Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Dinasti Politik Tak Pernah Berakhir
1 September 2020 7:46 WIB
Tulisan dari Nurhidayatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang pelaksanaan pilkada serentak 2020, isu politik dinasti mulai mencuat ke permukaan publik. Salah satunya dengan munculnya pencalonan putra pertama Jokowi yakni Ghibran Raka Buming Raka sebagai calon walikota Solo. Kemudian iparnya Bobi Nasution maju sebagai calon wali kota Medan. Dilain pihak putri dari wakil presiden Ma’ruf Amin pun, Siti Azizah juga maju dalam pemilihan wali kota Tanggerang Selatan ,Banten.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya calon calon dari putra-putri pemimpin/ penguasa menyimbolkan bahwa kedua pimpinan tersebut diduga bakal melanggengkan praktik dinasti pada pilkada 2020.
Menurut Satria Unggul Wicaksana Selaku direktur Pusad UM Surabaya “ Politik dinasti di Indonesia khususnya di Jawa bukan merupakan hal yang baru namun merupakan bagian dari tradisi dari dulu".
Jika kita telusuri ke masa lalu tradisi ini berawal dari feodalisme di nusantara. Dimana budaya politik mengarah ke garis keturunan ayah di utamakan. Hampir semua kerajaan di Indonesia menerapkan tradisi ini, mulai dari kerjaan hindu hingga kerajaan islam .
Melansir dari kajian Pusad UM Surabaya yang dilaksanakan 15 Agustus 2020. Politik dinasti bukan hanya dari faktor keturunan saja namun ada beberapa aspek yang dianggap sebagai Dinasti politik.
ADVERTISEMENT
Klientelisme
Banyak masalah dalam pemilu serentak yang sering kita saksikan di pemilihan sebelumnya baik secara langsung maupun lewat pemberitaan media massa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kecurangan merupakan narasi musiman yang mengemuka di setiap hajatan elektoral (pemilu dan pilkada).
Dalam hal ini kita dipaksa melihat politik tidak sekadar dari dimensi formal semata seperti koalisi partai, pemilu, dan sebagainya sebagaimana kerap dilakukan Alan Lijphart. Politik harus dilihat dari dua dimensi –formal dan informal– lalu dipahami secara dialektis. Pemahaman ini diperlukan untuk memahami bagaimana politik klientelisme beroperasi. Tampaknya cara semacam ini masih jarang dilakukan di Indonesia. Menurut Ufen (2012) dalam studinya.
Dalam hal ini klientelisme tak sekadar hubungan individual atau kelompok pemilih dengan politisi dan broker. Kadang hubungan mereka terinstitusionalisasi. Ini juga menjelaskan fenomena dukungan politik suatu kelompok terhadap calon tertentu. Hubungan ini mesti dipahami dalam kerangka esensial dari klientelisme: quid pro quid, sesuatu untuk sesuatu. Dalam pandangan Stokes (2013) dan Hicken (2011) dipahami sebagai “pertukaran yang kontingen”
ADVERTISEMENT
Nepotisme
Dalam hal ini Nepotisme berarti memilih saudara atau orang yang dikenal tanpa melihat kemampuannya (menistimewekan). Dalam hal ini banyak demisioner mendukung teman maupun orang yang dikenalnya tanpa melihat potensi yang di milikinya. Hal ini menunjukkan bahwa nepotisme pemilihan serentak 2020 akan terjadi.
Walaupun beberapa orang mengangap bahwa praktek ini merupakan suatu hal yang alami yang di mulai dari lingkungan keluarga. Pembenaran tindakan nepotisme semacam ini dapat mempengaruhi bagaimana suatu negara memaknai praktik tersebut. Di negara-negara berkembang seperti Ghana, nepotisme dianggap sebagai bagian dari sifat alamiah manusia.
Sedangkan di negara maju seperti di Italia, nepotisme baru muncul ketika mereka sudah dewasa. Biasanya ditemui ketika tahun ajaran baru penerimaan mahasiswa. Mahasiswa yang keluarganya memiliki relasi politik akan mudah dibimbing oleh profesor terkenal.
ADVERTISEMENT
Dukungan Pemodal
Setiap kali dilaksanakan pemilu maka yang ikut meramaikan bukan saja partai maupun ulama tapi juga para pemodal/ bangkir. Dalam pemilihan umum mereka memainkan perannya dengan sangat baik. Target mereka jelas, mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
Praktik politik ini sudah menyubur di Indonesia sejak lama. Di rezim Orde Baru misalnya, hubungan gelap antara rezim Soeharto dengan para pemodal sangat intens terbangun. Keduanya saling membangun kerjasama dalam berbagai aspek kepentingan. Tentu, kerjasama ini punya benefit yang besar bagi keduanya.
Tugas pemodal adalah menyokong pemerintahan Soeharto dengan segala resource yang mereka miliki, dan tugas pemerintah adalah memberikan privilige dalam bentuk lisensi dan konsesi yang menggiurkan bagi para kelompok pemodal ini.
ADVERTISEMENT
Fenomena rent-seeking ini tidak ikut tenggelam saat Soeharto tak lagi berkuasa. Dia bertransformasi, dan beradaptasi dengan setiap penguasa baru yang memimpin di lingkup nasional ,daerah hingga Desa. Siapapun pemimpinnya pasti kelompok pemodal ini selalu hadir mensupport.
Dengan mendukung calon sebagai pemenang dengan memberi modal politik pencalonan mereka mempunyai pengaruh yang kuat dalam mengintervensi para pengambil kebijakan. Bahkan presiden sekalipun mampu mereka pengaruhi.
Targetnya sudah pasti berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya negara. Bagi para pengusaha ini, tak ada istilah makan siang gratis. Konstribusi yang mereka berikan saat pemilihan serentak memiliki impact yang sebanding. Kompensasi yang harus dibayar tentu berkaitan dengan konsesi dan lisensi dalam mengelola sumberdaya alam maupun mengelola proyek-proyek yang dikerjakan pasca pemilihan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini Politik Dinasti bukan hanya pencalonan keluarga saja. Namun banyak cara yang dapat dikaitkan dalam politik dinasti tentu tujuannya melanggengkan kekuasan. Budaya politik ini akan berjalan selama masyarakat tidak mampu memilah seberkas sinar di dalam kegelapan. Tugas kita hari ini adalah berupaya mendewasakan pemilih agar kelak system demokrasi di Indonesia menjadi sehat dan kelak pemimpin yang terpilih benar benar berada di pihak rakyatnya.