5 Pandemi Hewan yang Tak Kalah Mengerikan

Dasar Binatang
Menyajikan sisi unik dunia binatang, menjelajah ke semesta eksotisme lain margasatwa
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2020 15:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kelelawar. Foto: smallerslev from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Kelelawar. Foto: smallerslev from Pixabay
ADVERTISEMENT
Bukan hanya manusia yang harus menghadapi epidemi. Wabah penyakit juga dapat membunuh ribuan hewan dengan sangat cepat. Pandemi akan menyerang dengan ganas ketika hewan tersebut spesies langka, terancam, atau terfragmentasi.
ADVERTISEMENT
Penyakit baru pada hewan muncul dengan jumlah yang semakin banyak dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan, penyakit lama ditemukan menyebar di daerah baru.
A. Marm Kilpatrick, dari University of California, Santa Cruz, berpendapat bahwa peningkatan penyebaran penyakit ditengarai oleh perdagangan hewan yang membawa ke wilayah baru.
Melansir dari BBC, berikut 5 pandemi hewan yang tak kalah mengerikan dengan wabah penyakit pada manusia.

Ebola

Ebola memang menyerang manusia dengan merenggut 10.000 nyawa. Tetapi, penyakit tersebut juga turut menewaskan beberapa spesies dari kerajaan hewan, seperti kelompok kera besar.
Pada awal 1990-an, Ebola menyerang sekelompok simpanse yang tinggal di Taman Nasional Tai, Pantai Gading. Dekade berikutnya wabah membunuh populasi gorila di Kongo. Selain itu, pandemi menyebabkan 5.000 gorila yang terancam punah mati pada 2002 hingga 2003 di Suaka Lossi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya sampai disitu, penyakit yang menyebabkan demam dan pendarahan hebat ini memusnahkan ratusan golira di Taman Nasional Odzala-Kokoua pada tahun berikutnya. Tahun 2014 ilmuwan menguji vaksin pada sekelompok simpanse yang terbukti aman dan efektif.

Chytridiomycosis

Jamur mematikan yang disebut "chytrid" telah menyebabkan malapetaka bagi banyak katak dan salamander. Selama tiga dekade terakhir, penyakit tersebut menurunkan lebih dari 200 spesies amfibi, dan beberapa diantaranya menuju kepunahan.
Pada tahun 2000-an gelombang infeksi jamur memusnahkan lebih dari 30 spesies amfibi di El Copé, Panama. Jamur yang disebut Batrachochytrium dendrobatidis, ditemukan di setiap benua kecuali Antartika. Infeksi dapat dirasakan pada lapisan luar kulit korban yang akan membuat lemas hingga kematian.
Jamur ini ternyata tidak membahayakan bagi beberapa spesies yang dianggap kuat, seperti jenis katak di Illinois AS, Korea, dan Afrika. Penyebaran penyakit juga diakibatkan oleh perdagangan amfibi ke banyak tempat.
ADVERTISEMENT

Ensefalitis West Nile

Pada tahun 1999, Kota New York menjadi episentrum wabah penyakit baru. Manusia dirawat di rumah sakit karena radang otak yang disebabkan oleh virus West Nile. Pada saat yang sama, virus menyerang burung gagak dan jenis burung lainnya yang berujung kematian.
Virus yang banyak ditemukan di Afrika dan Asia ditularkan oleh nyamuk. Lalu, pandemi membunuh jutaan burung di seluruh AS, Meksiko, dan Kanada. West Nile telah terdeteksi pada sekitar 48 spesies nyamuk dan 250 spesies burung. Manusia dan kuda juga merupakan korban keganasan wabah.
West Nile mengurangi jumlah gagak Amerika sekitar 45 persen. Tak hanya itu, penurunan populasi juga tercatat pada robin Amerika, burung biru timur, titmouse berumbai, dan chickadee. Para peneliti kemudian mengembangkan vaksin untuk burung yang terancam punah, seperti kondor California. Vaksin untuk spesies lain juga terus dikembangkan.
ADVERTISEMENT

Sindrom Hidung Putih

Pada tahun 2006, seorang penjelajah gua mengambil foto seekor kelelawar di dekat Albany, New York. Kelelawar ditemukan memiliki jamur putih di sekitar hidungnya. Tak membutuhkan waktu yang lama, sindrom menyebar ke seluruh AS dan Kanada.
Kematian masif terjadi pada kelelawar yang mencapai angka enam juta nyawa oleh wabah hidung putih. Jamur yang menyerang disebut Pseudogymnoascus destructans membuat kelelawar yang seharusnya berhibernasi berperilaku tidak menentu. Alih-alih melakukan tidur panjang untuk menyimpan energi, kelelawar justru terbang sangat jauh dari gua, sehingga menguras cadangan lemak, dan mati kelaparan.
Sindrom hidung putih secara dramatis telah benar-benar mengubah populasi kelelawar di Amerika Utara. Misalnya, spesies kelelawar bertelinga panjang utara menurun 99 persen di timur laut. Beberapa upaya dilakukan, seperti membatasi akses manusia ke gua, dan melindungi habitat kelelawar.
ADVERTISEMENT

Antraks

Antraks sebenarnya adalah penyakit purba yang tetap menjadi momok bagi satwa liar. Wabah ini memang sebagian besar menyerang herbivora, namun tak menutup kemungkinan menyebar pada mamalia lain, termasuk beberapa karnivora, kera besar, bahkan manusia.
Antraks dapat memiliki konsekuensi yang berbeda berdasarkan spesies dan ekosistemnya. Penyakit ini dianggap sebagai bagian alami dari ekosistem di Taman Nasional Etosha, Namibia. Namun, tetap saja antraks bersifat mematikan.
Pada tahun 2004, Suaka Margasatwa Malilangwe di Zimbabwe kehilangan 90 persen dari populasi herbivora liar. Enam tahun berikutnya, wabah yang sama bertanggung jawab atas kematian lebih dari 80 kuda nil di Uganda.
Spora bakteri antraks bernama Bacillus anthracis, dapat hidup di tanah selama beberapa tahun dan menginfeksi ternak yang merumput, dan kemudian menyerang manusia. Memvaksinasi ternak secara teratur dapat membatasi penyebaran wabah.
ADVERTISEMENT