Bagaimana Mempertemukan Lingkungan Hidup dan Kebencanaan

David Efendi
Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah, Pendiri Rumah Baca Komunitas dan staf pengajar di UMY
Konten dari Pengguna
28 November 2021 16:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari David Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jalan longsor Foto: Antara/Anis Efizudin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jalan longsor Foto: Antara/Anis Efizudin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah sangat paten dan secara saintifik teruji bahwa kejadian bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Dua tahun terakhir sudah mulai ramai terdengar dua jenis bencana yaitu bencana alam dan bencana oligarki. Kata Oligarki mengganti kata manusia yang memicu bencana akibat tangan manusia yang dibencanaalamkan.
ADVERTISEMENT
Bencana alam dan bencana buatan manusia termasuk, misalnya, kekeringan, penggurunan, banjir, kebakaran, gempa bumi dan penyebaran gas radioaktif di atmosfer. Bencana antropogenik yang mustinya banyak peluang kita intervensi dan antisipasi agar dampaknya tidak menjadi dramatis.
Ada bencana yang terjadi karena perubahan siklus alam yang tidak ada kaitannya dengan manusia seperti gempa; dan ada bencana yang terkait dengan perilaku manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahan, semisal eksploitasi alam. Bencana bisa terjadi karena “dosa sosiologis” manusia yang salah perhitungan terhadap alam, seperti membangun pemukiman di lereng gunung sehingga terjadi longsor dan banjir.
Bencana alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dikelompokkan menjadi bencana geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan terpapar.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, sekitar 400 bencana alam terjadi di seluruh dunia. Ditambah lagi dengan 30–40 konflik bersenjata (Sumber: Centre for Research on the Epidemiology of Disasters. http://www.cred.be). Bersama-sama, ini dan keadaan darurat lainnya membahayakan kesehatan ratusan juta orang dan secara substansial meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas. Masa depan dapat membawa lebih banyak bencana ke lebih banyak tempat di seluruh dunia; perubahan iklim adalah kepastian ilmiah, dan dengan itu datang peningkatan tingkat peristiwa cuaca berbahaya di semua wilayah pesisir di seluruh dunia.
Peristiwa bencana alam dan keadaan bencana akibat ulah manusia (misalnya, konflik bersenjata; perubahan iklim; dan “bencana pembangunan”, seperti yang terjadi akibat banjir di bagian hulu konstruksi bendungan atau kerusakan berlebihan akibat gempa bumi di mana struktur tidak dibangun sesuai kode) sering terjadi dalam waktu yang relatif lama. Lokasi terpencil dan sulit dijangkau, seringkali di negara-negara miskin di dunia yang paling tidak mampu mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Lingkungan sering dipandang sebagai contoh pola dasar dari masalah global. Ini karena proses lingkungan tidak mengenal batas negara; mereka memiliki secara instrinsik berkarakter transnasional (Andrew Heyword, 2018). Karena negara-negara secara khusus rentan terhadap lingkungan terhadap kegiatan yang terjadi di negara lain, kemajuan berarti dalam masalah lingkungan seringkali hanya dapat dicapai di tingkat internasional atau bahkan global. Namun demikian, kerjasama internasional dalam hal-hal seperti itu terkadang sangat sulit dilakukan. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, lingkungan telah menjadi arena perdebatan ideologis dan politik tertentu. Ketidaksepakatan telah muncul tentang keseriusan dan sifat masalah lingkungan dan tentang cara terbaik untuk mengatasinya, paling tidak karena prioritas lingkungan cenderung bertentangan dengan prioritas ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dapatkah masalah lingkungan ditangani dalam sistem sosial ekonomi yang ada, atau sistem ini yang menjadi sumber masalah tersebut? Perdebatan semacam itu sangat bergairah tentang apa yang jelas merupakan isu sentral dalam agenda lingkungan global, perubahan iklim. Meskipun terkadang prediksi bencana tentang apa yang akan terjadi jika tantangan perubahan iklim tidak ditangani, aksi internasional bersama mengenai masalah ini sangat lambat muncul. Apa yang menjadi hambatan bagi kerja sama internasional mengenai perubahan iklim, dan apa yang akan melibatkan aksi internasional bersama dalam masalah ini?
Terakhir, perubahan iklim bukan satu-satunya isu dalam agenda lingkungan global. Isu lain yang menjadi perhatian utama adalah keamanan energi, dengan beberapa pembicaraan mengenai tatanan energi internasional baru di mana peringkat suatu negara dalam hierarki negara semakin ditentukan oleh luasnya cadangan minyak dan gas alamnya, atau kemampuannya untuk memperoleh mereka. Sejauh mana ketahanan energi telah membentuk kembali tatanan global, dan apakah sumber daya alam selalu menjadi berkah?
ADVERTISEMENT

