Mengenang Yasser Arafat: Diplomasi Sebagai Alat Memperjuangkan Kemerdekaan

Diandra Ayu Larasati
An IR-enthusiast. Specializing in the subjects of Nation-building and Security Studies.
Konten dari Pengguna
4 November 2022 16:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diandra Ayu Larasati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yasser Arafat dengan Ariel Sharon, gambar diambil dari Washington Report on Middle East Affairs
zoom-in-whitePerbesar
Yasser Arafat dengan Ariel Sharon, gambar diambil dari Washington Report on Middle East Affairs
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 11 November 2004, dua puluh tahun yang lalu, seorang figur politik dunia telah pergi dari dunia ini untuk selamanya. Tokoh tersebut adalah Yasser Arafat, yang merupakan salah satu penerima penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1994 karena upaya yang terlah beliau lakukan untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina. Tulisan ini dibuat sebagai upaya untuk mengenang jasa-jasa beliau dalam proses tersebut.
ADVERTISEMENT
Perseteruan Israel dan Palestina mengenai kedaulatan yang masih terus berlanjut merupakan salah satu permasalahan politik internasional yang kompleks dan masih relevan untuk dibahas hingga hari ini. Berawal dari sejarah panjang yang diawali sejak lepasnya Jerusalem dari Kekaisaran Usmani pada tahun 1917, permasalahan mengenai ‘kepemilikan’ dan ‘legitimasi’ eksistensi umat Yahudi dan Arab (didominasi Muslim) di daerah yang diyakini sebagai tanah suci oleh umat agama-agama Samawi tersebut pun tercipta. Permasalahan menjadi makin rumit pasca-Perang Dunia II, di mana negara-negara kolonial, termasuk ke dalamnya adalah Kekaisaran Inggris, diharuskan untuk memerdekakan daerah-daerah jajahannya.
Daerah yang kini diperebutkan oleh Israel dan Palestina merupakan salah satu daerah yang telah menjadi daerah jajahan Inggris tersebut, sehingga berakhirnya kolonialisme Inggris turut mempengaruhi dinamika politik di daerah tersebut secara signifikan. Salah satu konsekuensi yang paling berdampak dari penarikan pengaruh Inggris tersebut adalah kelahiran negara-bangsa Israel yang kemudian menciptakan krisis eksistensial bagi masyarakat Arab-Palestina.
ADVERTISEMENT
Dengan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara sekutu mereka yang tergabung dalam Blok Barat dan Palestina yang mendapat dukungan dari negara-negara Arab dan Blok Timur, maka perseteruan Israel dan Palestina menjadi isu yang relevan di tingkat global pasca-Perang Dunia II. Pada masa awal perjuangan, langkah yang diambil oleh masyarakat Palestina banyak mengacu pada metode-metode kekerasan, seperti mengadakan serangan-serangan di beberapa tempat tertentu yang sempat diklasifikasikan sebagai terorisme oleh masyarakat internasional.
Akan tetapi, dengan dukungan kekuatan militer, ekonomi dan pengaruh moral yang superior dari Blok Barat, seiring waktu Israel cenderung memperoleh superioritas atas Palestina dalam perseteruan tersebut, bahkan berhasil memecah resolusi negara-negara Arab untuk membela Palestina melalui kemenangan Israel di Perang Enam Hari dan Yom Kippur serta beralihnya fokus negara-negara Arab seperti Mesir, Irak, dan Suriah kepada permasalahan-permasalahan lain. Dengan latar belakang yang tidak menguntungkan bagi perjuangan kemerdekaan Palestina tersebut, terdapat satu figur yang memiliki kontribusi dalam memberikan kesempatan bagi Palestina untuk tetap memperjuangkan aspirasinya melalui diplomasi, yaitu Yasser Arafat.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang figur politik, Yasser memiliki beberapa modalitas yang menjadikan dirinya sebagai figur dengan nilai tambah tersendiri, terutama terkait dengan diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan Palestina. Secara nasab (garis keturunan), Yasser memiliki hubungan darah dengan grand mufti (pimpinan agama) Jerusalem yang terkenal sebagai seorang penantang Zionisme, yaitu Amin al-Husayni. Selain itu, Yasser juga memiliki rekam jejak yang konsisten dalam perpolitikan komunitas Arab di Palestina, ditunjukkan keterlibatannya dalam membentuk gerakan Al-Fatah serta kontribusi dalam gerakan intifada.
