Melihat Sosok Buya Hamka sebagai Ulama yang Tangguh dan Berjiwa Besar

Muhammad Davi Arham
Alumni Prodi Hukum Keluarga Islam - Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2022
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2020 10:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Davi Arham tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buya Hamka, ulama kharismatik yang gigih   memperjuangkan Islam dan negara Indonesia.
zoom-in-whitePerbesar
Buya Hamka, ulama kharismatik yang gigih memperjuangkan Islam dan negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Indonesia pernah memiliki seorang tokoh ternama sekaligus putra bangsa yang berpengaruh bagi banyak orang. Beliau adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disapa Buya Hamka. Sosok yang memiliki darah Minang ini merupakan salah seorang tokoh yang cukup berperan pasca kemerdekaan Indonesia. Beliau tercatat sebagai tokoh yang dapat menempatkan dirinya bukan hanya sebagai ulama religius nan kharismatik, namun juga seorang politikus, sejarawan dan penulis handal.
ADVERTISEMENT
Sebutan tersebut tampaknya tak berlebihan jika dialamatkan kepadanya. Sebab, fakta telah membuktikan bahwa beliau telah banyak memberikan sumbangsih bagi agama Islam dan Indonesia. Sejumlah karya yang beliau tulis telah memberikan manfaat yang luar biasa tak hanya bagi warga Indonesia, tapi juga mancanegara. Karya tersebut cukup banyak, di antaranya: Tafsir al-Azhar, Tasawuf Modern, Novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, Dalam Lindungan Ka’bah, Falsafah Ideologi Islam dan masih banyak lagi.
Sebagai salah satu ulama besar Nusantara, Buya Hamka termasuk tokoh yang sering diberi kepercayaan oleh berbagai kalangan. Oleh pemerintah beliau pernah diberi amanah untuk menjadi pejabat tinggi dan dewan penasehat Departemen Agama. Lebih dari itu, beliau juga kerap mewakili Indonesia menghadiri pertemuan antar negara. Tercatat, beliau pernah memenuhi undangan Amerika Serikat, mengikuti konferensi Negara-negara Islam di Rabat, dan hadir di Kuala Lumpur pada acara seminar tentang Islam dan Peradaban.
ADVERTISEMENT
Mulai bergabung dengan Sarekat Islam
Kiprah sang ulama sudah terlihat sejak masa mudanya. Minat untuk memajukan umat Islam menjadi alasan utama beliau memutuskan untuk pergi ke Pulau Jawa pada tahun 1925 dan bergabung dengan Sarekat Islam yang merupakan salah satu organisasi terbesar kala itu. Pertama kalinya beliau bertemu langsung dengan pimpinan Sarekat Islam, H.O.S. Cokroaminoto.
Di sinilah beliau tampak sangat serius dan konsisten untuk mempelajari materi keislaman dan mulai berdiskusi perihal politik. Tampaknya, pemikiran beliau telah terpengaruh oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam mancanegara, macam Jalaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta pemikiran tokoh muslim di Jawa, seperti H.O.S. Cokroaminoto, KH. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya.. Ada kalimat pujian yang dilontarkan oleh Buya Hamka kepada, tatkala telah menimba ilmu di Sarekat Islam bersamanya:
ADVERTISEMENT
“Ayah saya dan guru-guru saya di Sumatera telah memberi dasar-dasar sebagai orang Islam, tetapi H.O.S. Tjokroaminoto telah membuka mata saya untuk Islam yang hidup!. Jiwa saya diisi oleh ayah, mata saya dibukakan oleh Tjokro”
Berkiprah di Muhammadiyah
Perjalanan beliau tidak berhenti sampai di situ. Buya Hamka terus melakukan safari ilmiahnya dan berguru kepada KH. Fachruddin yang merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah pada masanya. Ternyata, beliau cukup tertarik dengan pemikiran-pemikiran Muhammadiyah. Dari situlah, beliau pada akhirnya ikut bergabung dan aktif dengan organisasi tersebut serta menjadi seorang kader unggulan. Keikutsertaan beliau ini merupakan lanjutan dari perjuangan ayahnya yang juga seorang kader Muhammadiyah di daerah Minangkabau.
Bersama Muhammadiyah, Buya Hamka tampak bersemangat untuk menyebarkan agama Islam serta turut memperjuangkan Tanah Air. Kegigihan beliau ditunjukkan dengan mencurahkan segenap pemikiran dan tenaga untuk kebaikan Bersama. Langkah Buya Hamka untuk mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat terealisasikan pasca kepulangan beliau dari ibadah haji. Melalui usulan Abdullah Kamil pada 1929, didirikanlah perguruan Muhammadiyah yang bernama Tabligh School.
