Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ancaman Gempa Bumi di Depan Mata, Seberapa Ideal Mitigasi di Indonesia?
14 Agustus 2021 12:06 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Data Driven Storytelling tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gempa bumi tidak membunuh dan melukai, tetapi yang melakukan hal tersebut adalah bangunan yang roboh ketika gempa bumi terjadi.
ADVERTISEMENT
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada lebih dari 8.000 gempa bumi di Indonesia dengan magnitudo M > 5.0 dari tahun 1900-2009. Tingginya angka ini tidak terlepas dari adanya fakta bahwa Indonesia dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan merupakan tempat bertemunya tiga lempeng tektonik dunia (Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik). Ancaman bencana alam tersebut semakin nyata ketika korban terus berjatuhan dan bangunan mulai luluh lantak hanya karena pola mitigasi yang belum menjadi budaya nasional.
Di Indonesia sendiri, gempa bumi yang paling banyak terjadi adalah gempa tektonik yang disebabkan oleh aktivitas tumbukan/subduksi lempeng/megathrust yang terus bergerak karena aktivitas pada inti bumi. Berdasarkan penjelasan dari Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, wilayah subduksi di Indonesia hanya terdapat di barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, utara Sulawesi, di antara Sulawesi dan Halmahera, Laut Banda, serta utara Papua. Penyebab lain dari gempa bumi tektonik adalah sesar aktif/patahan/bagian dalam lempeng yang merekah dan bergeser.
ADVERTISEMENT
“Ada 295 titik sesar aktif yang tersebar di daratan Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Halmahera, hingga Papua,” ujar Daryono yang diwawancarai secara virtual, Kamis (6/5/2021).
Berdasarkan data Katalog Gempa Bumi BMKG, ada 264 gempa bumi dengan magnitudo ≥ 5.5 terjadi di wilayah Indonesia sepanjang tahun 2016-2020. Dari persebaran tersebut, Kalimantan dan Papua menjadi wilayah dengan jumlah gempa bumi yang cenderung lebih sedikit dibandingkan wilayah lainnya.
Seringnya gempa bumi di Indonesia menuntut masyarakat lebih sadar akan bahaya dan dampaknya. Jika dilihat dari aspek kesiapsiagaan atau preparedness sebagai salah satu komponen manajemen bencana modern dalam Jurnal Komunikasi Bencana, kesadaran masyarakat yang mencakup antisipasi masalah bencana dengan berbagai cara efektif dan persiapan sumber daya terlihat belum bisa dikatakan cukup. Salah satunya adalah beberapa komunitas sekolah yang belum menerapkan pelatihan gempa bumi sejak dini. Dalam cakupan yang lebih luas, masih banyak bangunan berdiri tanpa mengacu pada standar bangunan tahan gempa.
“Geologi dan kepadatan penduduk di Yogyakarta dan Suruga Bay, Jepang mirip tetapi gempa di Suruga yang meninggal hanya 1 orang. Itu bukti bahwa mengadopsi bangunan tahan gempa ternyata mampu menekan jumlah korban jiwa,” kata Daryono.
ADVERTISEMENT
Berbagai masalah secara konseptual maupun lapangan dari bencana di Indonesia tersebut terangkum dalam Jurnal Komunikasi Bencana dengan istilah “KIKK” atau Komunikasi, Informasi, Koordinasi, dan Kerjasama.
Pemulihan Usai Kehancuran
Gempa bumi berlangsung dengan kekuatan yang berbeda-beda. Sejak tahun 2018, pengukuran skala gempa Indonesia tidak lagi menggunakan Skala Richter (SR), tetapi skala Magnitudo Momen (M atau Mw). Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam situs milik US Geological Survey (USGS) serta keterangan dari Daryono bahwa Magnitudo Momen lebih akurat untuk mengukur kekuatan gempa.
“Karena kalau Skala Richter itu tidak bisa untuk mengukur gempa di atas 6.5. Itu sudah tidak akan mampu karena SR hanya untuk gempa lokal (local earthquake),” jelas Daryono.
Menurut sebuah situs internasional, terdapat enam kategori skala magnitudo gempa bumi dengan dampaknya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data tahun 2016 hingga 2020, gempa bumi dengan magnitudo lebih dari atau sama dengan 5.5 paling banyak terjadi pada tahun 2020 yakni sebanyak 71 kali dan paling sedikit terjadi pada tahun 2017 yaitu sebanyak 29 kali. Dari jumlah keseluruhan, gempa bumi dengan M 7.7 merupakan yang terkuat selama tahun 2016.
