Beberapa Hewan Diduga Dapat Terserang Penyakit Mental

Dasar Binatang
Menyajikan sisi unik dunia binatang, menjelajah ke semesta eksotisme lain margasatwa
Konten dari Pengguna
25 September 2020 14:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seekor Anjing Diduga Depresi. Foto: Screen Youtube zefrank1
zoom-in-whitePerbesar
Seekor Anjing Diduga Depresi. Foto: Screen Youtube zefrank1
ADVERTISEMENT
Flint, seekor simpanse di Taman Nasional Gombe, Tanzania, sangat terpukul saat ibunya meninggal. Flint menjadi pendiam dan sering menatap ke langit. Selain itu, nafsu makan berkurang yang mengakibatkan badan menjadi lemah. Bahkan, Flint ditemukan sering duduk di dekat tempat ibunya terbaring, dan menghembuskan nafas terakhir.
ADVERTISEMENT
Jane Goodall, ahli primata, menceritakan kisah sendu tersebut dalam bukunya Through a Window pada tahun 2010, dan berpendapat bahwa anak simpanse yang malang itu menderita depresi. Melansir dari BBC, berikut penjelasan beberapa spesies hewan diduga dapat terserang penyakit mental.
Para ilmuwan dapat memperkirakan apakah hewan menderita penyakit mental atau tidak, baik itu binatang liar, peliharaan, atau yang dipelihara di kebun binatang dan sirkus yang tidak dikelola dengan baik. Hewan bisa menjadi sangat sedih, cemas, atau bahkan berakibat pada trauma. Dengan kata lain, penyakit psikologis tersebut tidak hanya ditemukan pada manusia, namun juga kerajaan hewan.
Penyakit mental pada hewan dapat dikenali menjadi beberapa bentuk. Seperti contoh, spesies burung tertentu secara obsesif mencabuti bulunya, dan beberapa anjing tiba-tiba ditemukan menjilat ekor atau cakar, sama seperti perilaku manusia yang membersihkan tangan. Hewan lainnya juga diketahui melukai diri sendiri, misalnya mencabut rambut, seperti manusia yang depresi.
ADVERTISEMENT
Tampaknya penyakit mental pada hewan dapat dipicu oleh banyak faktor serupa dengan manusia. Itu termasuk kehilangan keluarga atau sahabat, kehilangan kebebasan, stres, trauma dan pelecehan. Fenomena ini juga paling bisa diidentifikasi pada hewan yang ditahan di penakaran.
Para ilmuwan menemukan tanda-tanda depresi dan gangguan stres pasca trauma (PTSD) pada hewan dalam sebuah studi tahun 2011, dimana simpanse menjadi objek penelitian di laboratorium. Simpanse ini mengalami masalah hidup yang berat, yaitu menjadi yatim piatu, terperangkap oleh penjerat, atau menjadi bagian dari perdagangan ilegal.
Penelitian lebih lanjut pada tahun 2014, dimana mengidentifikasi stres pada hewan yang dapat meninggalkan bekas pada gen. Para ilmuwan menemukan burung beo abu-abu Afrika yang ditampung sendirian mengalami lebih banyak kerusakan genetik daripada burung beo yang memiliki pasangan atau kawanan. Ujung kromosom pada burung perlahan memburuk seiring dengan bertambahnya usia atau stres. Burung beo berusia sembilan tahun yang dibesarkan sendiri memiliki telomere sependek burung liar berusia 23 tahun lebih tua.
ADVERTISEMENT
Selain itu, spesies lain, seperti anjing militer juga diduga dapat terserang PTSD. Anjing ini berperilaku mirip dengan tentara yang mengalami trauma perang. Beberapa ekor bahkan dirawat menggunakan obat yang sama pada manusia untuk menyembuhkan serangan panik dan kecemasan. Perilaku serupa, seperti gemetar dan ketakutan, sering terlihat pada anjing sipil yang mengalami bencana alam atau ditinggalkan pemiliknya.
Meskipun begitu, tidak semua hewan di alam liar juga akan selamat dari gangguan psikologis. Marc Bekoff, pakar perilaku hewan, melihat seekor anak anjing hutan liar berperilaku aneh di Taman Nasional Grand Teton, Wyoming, Amerika Serikat. Pada bukunya The Emotional Lives of Animals tahun 2008, Bekoff menduga bahwa anak anjing tersebut menderita semacam autisme. Faktanya, mengetahui lebih dalam tentang perilaku hewan merupakan pekerjaan yang rumit.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, manusia tidak cukup tahu tentang apa yang dimaksud dengan perilaku normal atau tidak pada hewan. Semua gangguan mental, mulai dari depresi hingga skizofrenia, melibatkan perilaku abnormal. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh gen sama seperti perilaku lainnya, kata Jess Nithianantharajah dari Florey Institute of Neuroscience and Mental Health di Melbourne, Australia.