Konten dari Pengguna

Perancis Dalam Membentuk Kebijakan Anti-Separatisme Muslim Era Presiden Macron

Ida Ayu Made Sukma Yogi Pertiwi
Undergraduate Student Udayana University Internasional Relation'22
2 Juli 2024 6:54 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ida Ayu Made Sukma Yogi Pertiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : ShutterStock/https://www.shutterstock.com/image-photo/marseille-france-august-28-2016-muslims-475328899
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : ShutterStock/https://www.shutterstock.com/image-photo/marseille-france-august-28-2016-muslims-475328899
ADVERTISEMENT
Perancis, sebuah negara dengan prinsip sekularisme yang kuat, memiliki sejarah panjang dalam mengelola keragaman sosial dan agama di tengah-tengah masyarakatnya. Dalam beberapa dekade terakhir, Perancis telah menghadapi tantangan signifikan terkait dengan integrasi komunitas Muslim yang besar, yang merupakan salah satu yang terbesar di Eropa telah mengalami peningkatan kekerasan terhadap minoritas Muslim, yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dan nilai-nilai antara masyarakat Muslim dengan masyarakat Kristen. Permasalahan tentang imigran sendiri telah menjadi sebuah kompleksitas dalam kehidupan sosio-eko-politik di Prancis. Terdapat kurang lebih sebanyak 15 juta jiwa imigran muslim yang tinggal disana, atau sekitar 10% dari total populasi Prancis (Wicaksono, 2017). Perancis dikenal sebagai negara yang tidak dapat terpisahkan dari tiga aspek, yakni sosial, demokratis, dan sekulerisme, Ketiga aspek tersebut bertujuan untuk menjamin adanya kesetaraan bagi seluruh warga negaranya di hadapan hukum tanpa memandang agama, ras, maupun tempat asal mereka. Sejak adanya perang dunia pertama pada tahun 1914 sampai 1918, Perancis menjadi salah satu negara incaran utama bagi para imigran dengan tujuan mencari lapangan pekerjaan, hal ini disebabkan karena pada saat itu Perancis tengah mengalami kekurangan ketenagakerjaan akibat destruksi perang dan berlanjut hingga sekarang ini. Kedatangan imigran muslim yang berasal dari negara-negara Afrika Utara, bekas koloni Perancis, dan Turki membuat semakin meningkatnya populasi muslim yang berada di Perancis. Kedatangan para imigran ke Perancis pada awalnya disambut dengan baik, hingga adanya tragedi serangan WTC di Amerika Serikat pada 11 September 2001, persepsi masyarakat Perancis kepada para imigran seketika berubah menjadi negatif. Sebagai akibatnya, sentimen anti-islam mulai tumbuh di berbagai negara barat, termasuk Perancis yang mana sangat bersinggungan dengan nilai-nilai maupun prinsip sekularisme (laïcité) yang selama ini dijunjung tinggi oleh Perancis (Jamil & Setiadi, 2019: 140). Hal tersebut dikarenakan masyarakat Perancis berorientasi pada identitas maupun prinsip sekularisme (laïcité) yang kemudian mendorong adanya rasa takut terhadap perubahan dalam hal hubungan kekuasaan (Sanderson, 2004: 14). Keterlibatan para imigran muslim dalam aktivitas organisasional berbasis politikagama serta pendirian berbagai pusat keislaman turut serta menjadi pusat perhatian bagi pemerintah Perancis yang dikhawatirkan dapat menciptakan koneksi transnasional menciptakan gerakan ekstrem maupun separatisme dengan kelompok islam radikal yang berada di luar Perancis. Presiden Immanuel Macron berupaya untuk “membersihkan” imigran muslim yang berada di Perancis dari berbagai gerakan ekstrimis atau yang sering disebut dengan istilah separatisme Islam dengan membentuk UU Anti-Separatisme yang disebut sebagai ‘Undang-Undang Penguatan Penghormatan Prinsip-Prinsip Republik’ (Nashrullah, 2020).