Dalam lima tahun terakhir, gempa bumi dengan magnitudo 5.5 hingga 6.0 adalah yang paling sering terjadi setiap tahunnya. Jika dirinci, gempa bumi yang menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan dan struktur lainnya tersebut terjadi sebanyak 55 kali (20,83 persen) pada tahun 2020. Sementara itu, gempa bumi besar dengan magnitudo 7.0 hingga 7.9 penyebab kerusakan serius paling banyak terjadi pada tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Gempa bumi pada periode tersebut telah menimbulkan kerusakan ringan hingga serius di wilayah terjadinya bencana. Tingkatan dampak gempa bumi dapat dijelaskan melalui Skala Intensitas Gempa Bumi (SIG).
Berbicara tentang gempa bumi merusak seakan mengingatkan kita pada bencana yang tidak dapat terlepas dari ingatan masyarakat Indonesia: gempa bumi yang disertai tsunami di Aceh pada 2004 silam dan Donggala-Palu-Sigi pada 2018 lalu.
Wilayah terdampak yang begitu luas dan korban yang berjatuhan tentu membutuhkan pemulihan yang tidak sederhana. Sebagai komponen lain dari manajemen bencana modern, pemulihan atau recovery mencakup perbaikan dari apa yang rusak atau hilang dan mengurangi risiko bencana di masa depan. Dari lima sektor pemulihan dalam artikel Jurnal Geografi, ekonomi menjadi bidang terpenting untuk penghidupan masyarakat mendatang.
ADVERTISEMENT
Eliminasi Dampak Bencana Lanjutan
Aceh dan Donggala menjadi saksi bahwa gempa bumi juga mengakibatkan terjadinya bencana lanjutan lain seperti tsunami dan fenomena likuifaksi tanah di wilayah sekitar titik gempa.
Menurut Ganda Marihot Simangunsong, ahli pertambangan dan batuan dari Institut Teknologi Bandung, likuifaksi atau tanah bergerak adalah perilaku tanah yang mengalami perubahan menjadi cair. Fenomena yang biasa terjadi pada material berpasir tersebut dapat menyebabkan tanah menjadi amblas dan bangunan di atasnya menjadi runtuh.
“Likuifaksi tidak akan terjadi pada daerah yang batuannya kuat, tetapi pada daerah yang batuannya lemah,” jelas Ganda pada Jumat (23/4/2021) dalam wawancara virtual.
Sementara itu, tsunami dapat terjadi ketika gempa bumi berada di dasar laut dengan pergerakan vertikal cukup besar, adanya letusan gunung api di laut, atau terjadi longsoran di laut.
Ketika telah terjadi, risiko dari gempa bumi dan bencana lanjutannya dapat diperkecil melalui upaya respons. Menurut Jurnal Komunikasi Bencana, respons mencakup hunian darurat, pencarian, penanganan korban, asesmen kerusakan, dan pengukuran kedaruratan.
ADVERTISEMENT
Mitigasi Jadi Solusi
Bencana alam termasuk gempa bumi dapat terjadi kapan dan di mana saja. Adanya potensi ancaman yang begitu tinggi menghendaki masyarakat untuk selalu siap dalam menghadapinya.
Mayoritas gempa bumi terjadi pada malam hari atau sebesar 36 persen selama lima tahun terakhir. Meski tidak ada penjelasan ilmiah yang mendasari hal ini, dampak bencana yang ditimbulkan bisa menjadi lebih besar saat masyarakat sedang tidur atau tidak beraktivitas. Hal tersebut karena malam hari adalah waktu di mana manusia tidak dalam keadaan terjaga.
Untuk itu, meminimalisasi risiko gempa bumi pada dasarnya membutuhkan mitigasi. Dalam Jurnal Komunikasi Bencana, mitigasi merupakan rencana jangka panjang yang termasuk identifikasi aspek kerentanan dari bagian-bagian wilayah, khususnya yang mengacu pada ancaman atau bahaya.
ADVERTISEMENT
Dalam proses mitigasi, komunikasi menjadi hal yang penting karena dapat melakukan pendekatan secara komprehensif, sistematik, dan terintegrasi antar lembaga, komponen, maupun stakeholder yang ada. Hal ini penting untuk dilakukan agar keterlibatan mereka saat peristiwa bencana, mitigasi, hingga tahap pemulihan dapat membantu korban bencana serta mengurangi risiko.
