Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memaknai Gelar Kiai yang Sebenarnyaa
30 Juli 2021 10:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nurhidayatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Islam adalah agama universal. Nilai dasar Islam tersebut mengimplikasikan adanya hubungan dialektik Islam dan budaya lokal. Berbagai penelitian bertema Islam dan budaya lokal memandang Islam tradisional, yang direpresentasikan di pulau Madura, sebagai entitas tunggal.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, Islam tradisional dipertentangkan dengan Islam murni, dan di sisi lain ia dihadapkan dengan model Islam sinkretis. Di Madura, NU bukanlah sebuah entitas tunggal. Di dalamnya terdapat variasi, yaitu komunitas Islam yang dipimpin oleh ulama dengan garis keturunan, namun ada juga ulama dengan basic keilmuwan.
Saat itu saya berdiskusi dengan Rahman beliau adalah anak tunggal dari kiai di sebuah pondok ternama, namun Berbagai pandangan dan pemikiran beliau banyak tersampaikan. Khususnya cara pandang dan pengakuan tentang gelar kiai.
Yang menarik, Rahman memberikan analisis baru tentang genealogi kiai. Menurut dia, generasi kiai telah mengalami perkembangan dinamis. Status kiai tidak hanya mengacu pada faktor gen atau keturunan. Juga telah mengalami perubahan dalam paradigma yang lain. Banyak tokoh dan figur muncul di tengah masyarakat dengan latar belakang keluarga biasa. Tetapi mendapatkan posisi sosial yang tinggi di tengah masyarakat sebagai kiai.
ADVERTISEMENT
Bahkan menurut rahman, saat acara diskusi dengan teman sesama santri banyak santri santri yang memilik pemahaman keagamaan yang melebihi keturunan kiai secara geneologis. Padahal mereka bukan keturunan kiai.
Tetapi mempunyai kharisma dan menguasai khasanah keislaman sebagaimana kiai, dan masyarakat kemudian menyebut mereka sebagai “kiai” juga. Pandangan ini merupakan pandangan baru tentang status kiai yang telah banyak dikaji oleh peneliti.
Menurut kebanyakan orang bahwa seseorang disebut kiai karena faktor keturunan, untuk mendapatkan sebutan sebagai kiai, lebih banyak ditentukan oleh faktor Gen keluarga besar kiai. Tetapi kesimpulan ini tidak semua benar.
Sebab sebutan kiai bisa diberikan kepada siapa saja asalkan memiliki kemampuan dan kharisma layaknya seorang kiai. Dalam konteks ini status kiai yang diberikan masyarakat karena faktor keilmuan dengan mengabaikan faktor garis keturunan.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan ekspresi paradigma baru masyarakat dalam memaknai posisi kiai. Sekaligus sebagai bentuk kritik sosial terhadap figur kiai dari keturunan.namun tidak memiliki kualifikasi keilmuan dan keteladanan sekaligus perilaku sebagaimana menjadi identitas kiai yang substansial.
Masyarakat tidak segan-segan menyebut seseorang dari keturunan keluarga biasa sebagai kiai yang berilmu dan pengayom masyarakat. Masyarakat juga akan mudah menyepelekan keturunan kiai yang tidak mencerminkan kualifikasi sebagai kiai.
Beban Moral menjadi Kiai
Posisi kiai adalah mandat sosial yang diberikan kepada seseorang yang dianggap layak dan bisa diteladani. Keputusan dalam memberikan status itu berada di tengah masyarakat dan mampu menjadi seorang pemimpin di tengah masyarakat.
Setiap individu yang disebut kiai berarti telah mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat, untuk berperan secara terang terangan dalam ruang kehidupan bersosial. Peran sosial tersebut otomatis membuat kiai menjadi sosok sentral di tengah masyarakat dan menjadi rujukan utama dalam mengambil suatu tindakan untuk dapat menyelesaikan masalah.
ADVERTISEMENT
Eksistensi kiai menjadi penentu kehidupan sosial masyarakat degan kemampuan yang kompleks. Status kiai juga harus dimaknai pada domain keilmuan yang dikuasai serta akhlak mulia yang dimiliki.sekalipun seseorang itu bukan keturunan seorang kiai.
Sebagai status masyarakat mempunyai hak dominan untuk menganggap dan memberikan penghargaan terhadap siapa pun yang dianggap memiliki kedekatan dengan jiwa keulamaan untuk disebut sebagai seorang kiai
Kemudian ditempatkan pada posisi sentral sebagai elite sosial agama di tengah mereka.dalam hal ini beberapa istilah dipakai dalam menggambarkan posisi sosial kiai di tengah masyarakat. Pertama, Clifford Geertz seperti dikutip Mohammad Baharun (dalam Bustami, 2007: xii) menyebut kiai sebagai ”makelar budaya” (cultural broker).
Predikat ini karena kiai tidak hanya menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara verbal. Melainkan penyampaian nilai oleh kiai pada dasarnya sebagai proses transformasi yang mampu mengubah dan cara pandang umat. Kedua, Mohammad Baharun menyebut kiai sebagai ”orang yang serba bisa” (multi player), karena peranan kiai yang sentralistik dalam menciptakan wacana pada masyarakat, terutama sebagai agen keagamaan.
ADVERTISEMENT
Secara sosial, kiai merupakan sosok yang memiliki eksistensi di tengah masyarakat. Apalagi di Madura yang notabene telah memosisikan kiai bukan hanya sebagai elite sosial. Tetapi sebagai guru yang harus digugu dan ditiru. Guru dalam konteks kebudayaan Madura menempati tangga penting dalam keyakinan sosial masyarakat yang terlegitimasi melalui ungkapan buppa’ bappu’, guru, rato (bapak-ibu, guru, dan raja/penguasa).
Kiai sebagai guru yang oleh orang Madura diyakini sebagai elite sosial dan agama, merupakan kiai dengan keilmuannya mumpuni sehingga harus mendapatkan tempat yang sangat terhormat. Masyarakat Madura telah mengalami pergeseran cukup signifikan dalam memandang sosok kiai: tidak lagi hanya diberikan kepada sosok keturunan kiai. Predikat sebagai kiai juga diberikan kepada sosok baru yang lahir bukan dari gen kiai. Yaitu, sosok kiai yang lahir dari semangat –dalam istilah Al-Quran– ”utul ilma derajat”.
ADVERTISEMENT
Hal itu relevan dengan sejumlah asumsi bahwa istilah kiai diberikan karena faktor keilmuan yang dimiliki. Mungkin generasi ini bisa disebut sebagai generasi utul ilma derajat. Yaitu, generasi kiai baru dengan kualifikasi keilmuan yang dapat menjadi pengayom sejati dalam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi, predikat utul ilma derajat bisa didapatkan oleh sosok dari tingkat sosial mana pun dan dari keluarga siapa pun. Selama ia mampu memiliki keilmuan yang mumpuni dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan umat.
Munculnya kiai keilmuan dengan penguasaan kitab kuning yang dalam mampu memberikan peran penting setiap kajian dan diskusi keagamaan. Seperti dalam bahtsul masail, merupakan bagian dari dinamika sosial yang mulai berlaku di tengah masyarakat. Apalagi, dengan potret kehidupan masyarakat yang sudah mulai cerdas, juga akan berpengaruh terhadap paradigma dalam memandang status kekiaian seseorang.
ADVERTISEMENT
Masyarakat berilmu lebih selektif menghormati dan menghargai sosok yang akan ditokohkan. Masyarakat juga akan memberikan penghargaan sosial terhadap sosok dari kalangan nonkiai sebagai kiai melebihi penghargaan terhadap sosok kiai keturunan.