Emmanuel Macron/Sumber : ShutterStock/https://www.shutterstock.com/image-photo/vilnius-lithuania-11th-july-2023-emmanuel-2409931523
zoom-in-whitePerbesar
Emmanuel Macron/Sumber : ShutterStock/https://www.shutterstock.com/image-photo/vilnius-lithuania-11th-july-2023-emmanuel-2409931523
Presiden Immanuel Macron juga melakukan speech act dalam sebuah pidatonya mengenai Islam radikal. Macron kemudian memunculkan rasa ketidakpercayaannya pada agama Islam pada umumnya dan imigran muslim pada khususnya dengan pernyataan: “And there is in this radical Islamism [...] a methodical organization to contravene the laws of the Republic and create a parallel order, to erect other values, develop another organization of society, separatist at first, but whose final goal is to take control, complete it. And it is what makes us gradually come to reject freedom of expression, freedom of conscience, the right to blasphemy” (Wahyuni & Bisara, 2020).  “What we must tackle is Islamist separatism. A conscious, theorized, political-religious project is materializing through repeated deviations from the Republic’s values, which is often reflected by the formation of a countersociety as shown by children being taken out of school, the development of separate community sporting and cultural activities serving as a pretext for teaching principles which aren’t in accordance with the Republic’s laws. It’s indoctrination and, through this, the negation of our principles, gender equality and human dignity.” (Diplomate gouve fr, 2020). Speech act oleh Macron tersebut dengan penggunaan kata “radical Islamism” dan “Islamist separatism” mengungkapkan bahwa semua imigran muslim digeneralisir dengan Islam radikal dan Islam separatisme serta membawa ancaman terhadap negara Perancis. Langkah generalisir terhadap Islam radikal dan imigran muslim tersebut kemudian melahirkan unsur-unsur kebencian maupun penolakan terhadap agama Islam. Pemilihan diskursus oleh Presiden Macron juga melahirkan rasa ketakutan terhadap kehadiran imigran muslim. Pada akhir tahun 2020, tiga orang tewas dalam serangan di gereja Notre Dame Basilica, Nice. Satu dari total tiga korban dalam penyerangan tersebut tewas dipenggal menggunakan pisau. Presiden Macron kemudian menyebut nya sebagai “serangan teroris Islam” dengan kalimat “kegilaan teroris Islam” (CNN Indonesia, 2020). Dari pidatonya yang berdurasi sebelas menit, Maron menambahkan bahwa: “we must anticipate and protect ourselves against significant irregular migratory flows" remains in memory” (Laurent, 2021).  Dalam kalimat yang disampaikan oleh Macron, yakni “kegilaan teroris Islam” dan “against significant irregular migratory flows” menegaskan bahwa terdapat ancaman teroris yang diakibatkan oleh adanya arus imigrasi dengan menggeneralisir agama Islam. Speech act Macron tersebut kemudian membentuk persepsi bahwa Imigran muslim menyebarkan terorisme dan menumbuhkan gerakan islam radikal. Imigran muslim kemudian digeneralisir oleh Macron dengan islam radikal yang membawa ancaman bagi negara. Dengan adanya pernyataan tentang persepsi buruk terhadap agama Islam pada umumnya dan komunitas muslim termasuk imigran muslim tersebut, Presiden Macron memperkuat langkahnya dalam undang-undang anti-separatisme dan menunjukkan bahwa Perancis akan berada dalam situasi yang aman pasca disahkannya UndangUndang Anti-Separatisme tersebut dengan menggunakan kalimat: “The path is the one I’ve just mapped out. [Let’s] isolate the problem – radical Islamism –, be aware that each of these stages can automatically support the others, and therefore not give in to any simplistic approach or cynicism, tell things as they are and also admit that we’re up against a challenge which has formed over decades in our country and that we won’t defeat it in a day. But it’s together, in a newly-awakened republican spirit, that we must oppose those who want to divide us” (France Diplomacy, 2020). Pernyataan tersebut mengungkapkan keyakinan Presiden Macron terhadap pengembangan kebijakan yang bertujuan menjaga keamanan nasional Perancis sebagai bentuk sekuritisasi. Kebijakan tersebut dipengaruhi oleh adanya kondisi berupa ancaman kekerasan dan terorisme yang berulang kali ditegaskan Presiden Macron sebagai bagian dari kelompok ekstremis Islam dan separatisme Islam. Berdasarkan analisis, tidak dapat dipungkiri bahwa elit politik suatu negara mempunyai kekuasaan yang signifikan terhadap rakyatnya. Mereka tidak hanya mempunyai kekuasaan dalam pengambilan kebijakan, namun elit politik suatu negara juga mempunyai kekuasaan untuk membentuk narasi dan opini masyarakat, menggambarkan suatu permasalahan sebagai ancaman nyata dan memberikan rasa aman jika masyarakat menerimanya keamanan. Untuk mendapatkan persetujuan masyarakat, elit politik harus mampu membujuk masyarakat melalui berbagai cara. Untuk mendapatkan persetujuan masyarakat, elit politik harus mampu membujuk masyarakat melalui berbagai cara. Elit politik suatu negara juga dapat menggunakan speech act sebagai alat untuk membingkai isu mengenai ancaman keamanan dan untuk membujuk serta memperingatkan masyarakat akan bahaya ancaman tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan opini publik dan memungkinkan elit politik menjalankan kekuasaan negara dengan membuat peraturan untuk menggagalkan ancaman yang ada walaupun telah mendapatkan kritik dari banyak pihak. Opini publik yang berhasil terwujud dalam masyarakat adalah sikap Islamofobia yang diutarakan dalam berbagai sikap maupun tindakan diskriminatif maupun kekerasan sehingga mendesak Pemerintah Perancis, khususnya Presiden Immanuel Macron untuk melakukan upaya sekuritisasi berupa pembuatan Undang-Undang Anti-Separatisme yang digunakan sebagai upaya perlindungan terhadap warga negara Perancis dari berbagai gerakan ekstremisme.