ADVERTISEMENT
Mitigasi tentunya wajib diterapkan pada wilayah yang memiliki catatan sering terjadi gempa. Dari peta persebaran, wilayah paling rawan gempa terlihat ada di sekitar Maluku, Sulawesi, dan sekitarnya. Laut Banda dua kali menjadi wilayah dengan jumlah gempa paling sering dalam periode setahun yakni sebanyak lima gempa pada 2016 dan 12 gempa pada 2020.
Berdasarkan penjelasan dari sebuah jurnal, ini terjadi karena wilayah Laut Banda dan sekitarnya memiliki tingkat seismisitas yang tinggi akibat keadaan tatanan tektonik di daerah tersebut. Daerah Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah pertemuan tiga lempeng utama, sama seperti alasan mengapa di Indonesia sangat sering terjadi gempa bumi. Selain itu, terdapat juga komponen lain yaitu kontinen mikro Bangga-Sula, kontinen mikro Tukang Besi, Lempeng Laut Sulawesi, dan proses pembukaan Selat Makassar yang berperan dalam pembentukan daerah Sulawesi dan memang memiliki aktivitas gempa yang tinggi.
ADVERTISEMENT
“Sulawesi dan sekitarnya memiliki banyak sekali sumber gempa dan pergeserannya lebih cepat,” kata Daryono.
Meski data lima tahun terakhir menunjukkan Sulawesi sebagai wilayah yang paling sering terkena gempa bumi, mitigasi bencana harus menjadi budaya untuk seluruh masyarakat wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Hal ini karena data dan sejarah panjang kegempaan di wilayah lain tetap ada dan tidak bisa diabaikan.
“Kita mengenal rhythm period atau periode ulang. Ketika terjadi gempa di sebuah wilayah, suatu saat di situ akan terjadi lagi karena sumber gempanya banyak,” jelas Daryono.
BMKG sendiri aktif melakukan mitigasi dengan memberikan informasi gempa serta peringatan dini tsunami melalui aplikasi BMKG Real-time Earthquakes, sistem monitoring, pemrosesan, membangun sistem mitigasi di daerah, jalur evakuasi tsunami, rambu-rambu evakuasi, membuat arahan terkait bangunan tahan gempa, serta menyiapkan dan membantu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam infrastruktur mitigasi: sirine dan Warning Receiver System (WRS).
ADVERTISEMENT
Pemerintah daerah juga berada dalam jalur yang sama untuk membangun infrastruktur mitigasi dengan bantuan pihak BMKG yang lebih memahami informasi terkait kegempaan dan penghitungan kerugian. Di sisi lain, dukungan dari pemerintah pusat untuk mencapai tujuan bersama ini juga dinilai masih sangat diperlukan.
Tentunya, perilaku mitigasi dan kesiapsiagaan bencana yang melibatkan berbagai lembaga juga membutuhkan masyarakat untuk menjadi sebuah sistem dengan kerja sama kuat. Pemahaman dalam menghadapi bencana perlu diterapkan dengan serius agar dapat mengurangi kerugian dan korban. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan sebelum, saat, dan setelah kejadian gempa bumi berdasarkan Jurnal Gempa Bumi, Tsunami, dan Mitigasinya.
Menurut Daryono, upaya yang dilakukan pihaknya belum cukup. Usaha mencapai pola mitigasi yang ideal masih terus diupayakan melalui pengadaan alat dan edukasi.
ADVERTISEMENT
Gempa bumi dan bencana lain memang bukan salah siapa-siapa. Namun, jika bencana itu sudah menghancurkan banyak hal, stakeholder yakni pemerintah, masyarakat, badan penanggulangan, badan SAR, LSM, dan pihak lainnya tentu perlu menyatukan tangan untuk bertanggung jawab. Tujuannya jelas, sebab nyawa dan kehidupan adalah yang utama.
-------------------------------------------------------------------------
Penulis: Eolia Pratama, Rifka Dhea Saffanah, Tiara Kandida Enggarsari, Regina Ulibasa Patricia Hutagalung, Ignasius Marcel Hadinata
Tim Dosen: Albertus Magnus Prestianta, Utami Diah Kusumawati, Veronika