Konten dari Pengguna

K-Pop dan Kampanye: Arus Baru di Politik Indonesia?

Darynaufal Mulyaman
Direktur CESFAS UKI/Dosen Prodi HI FISIPOL UKI
12 Februari 2024 10:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darynaufal Mulyaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi fanboy K-Pop. Foto: Fitra Andrianto dan Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fanboy K-Pop. Foto: Fitra Andrianto dan Putri Sarah Arifira/kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia K-Pop yang dinamis meluas ke lanskap politik Indonesia, membuat kita bertanya-tanya: apakah ini hanya mode kampanye yang menarik atau gerakan transformatif? Hal ini adalah permainan strategis untuk mencari perhatian dan keterlibatan publik secara umum dan luas, tetapi apakah ini lebih dari sekadar tren semata?
ADVERTISEMENT
Jika ditelisik lebih dalam, beberapa berpendapat K-Popfication ini mendorong partisipasi politik kaum muda. Slogan yang menarik, warna-warni tarian, video, dan berbagai lainnya menjadi warna baru dalam berkampanye politik.
Kendati demikian, patut dikhawatirkan citra buatan K-Pop mungkin membayangi kebijakan dan substansi yang sebenarnya. Bisakah K-Pop benar-benar memberdayakan pemilih muda, atau apakah itu hanya memberikan gimmick baru dalam sistem politik yang membutuhkan reformasi lebih dalam?
Dalam pemilihan Indonesia 2024, fenomena K-Popfication dari Anies Baswedan menawarkan hal yang menarik tentang kekuatan sosial K-Pop yang sedang berkembang di Indonesia. Tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai katalisator potensial untuk perubahan. Jika dicari lebih jauh, potensi penggemar K-Pop untuk memengaruhi masyarakat sangat kuat.
ADVERTISEMENT
K-Pop melampaui batas-batas geografis dan budaya, menyatukan beragam penggemar di bawah semangat bersama. Ini menciptakan kekuatan yang kuat untuk menghubungkan kaum muda di seluruh benua dan menumbuhkan rasa komunitas global. Selanjutnya, basis penggemar atau fandom K-Pop memanfaatkan platform media sosial seperti Twitter dan TikTok dengan keterampilan yang luar biasa.
Kecakapan digital ini dapat dimanfaatkan untuk kebaikan sosial, seperti memobilisasi penggemar untuk tujuan amal atau mempromosikan inisiatif keadilan sosial. Kemudian, K-Pop juga merayakan individualitas dan ekspresi diri, beresonansi dengan generasi yang mencari jati diri dan pemberdayaan. Hal ini tentu menumbuhkan rasa percaya diri dan mendorong kaum muda untuk berpartisipasi dalam membentuk masa depan mereka sendiri.
Strategi politik tradisional mungkin perlu beradaptasi untuk mencakup dinamisme dan kreativitas kampanye yang terinspirasi K-Pop. Keaslian dan keterlibatan tulus dari komponen demografi yang lebih muda akan menjadi semakin penting. Sementara K-Pop dapat menarik perhatian dan meningkatkan keterlibatan politik, memastikan bahwa antusiasme penggemar diterjemahkan ke dalam partisipasi politik yang terinformasi dan komitmen jangka panjang terhadap masalah sosial tetap menjadi tantangan penting.
ADVERTISEMENT
Lalu apakah K-Pop adalah kekuatan yang berdampak untuk kebaikan? Memanfaatkan kekuatan fandom K-Pop membutuhkan bimbingan dan pendidikan yang cermat. Keterampilan berpikir kritis dan kesadaran akan potensi manipulasi dalam komunitas online sangat penting untuk mendorong keterlibatan yang bertanggung jawab dan terinformasi.
Kampanye K-Pop harus melampaui jingle yang menarik dan visual yang mencolok. Substansi, solusi kebijakan yang tulus, dan keterlibatan yang konsisten dengan isu-isu sangat penting untuk memastikan dampak jangka panjang dan menghindari tuduhan oportunisme belaka. Potensi pemersatu K-Pop harus dimanfaatkan untuk menjembatani kesenjangan sosial dan mempromosikan inklusivitas.
Kampanye harus menghindari eksploitasi stereotip budaya atau mengecualikan kelompok yang terpinggirkan untuk mendapatkan dukungan sementara. Di tanah kelahirannya, K-Pop adalah kekuatan sosial, baik untuk negara maupun rakyat.
ADVERTISEMENT
K-Pop digunakan untuk menguntungkan pengembangan karena bagiannya mungkin hingga 3% dari PDB tahunan Korea Selatan pada tahun 2018, dan mungkin melebihi bar 3% di tahun-tahun mendatang. Bagi masyarakat, K-Pop digunakan untuk mengadvokasi isu-isu gender, kesehatan mental, sosial budaya, dan bahkan lingkungan.
Maka, dikatakan dengan baik bahwa Gelombang Korea, atau Hallyu adalah kekuatan sosial di Korea Selatan. Fandom K-Pop di Indonesia tentunya lebih dari sekadar kegemaran sesaat. Ini adalah komunitas yang dinamis dengan kekuatan sosial yang nyata.
Fenomena Anies Baswedan berfungsi sebagai pengingat bahwa ketika dimanfaatkan dengan bijak, K-Pop dapat menjadi kekuatan untuk perubahan positif, memberdayakan kaum muda, membina koneksi global, dan bahkan berpotensi membentuk lanskap politik.
Namun, menavigasi kekuatan ini membutuhkan pertimbangan yang cermat terhadap potensi jebakannya dan komitmen terhadap keterlibatan sejati, pemikiran kritis, dan inklusivitas. Ketika K-Pop terus berkembang dan menaklukkan batas-batas baru, dampaknya terhadap masyarakat menjanjikan untuk menjadi dinamis dan menawan seperti gerakan musik dan tariannya.
ADVERTISEMENT
Apakah itu akan berkembang melampaui tipu muslihat menjadi cara berkelanjutan bagi kaum muda untuk terlibat dengan politik secara otentik? Atau akan memudar setelah heboh atau tren viral mereda? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti politik Indonesia mendapatkan perubahan K-Pop.