Konten dari Pengguna

Membayangkan Indonesia?

David Efendi
Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah, Pendiri Rumah Baca Komunitas dan staf pengajar di UMY
26 Desember 2023 15:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari David Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Foto pribadi/dokdesain2022
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Foto pribadi/dokdesain2022
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membayangkan Indonesia semakin sulit karena banyaknya paradok sepanjang sejarah pembentukannnya. Jika mendasari bayangkan pada label, ini daftarnya:
ADVERTISEMENT
Banyak diantara kita seharusnya menyadari betapa landasan pembentukan bangsa Indonesia adalah sangat rapuh bahkan sangat imajiner. Rapuh artinya gampang lenyap dan rusak, imajiner artinya hanya ada dalam bayangan setiap kepala kita yang merasa mempunyai bendera, bahasa Indonesia, peta, musium, dan data sensus yang sama. Tetapi zaman terus berubah, upacara saja tidak cukup, angka dalam sensus tidak menjadi persoalan dan musium sudah jarang dikunjungi lalu apa yang kita bisa jadikan landasan untuk tetap mempertahankan nama bersama yang disebut "BANGSA INDONESIA".
ADVERTISEMENT
Ketika nasib ratusan juta manusia merana dan pejabat berfoya-foya membangun mimpinya sendiri, lalu apa para pemimpin tega memaksa rakyat tertindas untuk tetap selalu menopang seremoni upacara menghormati bendera dalam keadaan lapar dan dahaga sementara pemimpin upacara berada di bawah payung yang teduh dan ber AC? bukannya memimpin itu menderita?
Setidaknya ada dua hal yang bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa lebih lama. Pertama, harus ada itikad baik atau political will dari pemerintah dan rakyat bahwa kita berbeda dan karena berbeda kita bersatu untuk membangun kekuatan mewujudkan the wealth of nation. Keragaman budaya tidak bisa ditindas atau dipaksakan sebagaimana Suharto memaksa keseragaman agar semua mengarah pada pembangunan meski Suharto membangun istanah dari tumpukan hutang maka runtuhlah akhirnya. Berbeda dengan Sukarno yang menyatukan bangsa dengan karisma dan ide nationalisme, atau nasakom, Suharto 'menyatukan' anak bangsa dengan kekuatan militer baik di Aceh dengan DOM, atau di Irian Jaya (Papua), dan Timur Timur.
ADVERTISEMENT
Terbukti Suharto gagal karena melawan kedaulatan alam. Alam terbentuk dari kekuatan berbeda-beda begitu juga bangsa Indonesia. Soekarno bisa dibilang gagal karena terlalu menuhankan nationalism dalam bayangan sementara manusia butuh kesejahteraan butuh kedaulatan ekonomi dan pangan tidak hanya hidup dengan nationalisme. keragaman budaya harus dihormati sehingga kasus Yogyakarta harus diakhiri dengan ungkapan makna tahta untuk rakyat dan yogykarta tetap setia kepada Indonesia meski jauh lebih tua dari Indonesia. Demokrasi liberal ala Barat tidak bisa menjanjikan apa-apa selain tatanan masyarakat yang anti-keragaman. Ingat pembentukan Amerika sangat berbeda dengan terciptanya Indonesia yang penuh kearifan lokal, nilai luhur bangsa. Amerika nampaknya tidak lebih dari kesepakatan atau kontrak politik dan sosial antara gengster untuk hidup lebih tenang dan berbagi sumber daya alam. Ikatan kedua adalah kesejahteraan bersama.
ADVERTISEMENT
Era demokrasi dimaksudkan untuk berbagi insentif kekayaan alam, distribusi pendapatan dan kesejahteraan untuk pemilik republik: RAKYAT. Sebagai pemilik republik kedaulatan tertinggi di tangannya. Rakyat bisa membatalkan pemilu jika mau, atau membubarkan negara bangsa jika dirasa perlu. Tapii, rakyat terlalu baik untuk kita kisahkan, rakyat tidak hendak emnentang penguasa yang dipilihnya walau korupsi mereka akan tetap menanggung derita akibat pilihannya. Rakyat menjaga dirinya dan pilihannya bahkan tidak pernah memaki presidennya yang tidak amanah.
Mulai tahun1999, setahun pasca Suharto lengser keprabon dikenalkannya era baru yang saya sebut sebagai the big bang of decentralisasi. Makna tersirat dan tersurat dari desentralisasi adalah mendekatkan negara kepada pemiliknya, mendekatkan kemakmuran dan kesejahteraan kepada pemilik aselinya: RAKYAT. Selama lebih dari 32 tahun negara dihakmiliki oleh sekumpulan genster, preman yang menyedot segalanya untuk perutnya sendiri. Suharto adalah kekuatan kapitalis diktator sejati yang didukung oleh strong man. Indonesia pada saat itu diperintah oleh kelompok shodow state, black kapitalis, dan informal economy. Negera dibajak dan demokrasi dijadikan alat legitimasi memeras kekayaan alam yang mengakibatkan kemiskinan menyundul langit, busung lapar, polio, dan sebagainya. Apakah fenomena itu sudah berakhir? BELUM. Indonesia masih dibajak oleh mereka.
ADVERTISEMENT
Selama 32 tahun mereka membangun jaringan sampai ke akar rumput. Jadi, desentralisasi juga sudah ditunggangi kepentingan mereka. Jika dulu mereka bermain di pemerintah pusat sekarang mereka menyedot lebih kuat ke tulang sumber kekayaan alam dan rakyat di daerah. Raja-raja baru bermunculan pasca pilkada langsung baik dari golongan borokrat, politisi-pengusaha, atau pengusaha. Desentralisasi kesejehteraan berubah menjadi desentralisasi korupsi dan aristokrasi lama dengan cara dan teknik baru. Jika demikian, kegagalan berbagi sejehtera di depan mata sampai puluhan tahun ke depan.
Akhirnya, jika pemerintah gagal mengapresiasi keragaman daerah, jika tidak menemukan alternatif inovasi untuk menjaga bayangan ide Indonesia tetap bersemayam dalam otak anak bangsa, jika saja desentralsiasi gagal menjadi alat berbagi kemakmuran dan masa depan anak bangsa, maka sekali lagi maka bangsa kita semakin rapuh dan tidak akan lama akan tenggelam terkubur dalam debu sejarah. Ini dramatis tetapi sangat mungkin terjadi. Ini pendapat saya. Mungkin ada manfaatnya
ADVERTISEMENT