Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
KUHP Baru dan Potensi Kekerasan Ganda bagi Perempuan
31 Juli 2023 4:48 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dea Tri Afrida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP seharusnya menjadi angin segar bagi seluruh masyarakat Indonesia setelah berabad-abad tunduk pada KUHP warisan kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, angin segar pengesahan KUHP baru itu tidak berembus kepada perempuan-perempuan Indonesia, sebab beberapa pasal dalam KUHP baru berpotensi mengkriminalisasi dan mendiskriminasi perempuan.
Minimnya partisipasi publik, terutama partisipasi perempuan dalam proses perumusan kebijakan merupakan salah satu penyebab lahirnya pasal-pasal dalam KUHP baru yang tidak adil bagi perempuan.
Sungguh penderitaan yang tak tertangguhkan, ketika perempuan secara struktural didiskriminasi oleh sistem hukum dan peraturan perundang-undangan, rasanya seperti dijajah oleh negara sendiri.
Kriminalisasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Pasal 411 dan Pasal 412 tentang perzinahan dan kohabitasi berpotensi mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual. Mengkriminalisasi perzinahan menyebabkan berkurangnya efektivitas hukum terhadap perkosaan.
Hal ini dapat diilustrasikan ketika seorang laki-laki yang memperkosa pacarnya sendiri, namun oleh warga keduanya dituduh telah melakukan perzinahan dan terancam pidana sekian tahun penjara. Alih-alih menjadi korban, pasal perzinahan justru menjadikan perempuan sebagai pelaku tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Data dari 129 lembaga layanan (Komnas Perempuan, 2022) menunjukkan kasus pemerkosaan lebih banyak terjadi di ranah relasi personal (25 persen). Bayangkan betapa banyak perempuan korban perkosaan dalam relasi personal yang harus dikriminalisasi dengan menggunakan pasal karet perzinahan dalam KUHP alih-alih mendapatkan perlindungan hukum.
Pasal kohabitasi juga berpotensi mengkriminalisasi perempuan yang menikah di bawah tangan (menikah secara agama atau secara adat) di mana perkawinannya tidak tercatat atau tidak dianggap sah oleh negara karena berbagai alasan.
Hal ini biasanya disebabkan ada ketimpangan relasi kuasa dengan istri di mana suami tidak mau mencatatkan pernikahan atau pernikahan siri di mana perempuan merupakan istri kedua, ketiga, atau dan seterusnya dari perkawinan dengan istri lebih dari seorang.
ADVERTISEMENT
Perempuan korban poligami pada dasarnya sebagaimana disebutkan oleh Komnas Perempuan sejatinya sudah rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran ekonomi, yang berimplikasi pada pengurangan hak ekonomi sosial dan budaya serta hak sipil dan politik. Adanya pasal kohabitasi ini yang menyebabkan perempuan dapat dipidana menjadi kekerasan ganda dan berulang bagi perempuan.
Selain itu, ketentuan pengaduan oleh orang tua dalam aturan pidana tentang perzinahan dan kohabitasi berpotensi meningkatkan terjadinya kawin paksa terutama perkawinan anak. Remaja perempuan akan mengalami kerentanan yang lebih tinggi terhadap praktik perkawinan anak.
Berdasarkan Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), perkawinan anak mayoritas terjadi pada anak perempuan, di mana pada tahun 2022 terdapat 8,06 persen perempuan rentang usia 20-24 tahun menikah sebelum mereka berumur 18 tahun (Badan Pusat Statistik, 2022).
ADVERTISEMENT
Mengawinkan yang dianggap melakukan hubungan seksual pranikah dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari stigma masyarakat dan menghindari ancaman pidana (Partners for Law in Development dalam Olivia Herlinda, 2022).
Kondisi ini diperparah pula dengan adanya celah dispensasi perkawinan dalam UU Perkawinan. Perkawinan anak tidak membawa dampak positif apa pun, melainkan membawa dampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, pendidikan, dan partisipasi kerja (Azarine Pandita Widyadhara dan Tasya Meilani Putri, 2021).