Titik Temu Ekologi dan Bencana

Kerap kali urusan penanggulangan bencana terpisah dari pemikiran lingkungan karena emergency response berpusat pada penyelamatan manusia. Hal ini dapat berdampak buruk karena gagal menemukenali problem bencana yang berakar pada kerusakan akibat ulah manusia (man-made disaster).
Ilustrasi kekeringan. Foto: Raisan Al Farisi/ANTARA FOTO
Pertama, bencana bagi alam juga otomatis bagi manusia. Bahkan dalam upaya penanggulangan bencana dapat menjadi ajang pertunjukkan krisis kemanusiaan. Kekeringan dan penggurunan, dua peristiwa alam yang terkait erat, dapat berdampak signifikan terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Mereka juga mempengaruhi tutupan vegetasi dan seluruh siklus air, yang harus dipantau secara ketat.
Kedua, Keyakinan dan agama menemukan bencana dan kewajiban memakmurkan lingkungan hidup. Sebagai contoh adalah narasi dalam fikih kebencanaan Muhammadiyah (2018). Dalam suasana rentan, panik, dan tidak berdaya karena suatu bencana, masyarakat sering bertindak tidak masuk akal dan bahkan melakukan kesyirikan. Ada yang merespons dengan kepasrahan, ritual-ritual mistik, hingga dengan pengobatan atau sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
ADVERTISEMENT
Pemahaman yang tepat tentang bencana akan melahirkan sikap arif dan bijak, berpijak pada hukum sains, menjalani proses pencegahan dan mitigasi bencana. Bencana merupakan hal yang niscaya, tinggal mengubah cara kita menyikapinya. Merespons bencana apa pun, manusia harus mampu bangkit, memelihara harapan, dan melanjutkan hidup. Masyarakat yang tidak terkena bencana punya kewajiban membantu pemenuhan hak korban bencana dan memulihkan keadaan secara bermartabat. Dalam Fikih Kebencanaan Muhammadiyah berisi tentang Konsep Bencana, Bagaimana memaknai Bencana, Cara Pandang Pengelolaan Bencana, Pemenuhan Hak Korban Bencana, dan Masalah Ibadah pada Saat Bencana
Fikih Kebencanaan memahami bahwa bencana merupakan wujud kasih sayang Allah kepada manusia. Bencana merupakan ujian dan cobaan keimanan. Orang beriman akan memahami bahwa apa pun yang menimpa mereka adalah “kebaikan” dari Allah yang Rahman dan Rahim. Bencana merupakan ketetapan dan ketentuan (takdir) dari Allah.
ADVERTISEMENT

Adakah solusi?

Titik temu harus didayagunakan untuk menemukan solusi sejak dalam pikiran dan tindakan. Sebagai refleksi, saya sering merasa dikotomi bencana alam dan manusia menjadi tak masuk di akal. Narasi dominan bencana alam menjadikan nalar kritis bahwa manusia dapat mengundang bencana alam dianggap hoaks. Padahal faktanya, deforestasi akibat tambang dan sawitisasi terbukti berkontribusi secara eksponensial pada kejadian bencana. Di Muhammadiyah sendiri, menurut subyektifitas tafsir saya, nalar dikotomis ini terlihat pada dipisahkannya majelis lingkungan hidup dengan lembaga kebencanaan (MDMC) sementara tidak demikian terjadi di Aisyiyah yang menggabungkan keduanya.