Belajar dari Masyarakat Adat Desa Kemiren Banyuwangi

15 April 2017 16:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Senja itu, langit Banyuwangi hujan. Hati saya riang bukan kepalang. Ini kali pertama saya mengunjungi sunrise of Java, sebutan kabupaten itu, Jumat (7/4).
ADVERTISEMENT
Sesampainya dari Bandara Udara Blimbingsari, bukan Kawah Ijen atau Taman Nasional Baluran yang saya dan tim kumparan (kumparan.com) sambangi, melainkan Sanggar Barong Kemiren di Kemiren, Glagah.
Ketika kami sampai di sanggar tersebut, rombongan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unessa) sedang menikmati pertunjukkan Tari Banyuwangi. Walau sedikit telat, saya mencoba untuk mengikuti pementasan tersebut.
Pementasan Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Denting alat gamelan dan ajakan penari untuk melenggak bersama tentu tidak saya elakkan. Meskipun lenggak lenggok saya seperti robot, saya mencoba mengikuti kelihaian penari di atas lantai lumpur. Bukan lantai dansa melainkan tanah yang berlumpur. Saya pun agak kewalahan menahan badan agar tidak tergelincir.
Sembari menari, saya berkenalan dengan Putri, sang penari yang mengajak saya sekaligus partner menari. Sedari kecil, Putri sudah belajar menari Tarian Gandrung Banyuwangi. Maka tak heran jika Putri sangat piawai dan tidak seperti robot seperti saya.
ADVERTISEMENT
Rasa penasaran akan Tarian Gandrung Banyuwangi muncul. Saya bertanya kepada Putri, untuk apa tarian ini. Dengan senyumnya yang ayu, Putri menjawab, tarian ini dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.
Putri, sang penari Tari Gandrung Banyuwangi (Foto: Deanda Dewindaru/kumparan)
Setelah pergelaran selesai, giliran cacing-cacing di perut saya mulai menari. Ternyata, Tuhan mendengar melihat tarian cacing saya. Masyarakat Desa Kemiren menyuguhkan hidangan pecel pitik dan sejawatnya.
Biasanya, saya hanya makan pecel biasa di Jakarta. Namun, kali ini, saya mencicipi pecel pitik. Menurut Ketua Adat Masyarakat Desa Kemiren Suhaemi, pecel pitik (ayam kampung berbumbu kelapa) merepresentasikan agar selalu mendapatkan terbaik dari aktivitas yang dikerjakan sehari-hari.
Hidangan Pecel Pitik (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Hidangan pecel pitik yang saya santap terdiri atas sego golong, tumpeng sekarat serta gulai asam. Sego golong merupakan nasi yang diselimuti dengan daun pisang dengan satu sisi yang tidak ditutup. Menurut Suhaemi, hal tersebut menyimbolkan sembilan lubang tubuh manusia dan harapannya, seluruh lubang tubuh berfungsi dengan lancar.
ADVERTISEMENT
Sedangkan tumpeng serakat diambil dari daun-daun muda yang menjalar paling ujung. Harapannya yaitu manusia dapat berkembang seperti daun-daun muda tersebut.
Pecel Pitik (Foto: Deanda Dewindaru)
Agar manambah cita rasa, saya menambahkan gulai asam sebagai sup. Gulai asam disajikan ketika terdapat tamu istimewa atau hajatan.
Di Desa Kemiren sendiri, hidangan pecel pitik selalu disajikan ketika malam Jumat atau malam Senin di bulan Syuro. Bulan tersebut dipercaya sebagai awal tahun baru di bulan Jawa. Hal ini menandakan sebagai rasa syukur atas tahun yang baru.
Suhaemi, Ketua Adat Masyarakat Desa Kemiren (Foto: Deanda Dewindaru/kumparan)
Akhirnya cacing di perut saya sudah tidak menari lagi. Setelah menyantap makanan dari surga, saya berkesempatan mewawancarai Bapak Sucipto atau kerap dipanggil Mbah Ocip, Ketua Sanggar Barong Sapu Jagad.
ADVERTISEMENT
Sucipto atau Mbah Ocip (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Dia mengatakan, ketika Tarian Gandrung Banyuwangi tampil, sebenarnya terdapat kekurangan.
“Sayangnya ketika teman-teman Jakarta (saya dan tim kumparan) datang ke sini, gamelan salendronya kurang,” katanya.
Gamelan salendro merupakan alat musik yang mengiringi Tarian Gandrung Banyuwangi. Kurangnya alat musik gamelan ini menyebabkan sanggar Mbah Ocip sering menyewa. Padahal, gamelan tersebut adalah hal yang sangat utama.
Meskipun begitu, Mbah Ocip tetap bersyukur dengan keadaannya yang sekarang. Akan tetapi, saya yakin, di lubuk hati terdalam Mbah Ocip, keinginan untuk memiliki gamelan salendro pasti ada.
Desa Kemiren membawa pelajaran bagi saya untuk bersyukur terhadap apa yang saya dapatkan. Terkadang, kita selalu melihat ke atas, namun lupa untuk melihat ke bawah. Iri hati dan dengki yang justru kita dapatkan atas kekufuran atas nikmat Tuhan.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah hari ini kamu sudah bersyukur?