ADVERTISEMENT
Perguruan ini bermaksud untuk melahirkan kader-kader Muhammadiyah yang mumpuni dan berkualitas. Namun sayang, dikarenakan suatu hal, perguruan ini tak berlangsung lama. Pada tahun 1931, program pendidikan Tabligh School dihentikan.
Tak patah semangat, beliau mendirikan lagi sekolah pengkaderan bernama Kulliyatul Muballighin pada tahun 1935. Pendirian ini dilakukan di setiap cabang-cabang Muhammadiyah di Sumatera Barat setelah masing-masing cabang menerima maklumat dibukanya program ini. Keberadaan sekolah ini mendapat apresiasi dan simpati yang sangat baik. Para pemuda lulusan Thawalib diberikan kesempatan untuk menimba ilmu di sini. Begitu pula dengan pemuda Irsyadunnas maupun Sekolah Diniyah yang sederajat untuk bergabung dengan Kulliyatul Muballighin.
Seiring perjalanan beliau mengabdikan diri sebagai kader Muhammadiyah di daerah, beliau pada akhirnya diberi amanah untuk menjadi salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah setelah kongres ke 32 di Purwokerto tahun 1953. Keistimewaan beliau terlihat pada kongres-kongres selanjutnya. Beliau acap kali didukung untuk tetap berada di jajaran pimpinan pusat ketika kongres diadakan di Palembang, Yogyakarta, Makassar dan Padang.
ADVERTISEMENT
Buya Hamka dan Masyumi
Dalam memperjuangkan politik Islam, Buya Hamka sebagai kader Muhammadiyah juga menjelma sebagai tokoh dari Partai Masyumi. Partai yang bernafaskan Islam ini turut serta dalam kontestasi perpolitikan di Indonesia. Diketahui, saat itu Masyumi berada di barisan atas Bersama PNI dan PSI. Buya Hamka kala itu sempat menjabat sebagai anggota konstituante mewakili Jawa Tengah selama kurun waktu 1955 – 1957.
Selama ini, beliau diketahui merupakan tokoh yang vokal menolak paham komunis disebut tidak sepakat dengan konsep NASAKOM Presiden Soekarno, yaitu nasionalis, agamis dan komunis. Sejak itu, hubungan antara Soekarno dengan Buya Hamka mulai merenggang. Buya Hamka memiliki cita-cita untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Jelas, ini bertolak belakang dengan Soekarno yang menginginkan konsep Democratisch-centralisme.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Dewan Konstituante dibubarkan oleh Soekarno pada 1959. Buya Hamka melanjutkan kiprahnya dengan berdakwah menyebarluakan Islam.
Ujian yang dihadapi Buya Hamka
Sepak terjang beliau yang penuh dengan kegemilangan dan prestasi ternyata tak bisa menghindarkan beliau dari kekejaman oknum penguasa. Perjuangan yang diberikan untuk bangsa dan negara seakan tidak ada gunanya. Pada masa orde lama, tepatnya pada tahun 1964 hingga 1966 beliau sempat dijebloskan ke penjara selama kurang lebih dua tahun. Tuduhan keji bahwa beliau adalah tokoh yang mendukung Malaysia sempat dialamatkan kepadanya. Dalam bukunya Tasawuf Modern, beliau menceritakan kesedihannya tatkala dicap sebagai penghianat negara:
“Saudara penghianat, menjual negara kepada Malaysia,” Tutur beliau demikian. Tak dijelaskan secara pasti mengapa hal itu sampai terjadi. Kita semua tahu, bahwa beliau merupakan putra daerah yang cinta Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun siapa sangka, di balik jeruji besi beliau mampu menelurkan sebuah karya fenomenal. Buya Hamka sanggup menulis kitab Tafsir al-Azhar sebanyak 30 juz. Disebutkan pula bahwa beliau sempat berterima kasih kepada pihak yang mendzoliminya, karena dengan berada di penjara beliau berhasil menyelesaikan karya tersebut. Realita yang terdengar sulit untuk dilakukan oleh orang-orang pada umunya.
Kisah menarik lainnya tatkala beliau bersedia menjadi imam sholat bagi bung Karno tatkala ia wafat kelak. Sebagai orang sekaligus ulama yang berjiwa besar, Buya Hamka dengan keilhlasan hati memaafkan orang-orang yang telah berbuat tak baik kepada beliau. Selama hidupnya, beliau telah melewati pahit getir perjuangan dan rintangan yang ada. Gelombang fitnah dan dengki dari berbagai kalangan mampu beliau terima dengan kesabaran serta kebesaran hati dan jiwa.
ADVERTISEMENT
Pelajaran berharga yang patut untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.