Konten dari Pengguna

Guru Milenial, Itukah Anda?

21 Februari 2020 16:47 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsuri Pasinringi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
"Ah, enak ya jadi guru tak perlu kerja keras dapat tunjangan profesi yang besar".
ADVERTISEMENT
Pernyataan seperti ini banyak terlontar dari masyarakat umum. Biasanya penonton di depan layar memang lebih mudah mengomentari tontonannya. Seperti halnya penonton pertandingan sepak bola, komentarnya ringan mengkritisi pemain yang salah tendang atau salah strategi padahal kalau di lapangan ia belum tentu lebih baik. Nah, seperti inilah rasanya menjadi guru. Bukan berarti saya antipati terhadap kritikan atau komentar yang menyerang profesi ini, hanya sebaiknya perlu juga melihat dan mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Tantangan guru saat ini amat sangat banyak. Terjadi pertarungan idealisme tak kasat mata antara kebiasaan yang berusaha dibangun di sekolah dan gempuran budaya pop yang membanjiri lewat media. Konsentrasi siswa mengikuti pelajaran paling lama bertahan 10 sampai 15 menit, setelah itu terjadi distorsi. Mengecek dan update instastory, chattingan di WhatsApp secara sembunyi-sembunyi, Facebook, Snapchat, dan banyak lagi lainnya.
ADVERTISEMENT
Semua ini membuat proses pembelajaran menjadi semakin menantang dan membutuhkan energi yang banyak. Siswa banyak yang tidak nyaman di kelas dan lebih suka nongkrong di kantin sekolah atau malah bolos minggat ke warung atau rumah kosong sambil merokok. Tidak selesai dengan persoalan itu saja, perkelahian dan tindakan amoral juga bisa terjadi dengan mudah antarpelajar karena persoalan sepele. Belum lagi tuntutan administrasi guru yang juga menyita waktu. Nah, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya, kan?
Menurut saya, salah satu faktor penyebab semua ini adalah tidak terhubungnya keinginan siswa dan kebiasaan pendidikan yang telah terbangun.
Ilustrasi Guru Foto: Shutter Stock
Lalu harus seperti apa?
ADVERTISEMENT
Proses pembelajaran harus beradaptasi. Digitalisasi telah menginvasi seluruh sektor kehidupan sehingga mau tidak mau harus diikuti. Ibaratnya ini serangan ombak, pilihannya hanya bermain di atasnya menggunakan papan selancar atau hanyut tenggelam. Bertahan pada pilihan dan cara-cara konvensional tentu tidak akan nyambung dengan vibes zaman ini. Satu hal, siswa jangan disalahkan dengan interaksi sosial media yang terbawa ke kelas karena mereka juga korban dari perkembangan zaman.
Sebagai guru, semestinya menjadi penengah. Mendamaikan serangan teknologi yang menyerang dunia pendidikan. Harus ada jembatan yang menghubungkan keduanya. Integrasi adalah hal yang dibutuhkan. Seperti yang saya tulis di atas, pembelajaran harus beradaptasi. Mindset harus berubah, buku tidak harus dalam bentuk print out karena saat ini E-Book telah tersedia.
ADVERTISEMENT
Penyampaian materi bisa diberikan dalam berbagai variasi misalnya menyajikan video yang diunggah dari YouTube lalu ditampilkan di kelas. Saat ini tersedia begitu banyak konten bermanfaat yang bisa menjadi bahan literasi sekaligus referensi pembelajaran di kelas. Percakapan ruang chatting sosial media siswa bisa diganti dengan topik-topik pembelajaran. Ulangan harian atau evaluasi materi bisa dilakukan dengan menggunakan platform quiz online, misalnya Quizizz.
Namun perlu juga disadari bahwa ini bersifat kolaboratif, tidak bisa semuanya dikerjakan secara "Online" atau "Offline" saja. Materi dan metode konvensional harus tetap ada mengiringi pembelajaran modern seperti paparan di atas.
Kehadiran teknologi seyogyanya tidak membuat manusia menjadi sulit, gusar dan stres tetapi memudahkan. Antipati malah akan semakin memperburuk keadaan.
ADVERTISEMENT
Kita bisa menjadi guru milenial yang mengajari siswa menjadi pengguna IT yang bijak dan cerdas.