesai. Yang tersisa adalah jihad dan niat. Artinya, Berpindah keluar dari tanah air dibolehkan jika untuk keluar berjihad atau niat lainnya seperti menuntut ilmu untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan lainnya sebagaimana kebaikan yang didapatkan setelah Nabi saw. berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah ditiadakan karena nilai-nilai kebaikan yang dulu didapatkan dengan berhijrah bisa didapatkan dengan jihad dan niat. Di sini dapat terlihat bahwa Hijrah bukanlah tujuan, melainkan salah satu cara untuk menggapai tujuan. Di dalam peristiwa ini, tujuannya adalah keamanan komunitas Muslim untuk menjalankan agamanya. Sehingga, Hijrah ke daerah mayoritas non Muslim atau dipimpin oleh non muslim untuk tujuan pekerjaan dan menuntut ilmu kalau dapat dibenarkan asalkan di tempat tersebut mereka aman untuk melaksanakan ajaran agamanya. Sebagaimana yang dicontohkan para sahabat yang Hijrah ke Ethiopia yang saat itu dipimpin oleh seorang Nasrani.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan niat Hijrah, Rasulullah saw. menyebutkan khusus di dalam sebuah hadis sahih riwayat Umar bin Khattab bahwa barang siapa yang berhijrah dengan niat tulus demi Allah dan Rasul-Nya maka ia akan mendapatkan ganjaran dari-Nya. Akan tetapi, bagi siapa yang ikut-ikutan berhijrah ke Madinah, bukan karena tulus demi Allah dan Rasul-Nya, maka ia hanya akan mendapatkan sesuai dengan tujuan duniawinya tersebut. Ucapan Rasulullah saw. ini keluar setelah beliau mendengar ada seorang laki-laki yang ingin ikut berhijrah hanya karena wanita yang ingin ia nikahi ikut juga berhijrah.
ilustrasi pixabay.com
Di sinilah pentingnya memahami dengan baik niat dan tujuan berhijrah yang dilakukan oleh Nabi saw. pada saat itu sebelum menirunya di era modern ini. Sebab, indikasi menggunakan istilah-istilah Islami untuk tujuan duniawi telah nyata digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk tujuan kelompok mereka sendiri. Misalnya, Abu Muslim Al-Canadi, seorang prajurit kelompok teroris ISIS muncul di dalam video rekrutmen mereka yang diproduksi oleh Hayat Media Center pada Agustus 2014 dengan menggunakan istilah Hijrah. Mereka mengajak umat Muslim dari seluruh dunia untuk bergabung kepada mereka di dalam wilayah kekuasaan Iraq dan Suriah. Inilah contoh Islamisasi retorika yang dilakukan oleh kelompok Islamis (Hinnebusch, 2018) untuk menggaet kaum muslim, terutama kaum milenial yang sedang sangat bersemangat untuk beragama karena dalam tahap pencarian jati dirinya, mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari komunitas Muslim dunia yang sedang tertindas, sehingga harus ikut mengangkat senjata bersama kelompok teroris yang membawa-bawa nama Islam.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, semangat Hijrah yang sedang ramai digandrungi oleh kaum muda muslim Indonesia tidak pula dapat dipukul rata sebagai sebuah bentuk awal dari proses radikalisasi atau rekrutmen teroris. Hemat penulis, banyak di antara mereka yang memang ikut dalam gelombang hijrah ini, tulus sebagai panggilan moral, untuk menjadi insan yang lebih religius dari sebelumnya. Sebagian ada yang mencolok dengan perubahan penampilan. Adapula yang lebih mementingkan perubahan pola pikir dan sikap beragamanya. Namun, harus pula diwaspadai bahwa tidak sedikit juga yang telah terhasut, berangkat ke Iraq dan Suriah, lalu pulang dengan sia-sia karena baru menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa kesejahteraan hidup dalam naungan negara Islam Iraq dan Suriah yang dijanjikan memang hanya retorika belaka. Bisa jadi pula, ada yang kembali dengan pikiran yang masih radikal, dalam arti berkeinginan untuk mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi “Negara Syariah”. Mereka mempertentangkan NKRI dan Syariah Islam. Padahal, keduanya tidak mungkin dipertentangkan jika memahami bahwa bentuk sistem bernegara dalam NKRI adalah hasil ijtihad para ulama yang diekstrak dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah.
ADVERTISEMENT
Di sinilah pentinganya apa yang penulis sebut sebagai “Hijrah Next Level”. Hijrah Next Level ini adalah dukungan moral bagi kaum muslimin yang ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik agar tidak berhenti belajar, berpikir kritis dalam belajar dan tidak mengikuti ajakan untuk menjadi eksklusif. Sebab, ini pulalah ajakan Nabi saw. dalam hadisnya “Perbaharuilah terus menerus imanmu” (HR. Al-Hakim).
Teman-teman milenial yang sedang berhijrah jangan sampai berhenti belajar Islam di tengah jalan, terpaku pada kebenaran tafsir tunggal agama, lalu terperangkap dalam pengkotakan politis yang berujung pada permusuhan sesama umat Islam, sesama Bangsa Indonesia. Jika ingin berhijrah, maka jangan puas jika telah mendapatkan legitimasi satu dalil dari amal yang dilakukan. Ada banyak dalil-dalil agama yang terlihat mudah dipahami jika dilihat berdiri sendiri atau separuh, terlihat kontradiktif jika dikumpulkan. Namun, akan menghasilkan multitafsir setelah melihat pendapat para ulama. Ibnu Rusyd, Ulama Fiqh Maliki kelahiran tanah barat, Spanyol menyatakan dalam pembukaan kitabnya, Bidayatul Mujtahid, bahwa perbedaan pendapat para ulama tidak terlepas dari sifat dasar dalil-dalil agama itu sendiri. Al-Qur’an dan Hadis yang secara bahasa sudah mengandung penafsiran yang tidak tunggal. Bahkan, Syekh ‘Ali Jum’ah, Mufti Mesir tahun 2003-2013 mengatakan bahwa ada 36 poin yang menyebabkan Ulama berbeda pendapat dalam satu persoalan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, maka tulisan ini ingin mengajak kaum muslimin untuk hijrah dari hijrah biasanya, menjadi Hijrah Next Level. Tidak berpuas diri dari yang sebelumnya tidak berdalil menjadi berdalil, melainkan diteruskan dengan memahami kompleksitas dalil yang melahirkan ragam pendapat ulama. Sehingga, akan menjadi muslim yang berpikiran inklusif dan mudah menoleransi kemajemukan tanah air Indonesia.