news-card-video
30 Ramadhan 1446 HMinggu, 30 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Hukum Adat Vs Hak Asasi Manusia: Tinjauan Kritis Penyelesaian Sengketa

dawami hafidz
Profesi saya adalah sebagai mahasiswa Universitas Sunan Ampel Surabaya
27 Maret 2025 12:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dawami hafidz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diskusi Masyarakat Adat Mengenai Masalah Ham (Sumber: Dokumen Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Masyarakat Adat Mengenai Masalah Ham (Sumber: Dokumen Pribadi).
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya, dengan ratusan kelompok etnis dan tradisi hukum adat yang masih hidup di berbagai daerah. Hukum adat (customary law) telah menjadi bagian integral dalam menyelesaikan sengketa di tingkat komunitas, karena ia mencerminkan nilai-nilai lokal, kearifan tradisional, dan mekanisme perdamaian yang sudah berlangsung turun-temurun. Namun, di sisi lain, Indonesia juga terikat dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat universal, menjamin martabat dan kebebasan setiap individu. Kedua sistem ini sering kali bersinggungan, bahkan bertentangan, menciptakan tantangan dalam mewujudkan keadilan sosial yang inklusif.
ADVERTISEMENT
Perbedaan Prinsip Dasar: Hukum Adat vs. HAM
Hukum adat dan HAM sama-sama bertujuan untuk menciptakan keadilan, tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Hukum adat berakar pada tradisi komunitas tertentu, mengutamakan kebersamaan, musyawarah, dan pemulihan hubungan sosial. Misalnya, dalam masyarakat adat Dayak, sengketa tanah sering diselesaikan melalui musyawarah adat dengan melibatkan tetua kampung, bukan melalui pengadilan formal, sedangkan HAM, di sisi lain, bersifat universal dan individualistik, menekankan hak-hak dasar seperti kesetaraan gender, kebebasan beragama, dan perlindungan dari diskriminasi.
Masalah muncul ketika norma adat bertentangan dengan prinsip HAM. Contohnya, beberapa komunitas adat masih mempraktikkan pembagian warisan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, atau bahkan mengucilkan kelompok minoritas tertentu. Di sinilah ketegangan antara penghormatan terhadap budaya lokal dan perlindungan hak individu menjadi nyata.
ADVERTISEMENT
Konflik antara Hukum Adat dan HAM
Beberapa kasus menunjukkan bagaimana hukum adat dapat berbenturan dengan prinsip HAM, seperti contohnya pada kasus Diskriminasi Gender, Di beberapa daerah, perempuan tidak memiliki hak yang sama dalam kepemilikan tanah atau partisipasi politik adat. Misalnya, di Bali, sistem waris adat sering mengutamakan laki-laki sebagai penerus keluarga. Praktik seperti ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dalam HAM. Selain diskriminasi gender adapula kasus Hukuman Fisik dan Eksklusivitas Komunitas, Beberapa komunitas adat masih menerapkan hukuman fisik atau pengucilan bagi pelanggar aturan adat. Meskipun dianggap sebagai bentuk penegakan norma lokal, hal ini dapat melanggar hak seseorang atas perlindungan dari penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi. Dan ada satu kasus lagi yang paling sering terjadi yaitu Konflik Agama dan Adat, Di daerah dengan aturan adat yang ketat, kelompok minoritas agama atau kepercayaan sering menghadapi diskriminasi. Misalnya, pembatasan pembangunan rumah ibadah bagi kelompok tertentu dapat bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. Dalam menghadapi banyakny problematika yang telah disebutkan diatas bagaimana cara menyelesaikan sangketa jika terjadi masalah demikiankita memerlukan adanya Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Untuk mengatasi sengketa yang melibatkan hukum adat, Indonesia memiliki dua jalur utama:
ADVERTISEMENT
1. Pengadilan Adat
- Berfungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa berbasis komunitas.
- Prosesnya lebih cepat, murah, dan sesuai dengan nilai-nilai lokal.
- Namun, keputusannya kadang tidak sejalan dengan hukum nasional atau HAM.
2. Pengadilan Umum
-Berpedoman pada hukum positif Indonesia dan prinsip HAM.
-Lebih menjamin hak individu, tetapi sering dianggap tidak memahami konteks budaya lokal.
Meskipun demikan ada Tantangan terbesar yang muncul ketika pengadilan adat mengambil keputusan yang diskriminatif, tetapi masyarakat enggan membawanya ke pengadilan nasional karena khawatir dianggap melawan tradisi. Nah, disini kita akan membahas bagaimana Agar hukum adat dan HAM dapat berjalan beriringan, diperlukan beberapa langkah strategis:
1. Dialog Antara Pemangku Kepentingan
Dialog antara pemangku kepentingan bukanlah jalan mudah, tetapi satu-satunya cara untuk mencapai keadilan yang inklusif. Hukum adat dan HAM tidak harus dipertentangkan keduanya bisa saling melengkapi jika ada kemauan untuk mendengar, berkompromi, dan berinovasi. Tantangannya adalah menciptakan ruang dialog yang setara, di mana semua suara didengar tanpa dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Contoh sukses: Di Minangkabau, terjadi penyesuaian hukum waris adat agar lebih inklusif terhadap perempuan melalui musyawarah adat.
ADVERTISEMENT
2. Pendidikan Hukum dan Sosialisasi HAM
Pendidikan hukum adat dan sosialisasi HAM harus berjalan beriringan bukan untuk saling meniadakan, tapi untuk memperkaya pemahaman bersama. Kuncinya adalah:
1. Dialog, bukan monolog → Libatkan semua pihak dalam proses belajar.
2. Adaptasi, bukan penghancuran → Reformasi praktik adat yang bertentangan dengan HAM tanpa menghilangkan esensinya.
3. Literasi untuk semua → Baik masyarakat adat maupun aktivis HAM harus saling memahami.
Seperti contoh, LSM dan pemerintah dapat mengadakan pelatihan tentang HAM bagi tokoh adat dan masyarakat.
4. Penguatan Kerangka Hukum Nasional
Perlu ada pengakuan resmi terhadap hukum adat dalam sistem hukum Indonesia, tetapi dengan batasan yang jelas agar tidak melanggar HAM. Penguatan kerangka hukum nasional untuk harmonisasi hukum adat dan HAM membutuhkan Pengakuan yang lebih tegas dalam peraturan perundang-undangan, Mekanisme resolusi konflik yang adil dan melibatkan semua pihak, dan Pendidikan hukum yang mengintegrasikan perspektif adat dan HAM.
ADVERTISEMENT
Sudah ada bukti nyata Mahkamah Konstitusi telah mengakui hak masyarakat adat dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, tetapi implementasinya masih lemah dan butuh Kerjasama pemerintah yang serius agar mendapatkan hasil implementasi yang semaksimal mungkin
Menuju Keadilan yang Berkeadilan
Indonesia tidak perlu memilih antara menghapus hukum adat atau mengabaikan HAM. Solusinya terletak padaharmonisasi mencari titik temu di mana tradisi lokal dapat dipertahankan tanpa melanggar hak asasi manusia. Dengan pendekatan dialogis, pendidikan, dan reformasi hukum, kita dapat menciptakan sistem penyelesaian sengketa yang adil, menghormati budaya sekaligus melindungi martabat setiap warga negara. Pada akhirnya, tujuan bersama adalah membangun masyarakat yang tidak hanya taat pada adat, tetapi juga berkeadilan bagi semua.