ADVERTISEMENT
REFRENSI ;
Alvillar, J. (2020). Islamophobia in France: The Contradiction in the Implementation of. 3(1), 3–16.
Buzan, B., Waever, O., & Wilde, J. (1998). Security: A New Framework for Analysis. Lynne Rienner.
Cesari, J. (2021). Securitization And Laïcité: The Two Main Challenges of French Islam. 3.https://doi.org/10.47816/02.001.symposium3.cesari
CNN Indonesia. (2020a, October 30). Teror Prancis Berlanjut, Penyerangan di Gereja dan Konsulat. CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201030054146-134564087/terorprancis-berlanjut-penyerangan-di-gereja-dan-konsulat
CNN Indonesia. (2020b, November 6). Kedubes Prancis Klarifikasi Pernyataan Macron soal Islam. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201106124647-106-566690/kedubes-prancis-klarifikasi-pernyataan-macron-soal-islam
Diplomate gouve fr. (2020). Fight against separatism – the Republic in action: speech by Emmanuel Macron, President of the Republic, on the fight against separatism (Les
ADVERTISEMENT
France Diplomacy. (2020). Fight against separatism – the Republic in action: speech by
Emmanuel Macron, President of the Republic, on the fight against separatism (Les
Mureaux, 02 Oct. 2020) - Ministry for Europe and Foreign Affairs. In France Diplomacy. https://www.diplomatie.gouv.fr/en/coming-to-france/francefacts/secularism-and-religious-freedom-in-france-63815/article/fight-againstseparatism-the-republic-in-action-speech-by-emmanuel-macron
Mureaux, 02 Oct. 2020) - Ministry for Europe and Foreign Affairs. Diplomatie.Gouv.Fr. https://www.diplomatie.gouv.fr/en/coming-to-france/francefacts/secularism-and-religious-freedom-in-france-63815/article/fight-againstseparatism-the-republic-in-action-speech-by-emmanuel-macron
Jamil, I., & Setiadi, O. (2019). Politik identitas Muslim di Jerman dan Perancis. Politea, 2(2), 135. https://doi.org/10.21043/politea.v2i2.5699
Laurent, A. (2021, August 22). Immigration: le piège de la rentrée pour Macron - L’Express. Lexpress.Fr. https://www.lexpress.fr/actualite/politique/immigration-lepiege-de-la-rentree-pour-macron_2156890.html
Nashrullah, N. N. (2020). Umat Islam di Prancis, Korban Stigmaisasi dan Sekularisme? Republika.Co.Id. https://republika.co.id/berita/qj6fli320/umat-islam-di-pranciskorban-stigmaisasi-dan
Sanderson, G. (2004). Existentialism, globalisation and the cultural other. International Education Journal, 4(4), 1–20.
ADVERTISEMENT
Wicaksono, M. A. (2010). Dinamika Imigran Muslim di Perancis melalui Ruang Publik pada Pemerintahan Nicholas Sarkozy. Jurnal Transformasi Global, 4(2).
Wahyuni, N. C., & Bisara, D. (2020, October 31). Indonesia Condemns Macron’s Statements on Islam. https://jakartaglobe.id/news/indonesia-condemns-macronsstatements-on-islam/