Meskipun Yasser sempat menjalani karir menjadi kontraktor di Kuwait selama beberapa tahun, pada akhirnya Yasser kembali ke jalur politik dan turut menjadi salah satu pendiri organisasi Palestine Liberation Organization (PLO), entitas politik yang menjadi representasi politik masyarakat Palestina di masyarakat internasional. Salah satu kontribusi penting Yasser di PLO adalah pembiayaan, di mana pada masa awal pembentukan PLO Yasser menggunakan uang yang ia peroleh sebagai kontraktor untuk membiayai kegiatan-kegiatan PLO.
ADVERTISEMENT
Modalitas tersebut kemudian membuat Yasser memiliki nilai lebih sebagai individu yang merepresentasikan masyarakat Palestina dari dua aspek: Pertama, nasab keluarga dari pemuka agama membuat Yasser memiliki nilai tinggi secara kebudayaan di mata masyarakat Palestina. Kemudian, keterlibatannya di intifada serta kontribusinya dalam pendirian dan perluasan pengaruh PLO menempatkan Yasser sebagai salah satu figur politik kunci yang memegang kuasa di Palestina. Kedua modalitas tersebut kemudian menjadi ‘pembuka’ yang penting agar kesempatan negosiasi Palestina dengan Israel dan sekutu-sekutunya mengenai aspirasi Palestina untuk merdeka, karena melalui modalitas tersebut Yasser dipandang dapat membuat hasil negosiasi lebih mudah diterima oleh masyarakat Palestina.
Selain rekam jejak tersebut, hal lain yang membuat penulis memandang Yasser sebagai figur yang menarik untuk dibahas dari segi kapabilitas individu dalam mempengaruhi diplomasi pasca-Perang Dunia II adalah sudut pandang serta sikap yang ia ambil dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Sebagai orang yang telah memiliki reputasi sebagai tokoh yang pernah menggunakan metode-metode kekerasan dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, keputusan Yasser untuk mulai secara serius berubah haluan menuju strategi diplomasi sejak tahun 1973 merupakan sebuah titik balik yang membuat reputasi PLO sebagai sebuah organisasi menjadi baik di mata dunia. Yasser pun juga mengeluarkan beberapa pernyataan dalam audiensi nya di Majelis Umum PBB pada tanggal 13 November 1974, di mana pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan sikap yang akomodatif, siap bernegosiasi, serta tidak mendukung kekerasan dan terorisme dalam perjuangan kemerdekaan Palestina.
ADVERTISEMENT
Poin lain yang esensial dalam pidato audiensi Yasser tersebut adalah pemisahan ‘Yahudi’ dan ‘Zionisme’ ke dalam dua golongan yang berbeda. Penggolongan ini lah yang membuat Yasser kemudian mengusulkan ‘solusi dua negara’, di mana Palestina dan Israel diharapkan dapat eksis bersama sebagai dua negara-bangsa yang berdaulat. Pernyataan sikap Yasser tersebut, sebagai seorang militan dari Palestina yang bersedia berkompromi untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina tanpa mengancam eksistensi Israel, telah membuka kesempatan bagi PLO untuk bernegosiasi dengan Israel di tengah posisi PLO yang sangat tidak diuntungkan dari segi kekuatan militer dan dukungan aliansi. Berkat sikap dan pendekatan Yasser tersebut, beberapa negara Eropa bersedia membuka dialog politik dengan PLO dan mengizinkan PLO membuka kantor di beberapa kota, dan akhirnya PLO pun diakui seluruh dunia sebagai satu-satunya organisasi untuk merepresentasikan masyarakat Palestina sejak tahun 1974.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kulminasi dari perbaikan reputasi Palestina di mata dunia tersebut adalah terselenggaranya “Declaration of Principles on Interim Self-Government Arrangements”, atau biasa disebut dengan Deklarasi Oslo. Deklarasi ini merupakan perjanjian yang dibuat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Palestina untuk berdaulat atas nasibnya sendiri. Terdapat dua keputusan inti dalam deklarasi ini: 1) Kesepakatan untuk mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara berdaulat, dan; 2) Pengakuan bagi Hamas sebagai entitas politik untuk mewakili kepentingan warga Palestina.