Kriminalisasi Pendidikan Seksual dan Reproduksi
Mengetahui dan menyampaikan pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi sejatinya merupakan hak dari setiap warga negara sebagaimana dijamin oleh konstitusi Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
ADVERTISEMENT
Hak ini sejatinya telah direduksi oleh Pasal 408 dan Pasal 409 KUHP di mana kedua pasal ini justru mengkriminalisasi setiap orang yang berusaha menyampaikan informasi tentang alat pencegah kehamilan dan alat untuk menggugurkan.
Dengan mengkriminalisasi pelaku penyebaran informasi tentang alat pencegah kehamilan dan alat untuk menggugurkan yang bertujuan untuk memberikan edukasi seksual dan reproduksi.
Hal itu berarti bahwa pemerintah telah memutus hak masyarakat terutama perempuan dan anak perempuan terhadap pendidikan dan informasi kesehatan seksual dan reproduksi yang menyeluruh dan inklusif.
Tanpa adanya pendidikan dan informasi kesehatan seksual yang menyeluruh dan inklusif, perempuan dan anak perempuan akan kehilangan kendali atas tubuh dan kehidupan mereka.
Betapa tidak, ketidaktahuan perempuan mengenai kesehatan seksual dan alat reproduksinya menyebabkan perempuan kesulitan membuat keputusan yang bijak terhadap tubuh dan organ reproduksinya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini dapat menyebabkan perempuan rentan terkena penyakit menular seksual (PMS), menyebabkan kehamilan tak diinginkan dengan efek turunan berupa terampasnya hak atas pendidikan bagi anak perempuan, meningkatkan jumlah perkawinan anak, serta membahayakan kesehatan dan nyawa perempuan dan anak perempuan (Human Rights Watch, 2022).
Kriminalisasi Aborsi
Kriminalisasi aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 251 dan Pasal 463 hingga Pasal 465 KUHP menyebabkan hilangnya akses aborsi aman bagi perempuan karena pemberi layanan aborsi takut dipidanakan.
Ditutupnya akses aborsi aman tidak serta merta menurunkan tingkat aborsi di tanah air, hal ini terbukti dengan data yang dirilis oleh WHO bahwa minimnya akses aborsi aman merupakan salah satu penyebab utama peningkatan jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) khususnya di negara berkembang dengan rentang nilai estimasi 4,7-13,2 persen AKI (WHO, 2021).
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, AKI terbilang masih cukup tinggi. Dilansir dari Profil Kesehatan dari Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada 2021 di angka 7.389, di mana di antaranya terdapat 14 kasus kematian akibat aborsi (Kementerian Kesehatan, 2021).
Data mengenai jumlah kematian ibu akibat aborsi sejatinya tidak menunjukkan fakta riil di lapangan, dikarenakan ketentuan hukum yang masih melarang aborsi menyebabkan banyak kasus kematian akibat aborsi yang tidak dilaporkan.
Hal tersebut banyak dilakukan karena takut akan ancaman pidana yang menanti bagi perempuan sekaligus bagi penyedia layanan aborsi.
Hukum seharusnya adil bagi seluruh masyarakat, tanpa terkecuali bagi perempuan. Adanya celah-celah dalam KUHP baru yang dapat menimbulkan kekerasan ganda bagi perempuan menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR dalam membuat suatu produk hukum masih terbelenggu paradigma yang bernuansa “maskulin” (W. Krisnanto, dan M.D. Syaputri, 2020).
ADVERTISEMENT
Hal ini telah mencederai prinsip rule of law, di mana prinsip ini pada dasarnya menyatakan bahwa setiap peraturan hukum dibentuk berdasarkan moralitas serta prinsip kesetaraan (equality before the law), menuntut kesetaraan antara laki-laki dan menolak tindakan diskriminasi terhadap siapa pun termasuk dalam pembentukan hukum (A. Sakti R.S. Rakia dan Wahab Aznul Hidaya, 2022).
Sebelum efektif diberlakukan pada 2 Januari 2026 mendatang, pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi dan mendiskriminasi perempuan dalam KUHP Baru perlu dikaji kembali, tentu dalam mengkaji tersebut ada baiknya melibatkan perempuan untuk memastikan bahwa perspektif dan kepentingan perempuan diwakili dengan baik, sehingga dapat memberikan wawasan yang berharga dalam merumuskan kebijakan yang lebih adil.