Membedah Budaya : Memahami Dampak Seksisme dan Stereotip Maskulinitas Negatif

Dea Sela Harlinda
Mahasiswa - Ilmu Komunikasi - Universitas Amikom Purwokerto
Konten dari Pengguna
31 Maret 2024 9:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dea Sela Harlinda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Foto Ilustrasi Seksisme Maskulinitas (Sumber : Freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi Seksisme Maskulinitas (Sumber : Freepik.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
PURWOKERTO - Seksisme dikaitkan dengan kekuasaan dimana mereka yang mempunyai kekuasaan biasanya diperlakukan dengan baik dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan biasanya didiskriminasi. Seksisme erat kaitannya dengan stereotip karena tindakan atau sikap diskriminatif sering kali didasarkan pada keyakinan atau generalisasi yang salah tentang gender, dan menganggap gender sebagai sesuatu yang relevan padahal sebenarnya tidak.
ADVERTISEMENT
Kemajuan dan praktik agama yang semakin signifikan saat ini telah berkontribusi pada peningkatan kesetaraan gender di masyarakat. Jika kembali pada masa sebelum adanya kesetaraan gender, masyarakat pada saat itu selalu memandang bahwa laki-laki merupakan sosok yang kuat dan perkasa. Menurut imajinasi masyarakat, lelaki ideal adalah yang memiliki benggol (uang) dan bonggol (kejantanan seksual). Lalu dimana posisi perempuan? Ia adalah milik laki-laki, sejajar dengan bondo (harta), griyo (istana), turonggo (kendaraan), kukilo (burung, binatang piaraan, bunyi-bunyian), dan pusoko (senjata, kesaktian). Penguasaan terhadap perempuan (wanito) adalah simbol kejantanan seorang lelaki (Sunny Uma Hanani, 2019).
Dalam konstruksi masyarakat umum dan budaya patriarkhi, maskulinitas pada seorang laki-laki merupakan sebuah hal yang penting dan utama. Seorang laki-laki yang memiliki karakteristik yang identik dengan stereotype maskulin disebut laki-laki maskulin, jika karakteristik berlebihan disebut laki-laki super maskulin, jika kurang disebut laki-laki kurang maskulin atau laki-laki feminin. Namun pembagian feminin dan maskulin pada indivdiu tidak terlepas dari pengaruh budaya patrairkhi yang diwujudkan pada gambaran atau seterotype dan seksisme.
ADVERTISEMENT
Stereotype adalah suatu hal yang bersifat negatif dan bisa dikemas dalam prasangka dan diskriminasi. Seksisme (sexism) adalah prasangka dan diskriminasi terhadap satu individu karena jenis kelamin seseorang. Menurut Wandi (2015) menyatakan bahwa dalam perjalanan hidupnya laki-laki harus mengikuti alur “kelaki-lakian” sesuai dengan kodaratnya sebagai laki-laki. Kemudian Wandi (2015) menyakan bahwa orientasi kehidupan laki-laki dan perempuan dikotak-kotakkan ke dalam maskulin dan feminin.
Kemudian disini dapat disimpulkan bahwa Fenomena Toxic Masculinity memiliki dampat yang cukup sifnifikan bagi kehidupan mereka dan merugikan diri mereka sendiri. Adapun Faktor yang mempengaruhi yaitu seperti :
1. Tabu dalam menggunakan Skincare, yang jelas masyarakat sudah mendapatkan Konstruktivisme bahwasannya skincare hanya dapat digunakan oleh wanita. Padahal skincare bisa digunakan secara unisex.
ADVERTISEMENT
2. Agrefitas terhadap lelaki lain, dari sisni jelas masyarakat akan melihat sebuah kejantanan lelaki identik dengan dunia otomotif dan apabila ada lelaki yang main dengan lelaki lain atau memanggil dengan julukan "iya dalem sayangku" akan melabelling lelaki tersebuh homo. Masyarakat akan langsung melakukan Stereotipe bahwa lelaki tersebut suka terhadap lelaki lain.
3. Pelecehan seksual terhadap lelaki, terkadang msyarakat menganggap pelecehan sseksual terhadap lelaki itu sepelee bahkan diabaikan karena pandangan masyarakat menganggap lelaki harus kuat dan tidak terpengaruh oleh pelecehan seksual. Stereotip gender yang menganggap laki-laki sebagai sosok yang kuat dan maskulin serta tidak bisa menjadi korban pelecehan seksual membuat masyarakat enggan mengakui dan memperhatikan kasus pelecehan seksual pada laki-laki.
Perilaku toxic masculinity yang terjadi pada remaja tentu saja memberikan dampak negatif yang buruk bagi kesehatan mental korban toxic masculinity. Berdasarkan dari hasil wawancara informan, sebagian dari mereka berpendapat bahwa perilaku toxic masculinity yang terjadi pada mereka menyebabkan perubahan sifat atau karakter pada diri mereka. Remaja yang mengalami toxic masculinity lebih cenderung mudah mengalami depresi dan anxiety. Dan bahkan ada yang dapat menyebabkan korban tersebut melakukan bunuh diri karena sudah tidak sanggup dengan keadan ini.
ADVERTISEMENT
Toxic masculinity seringkali terjadi pada remaja khususnya pada laki-laki. Pada umumnya perilaku ini bermula ketika seorang laki-laki memiliki sifat atau karakter yang lebih pendiam dari laki-laki umumnya. Penyebab adanya fenomena toxic masculinity disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berasal dari keluarga yang disebabkan oleh sosialisasi yang tidak sempurna dan kurangnya edukasi mengenai toxic masculinity atau kesetaraan gender dalam keluarga. Sedangkan faktor eksternal berasal dari sifat masyarakat yang kurang open minded atau masih berpegang teguh pada tradisi lama dan kurangnya edukasi mengenai kesetaraan gender. Berdasarkan dari hasil wawancara informan, sebagian dari mereka berpendapat bahwa perilaku toxic masculinity yang terjadi pada mereka menyebabkan perubahan sifat atau karakter pada diri mereka. Remaja yang mengalami toxic masculinity lebih cenderung mudah mengalami depresi dan anxiety.
ADVERTISEMENT