Kader Hijau Muhammadiyah: Lawan Gurita Oligarki, Wujudkan Keadilan Ekologi

David Efendi
Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah, Pendiri Rumah Baca Komunitas dan staf pengajar di UMY
Konten dari Pengguna
2 November 2021 10:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari David Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: Logo Kader Hijau Muhammadiyah
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Logo Kader Hijau Muhammadiyah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua tahun Jokowi-Makruf duduk di kursi kekuasaan sebagai presiden dan wakil presiden dan dua tahun rakyat Indonesia berjibaku mencari selamat dari wabah Covid-19 diperparah dengan gerak oligarkis negara yang memaksakan ragam kebijakan dalam Undang-Undang yang kian menunjukkan watak tidak adil bagi manusia dan alam, termasuk pelemahan KPK juga bagian dari pukulan hebat bagi pejuang ekologi. Berbagai suara keberatan rakyat diabaikan tetapi kami tidak akan diam berpangku tangan.
ADVERTISEMENT
Menarik apa yang diupayakan pegiat Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) sebagai gerakan komunitas alternatif untuk mewujudkan masyarakat ekologis dan keadilan lingkungan yang sudah tiga tahun berkiprah. Gerakan KHM fokus pada advokasi baik litigasi atau non litigasi, gerakan ekoliterasi, dan aksi ekologi. Hemat penulis tiga kehendak memperbaiki tersebut layak disebut sebagai trilogi (tiga ekologi). Sikap itu relatif dijaga dan konsisten.
Gambar: Peserta Konsolidasi nasional KHM, 30-31 Oktober 2021
Kemarin pasca konsolnas, KHM mmenyampaikan pernyataan sikap sebagaimana point yang saya kutipkan secara penuh ini:
Pertama, dalam rangka menyikapi satu tahun diberlakukannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta kerja (UU Cilaka) dan UU Minerba yang saat ini jelas-jelas menyengsarakan rakyat dan ditandai dengan mulai berlakunya PP No. 64 thn. 2021 perihal Bank Tanah, tentu saja hal ini sangat mencederai semangat reforma agraria. KHM sebagai gerakan lingkungan tidak hanya mendukung penuh gugatan Judicial Review terhadap UU Minerba, tetapi juga mendesak pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang tersebut, karena merusak keberlangsungan ruang hidup masyarakat di penjuru tanah air.
ADVERTISEMENT
Kedua, KHM mendukung penuh perjuangan warga dalam mempertahankan hak hidup dan kelestarian lingkungan di Pakel Banyuwangi, Wadas Purworejo, Waduk Sepat Surabaya, Trenggalek, Tumpang Pitu Banyuwangi, Pekalongan, Batang, Papua, Kepulauan Sangihe, Belitung Timur, Wawonii, Jomboran, Dairi, Baduy, Lumpur Lapindo Porong, P. Komodo, Labuan Bajo, Besipae NTT, Kendeng Rembang, PLTU Cilacap & Indramayu, Padarincang, Urutsewu Kebumen, dan berbagai konflik agraria di wilayah Indonesia lainnya.
Ketiga, KHM mendesak pemerintah Republik Indonesia dan pihak-pihak yang mewakili Indonesia dalam forum COP26 yang akan berlangsung di Glasgow, Inggris untuk bersungguh-sungguh memperjuangkan keadilan lingkungan dan memperjuangkan keadilan antar generasi dengan cara membangun regulasi yang lebih adil kepada alam dan lebih adil kepada generasi yang akan datang sehingga perlu ditinjau ulang dan bila perlu dibatalkan undang-undang yang diduga menabrak kepentingan kepentingan dan idealisme dari keadilan lingkungan dan keadilan antar generasi seperti Undang-Undang Cipta kerja dan Undang-Undang Minerba.
ADVERTISEMENT
Keempat, mendesak presiden, lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan kepolisian untuk merespon secara aktif dengan menghentikan berbagai macam praktik kekerasan terhadap kelompok-kelompok masyarakat, masyarakat adat atau aktivis lingkungan yang mengalami kekerasan di dalam usaha melindungi ruang hidupnya yang terancam konflik agraria dan tambang.
Sikap yang diambil KHM ini adalah bentuk keberpihakannya pada isu keadilan baik untuk alam atau manusia di mana KHM memandang hubungan alam dan manusia tidak terpisahkan. Jika kebijakan adil kepada alam itu otomatis akan adil kepada manusia. Tentu saja butuh perangkat kebijakan yang nyata untuk mewujudkan visi tersebut. Kedua, dimensi kewargaan bumi sangat kuat di KHM sehingga isu-isu seperti COP 26 juga dikritisi mengingat banyaknya politik hipokrit melanda di sebagian pejabat NKRI ketika berada di forum-forum dunia. Hal ini diperkuat narasi di kalangan aktifis lingkungan sebagaimana meme di instagram berikut ini:
sumbera: IG BersihkanIndonesia
sumbera: IG BersihkanIndonesia
Seperti karakter "manusia indonesia" yang digambarkan sejak dulu, jokowi luhut and the club adalah watak asli Indonesia menurut Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaanya: hipokrit alias munafik dan satu lagi suka lepas tanggung jawab dan mental menerabas. Mungkin secara sarkastik diberikan gelar saja kepada Jokowi dan Luhut BP memang berwatak asli Indonesia: hipokrit, lari dari tanggung jawab, dan mentalitas menerabas. Dalam isu Hukum dan HAM serta upaya penangganan krisis iklim jelas hipokrit, dalam isu kesehatan dan pandemi lari dari tanggungjawab, dalam hal UU Cipta Kerja, pembunuhan anggota FPI, TWK KPK, UU Miinerba jelas sudah dia menerabas bin menghalalkan segala cara.
ADVERTISEMENT
Kita semua punya tanggungjawab moral intelektual dan moral politik untuk terus menerus mengoreksinya agar kita tidak sesat selama-lamanya. Down Brown pernah berkata: Sudut-sudut neraka sellau disiapkan bagi manusia yang selalu diam melihat krisis moral.