Akan tetapi, terdapat dua kelemahan fatal dalam proses diplomasi yang dilakukan oleh Yasser tersebut, di mana hal tersebut menyebabkan hasil negosiasi tidak dapat diimplementasikan secara berkelanjutan. Pertama, pengakuan Hamas alih-alih Fatah (faksi yang dipimpin oleh Yasser) sebagai entitas politik yang mewakili kepentingan Palestina merupakan sebuah langkah yang menjadi bom waktu bagi keberlangsungan kesepakatan negosiasi. Ini dikarenakan Hamas sendiri memiliki ideologi yang berbeda dengan Fatah.
ADVERTISEMENT
Jika Fatah lebih memilih jalur negosiasi sebagai cara perjuangan serta mendukung koeksistensi Palestina dengan Israel, Hamas lebih condong kepada jalur militer sebagai cara perjuangan serta tidak mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara-bangsa. Pengakuan Hamas, alih-alih PLO secara utuh sebagai perwakilan Palestina, justru mengerosi dukungan masyarakat Palestina terhadap Deklarasi Oslo secara khusus maupun upaya diplomasi Yasser secara umum. Selain itu, kelanjutan Deklarasi Oslo, yaitu perundingan Oslo ronde II, menambahkan satu agenda baru, yaitu kesepakatan untuk memperluas teritori Israel yang akan dikembalikan ke Palestina.
Jika disimpulkan, tulisan ini membahas bagaimana Yasser Arafat, sebagai seorang individu kunci dalam konflik Israel-Palestina pasca-Perang Dunia II, telah memberikan pengaruh dalam proses berlangsungnya konflik tersebut. Pengaruh Yasser Arafat yang dibahas dalam esai ini berfokus pada upaya-upaya Yasser dalam berdiplomasi untuk membuat eksistensi Palestina diakui oleh dunia, serta untuk membuka kesempatan bagi Palestina untuk memperjuangkan kepentingannya melalui jalur diplomasi di tengah pakem sistem internasional bipolar yang tidak menguntungkan bagi upaya tersebut.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya upaya Yasser tersebut, baik dari keberhasilan maupun kegagalannya, esai ini hendak menyoroti bagaimana proses diplomasi tersebut merupakan salah satu contoh kasus mengenai bagaimana individu dapat mempengaruhi jalannya tatanan dunia pasca-Perang Dunia II. Meskipun pada akhirnya upaya Yasser Arafat melalui jalur diplomasi belum membuahkan keberhasilan telak bagi Palestina, kasus ini tetap relevan untuk dibahas karena upaya berbasis diplomasi tersebut telah melahirkan sebuah cara pandang baru yang lebih konstruktif dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, yaitu sebuah cara pandang yang akomodatif dan merangkul kedua belah pihak. Penulis memandang bahwa langkah diplomasi Yasser ini merupakan sebuah ‘deviasi’ dari cara-cara yang lazim digunakan dalam penyelesaian masalah internasional pada masa Perang Dingin, yaitu melalui koersi dan adu kekerasan antar-blok melalui proxy war yang menyebabkan destabilisasi regional.
ADVERTISEMENT