Kondisi Tektonik dan Sejarah Gempa-Tsunami di Laut Maluku

Dr. Daryono, S.Si., M.Si
Kabid Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Peneliti Bidang Geofisika | VP Himpunan Ahli Geofisika Indonesia Divisi Mitigasi Bencana Kebumian
Konten dari Pengguna
15 November 2019 19:44 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Daryono, S.Si., M.Si tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Daryono. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Daryono. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Gempa Laut Maluku 7,1 magnitudo pada 14 November 2019 jelang tengah malam, merupakan gempa tektonik yang berpusat di dalam Lempeng Laut Maluku. Para ahli menyebut gempa semacam ini sebagai gempa intraslab.
ADVERTISEMENT
Zona gempa Laut Maluku terletak di antara Busur Sangihe dan Halmahera. Zona gempa ini membentang dalam arah utara-selatan, didasari oleh zona subduksi ganda (double subduction) yang menunjam ke bawah Pulau Halmahera di sebelah timur dan ke bawah Busur Sangihe di sebelah barat.
Zona subduksi ini membentuk kemiringan ganda yang tidak simetris. Slab Lempeng Laut Maluku di bawah Busur Sangihe menerus hingga di kedalaman 600 kilometer. Sedangkan di bawah Busur Halmahera, slab lempeng-nya relatif lebih dangkal hanya hingga di kedalaman sekitar 300 kilometer.
Subduksi ganda ini terbentuk akibat tekanan Lempeng laut Filipina dari timur, di zona Halmahera. Sementara dari barat, Lempeng Sangihe relatif mendorong ke timur.
Akibat dorongan ini terbangun akumulasi medan tegangan (stress) produk gaya kompresi pada batuan kerak samudra di bagian tengah Zona Tumbukan Laut Maluku (Molucca Sea Collision Zone). Di zona inilah terbentuk jalur Punggungan Mayu (Mayu Ridge) yang ditandai dengan keberadaan Pulau Mayu.
ADVERTISEMENT
Akumulasi medan tegangan di sepanjang jalur Punggungan Mayu inilah yang pada akhirnya memicu terjadinya dislokasi batuan dalam lempeng. Di zona inilah terdapat banyak sebaran pusat-pusat gempa bumi dengan mekanisme sesar naik, seperti halnya peristiwa gempa bumi kuat yang terjadi tadi malam juga dicirikan dengan mekanisme sumber sesar naik (thrust fault).
Gempa ini hanya menimbulkan kerusakan ringan pada beberapa bangunan rumah di Manado dan sekitarnya, serta memicu tsunami kecil di Bitung, Halmahera, dan Ternate.
Mengapa tsunami yang terjadi hanya tsunami kecil padahal kekuatan gempanya 7,1 magnitudo? Hal ini dapat dijelaskan bahwa gempa dengan slip yang relatif dalam, membuat eksitasi terhadap tsunami lebih kecil jika dibandingkan dengan slip yang terjadi di kedalaman lebih dangkal.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dapat juga dijelaskan juga bahwa pada kasus gempa tadi malam, energi akibat kompresi yang terjadi pada salah satu slab lempeng tidak seluruhnya terakumulasi di zona gempa, tetapi juga disebarkan ke bagian slab lempeng pada zona subduksi di sebelahnya.
Kondisi ini berbeda dengan sistem tektonik di zona subduksi kebanyakan, di mana energi yang terakumulasi di zona gempa hanya terkonsentrasi pada satu slab lempeng saja, sehingga potensi gempa yang dapat memicu tsunami tentu menjadi lebih besar. Namun demikian, secara umum kawasan Laut Maluku tetap merupakan zona rawan gempa dan tsunami yang patut diwaspadai.
Sejarah Gempa dan Tsunami
Catatan sejarah menunjukkan bahwa kawasan Laut Maluku beberapa kali terjadi gempa kuat dan merusak. Gempa Sangir 1 April 1936 adalah catatan gempa dahsyat yang pernah terjadi di zona ini, karena guncangannya mencapai skala intensitas VIII-IX MMI yang merusak ratusan rumah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Gempa Pulau Siau pada 27 Februari 1974 juga memicu longsoran dan kerusakan banyak rumah di berbagai tempat. Terakhir adalah Gempa Sangihe-Talaud pada 22 Oktober 1983, di mana gempa ini merusak banyak bangunan rumah.
Zona sumber gempa Laut Maluku juga memiliki catatan sejarah tsunami destruktif, seperti: (1) Tsunami Banggai-Sangihe 1858 yang menyebabkan seluruh kawasan pantai timur Sulawesi, Banggai, dan Sangihe dilanda tsunami, (2) Tsunami Banggai-Ternate 1859 mengakibatkan banyak rumah di pesisir disapu tsunami, (3) Gempa Kema-Minahasa 1859 juga memicu tsunami setinggi atap rumah-rumah penduduk.
(4) Tsunami Gorontalo 1871 juga menerjang di sepanjang pesisir Gorontalo, (5) Tsunami Tahuna 1889 menerjang kawasan pesisir Tahuna setinggi 1,5 meter, (6) Tsunami Kepulauan Talaud 1907 menerjang pantai setinggi 4 meter, dan (7) Tsunami Salebabu 1936 menyapu pantai setinggi 3 meter.
ADVERTISEMENT
Selain sejarah gempa dan tsunami masa lalu, catatan terbaru gempa kuat di Laut Maluku cukup banyak. Sebagian besar diantaranya berpotensi tsunami, seperti yang pernah terjadi pada: 1979 (7,0 M), 1986 (7,5 M), 1989 (7,1 M), 2001 (7,0 M), 2007 (7,5 M), 2009 (7,1 M), 2014 (7,3 M), 2019 (7,0 M), dan 2019 (7,1 M).
Gambaran kerangka tektonik, aktivitas kegempaan, dan sejarah tsunami di atas kiranya cukup untuk menyimpulkan bahwa kawasan Laut Maluku memang merupakan zona yang sangat rawan gempa dan tsunami.
Kondisi tektonik aktif dan kompleks ini tentu perlu mendapat perhatian khusus dan serius termasuk tantangan untuk merancang sistem mitigasi yang tepat untuk mengurangi risiko bencana gempa bumi dan tsunami yang berpotensi terjadi di wilayah ini.*
ADVERTISEMENT
Jakarta, 15 November 2019 Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Dr. DARYONO