Konten dari Pengguna

Pendidikan Politik Perempuan: Jembatan Menuju Kesetaraan Gender

Deandra Nugraha
Mahasiswa - Universitas Katolik Parahyangan - Ilmu Hubungan Internasional - Tertarik pada isu HAM dan gender.
14 Januari 2022 14:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deandra Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
https://pixabay.com/photos/expression-weather-change-4513446/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/photos/expression-weather-change-4513446/
Sebagai warga negara, tentunya kita perlu mendapatkan pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran serta partisipasi kita dalam politik. Pendidikan politik merupakan sebuah sarana yang difasilitasi partai politik untuk masyarakat agar dapat memahami persoalan politik, hak dan kewajiban masyarakat dalam dunia politik, serta tata cara dalam berpolitik.
ADVERTISEMENT
Sayangnya proses pendidikan politik belum terlaksana secara maksimal di Indonesia, masih terdapat ketimpangan pendidikan politik pada perempuan. Ketimpangan pada pendidikan politik tersebut dibuktikan oleh tidak disertainya pemahaman kesetaraan gender dalam pendidikan politik.
Tidak disertainya pemahaman kesetaraan gender dalam pendidikan politik yang kemudian didorong oleh budaya patriarki yang menjunjung tinggi dominasi laki-laki dalam segala aspek terutama politik menciptakan anggapan bahwa politik merupakan ranah laki-laki dan tidak pantas bagi perempuan.
Meskipun telah ada kegiatan sosialisasi Kesbangpol mengenai pendidikan politik khusus perempuan, kewajibannya masih belum diatur oleh pemerintah sehingga masih belum banyak aktor politik yang melakukan kegiatan tersebut. Padahal peran perempuan dalam parlemen sangat berarti, hadirnya keterwakilan perempuan dalam parlemen dapat merepresentasikan suara perempuan-perempuan Indonesia yang akan mengimbangi dominasi laki-laki dalam pembuatan peraturan.
ADVERTISEMENT
Hadirnya budaya patriarki serta tidak tersedianya pendidikan politik berbasis kesetaraan gender dalam masyarakat membuat banyak perempuan tidak sadar akan pentingnya peran mereka dalam politik. Pola pikir masyarakat yang menganggap laki-laki sebagai pihak yang berhak membuat keputusan menjadikan suara dan peran perempuan dinomor duakan dan dianggap tidak penting, hal tersebut mengakibatkan rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik.
Kurangnya partisipasi perempuan di politik ditunjukkan oleh data pemilu 2019 lalu yang mencatat bahwa hanya ada 20,87% keterwakilan perempuan di DPR RI, sedangkan kuota yang ditetapkan adalah 30%.
Bukan hanya budaya patriarki, tidak adanya pendidikan politik khusus perempuan yang berbasis kesetaraan gender pun ikut andil dalam menyebabkan rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen. Tidak adanya edukasi mengenai pentingnya peran perempuan dalam politik serta kesetaraan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki membuat perempuan seringkali merasa kurang percaya diri dan takut untuk terjun dalam dunia politik.
ADVERTISEMENT
Pola pikir patriarki memang tidak mudah untuk dimusnahkan begitu saja, namun perlu diingat bahwa kita masih bisa untuk meminimalisasi dampak tersebut dalam dunia politik dengan menyediakan pendidikan politik khusus perempuan berbasis kesetaraan gender.
Tidak tersedianya pendidikan politik khusus perempuan juga berdampak pada kualitas kader politik perempuan. Sikap skeptis partai politik terhadap kader perempuan yang disebabkan oleh sistem politik patriarki membuat partai politik melakukan hal yang bersifat pragmatis.
Partai-partai politik tersebut cenderung untuk memajukan caleg perempuan yang memiliki popularitas atau hubungan kerabat dengan petinggi politik. Riset yang dilakukan oleh Studi Puskapol UI menunjukkan sebanyak 41% dari 118 anggota perempuan di DPR masuk karena memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik.
ADVERTISEMENT
Sistem dinasti politik tersebut menunjukkan bahwa tidak terjaminnya kualitas keterwakilan perempuan akibat ketidakhadiran pendidikan politik khusus perempuan yang harusnya bisa meningkatkan kompetensi mereka. Akibat tidak adanya pelatihan yang didasari oleh pemahaman kesetaraan gender, perempuan yang masuk ke dalam parlemen atau dunia politik akhirnya tidak memiliki kualitas yang baik dan akhirnya membuat perempuan hadir sebagai objek untuk memenuhi kuota perempuan dalam politik saja.
Ketidakseimbangan politik yang merupakan buah dari rendahnya partisipasi perempuan mengakibatkan banyak munculnya regulasi yang tidak ramah perempuan. Semua hal itu disebabkan oleh tidak hadirnya pendidikan politik yang menjelaskan betapa pentingnya peran perempuan dalam pembentukan regulasi atau peraturan.
Regulasi yang dinilai merugikan perempuan salah satunya adalah RUU KUHP pasal 470-472 tentang hukuman pidana yang akan didapatkan seorang perempuan jika melakukan aborsi dengan alasan apa pun dan RUU ketahanan keluarga pasal 25 ayat 3 yang salah satu bahasannya adalah tugas istri sebagai pemenuh hak suami dan anak.
ADVERTISEMENT
Pasal tersebut merupakan bukti bahwa keterlibatan perempuan dalam parlemen sangat dibutuhkan, dengan adanya keterlibatan perempuan dalam parlemen tidak ada perempuan yang harus dihukum karena mempertahankan keselamatan serta kepentingan dirinya sendiri dan tidak ada perempuan yang ruang geraknya bisa dibatasi lagi. Dengan adanya pendidikan politik khusus perempuan, pemahaman mengenai peran perempuan dalam parlemen lebih dari sekadar untuk memenuhi kuota keterwakilan saja melainkan sebagai penyeimbang pengaruh laki-laki dalam pembuatan regulasi.
Ketidaktersediaan pendidikan politik khusus perempuan berbasis gender mengakibatkan rendahnya partisipasi politik, rendahnya kualitas kader perempuan dalam politik serta munculnya regulasi yang merugikan perempuan. Tiga dampak dari tidak adanya pendidikan politik yang berbasis kesetaraan gender tersebut bisa dikatakan sebagai kekacauan pemerintah dalam meningkatkan politik serta demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seluruh warga negara terutama perempuan tidak boleh merasa terancam oleh regulasi yang diciptakan negaranya, regulasi haruslah menjadi sebuah perangkat untuk melindungi warga negara. Maka dari itu, demi memperbaiki lingkungan politik yang diskriminatif terhadap perempuan, diperlukan sebuah sarana bagi perempuan untuk memahami kesetaraan hak dan kewajiban mereka dalam politik serta pentingnya peranan mereka untuk pembuatan regulasi.
Satu-satunya solusi yang bisa ditawarkan untuk mewujudkan cita-cita politik yang ramah pada perempuan dan berprinsip kesetaraan gender adalah pendidikan politik khusus perempuan yang berbasis gender. Agar dapat menjamin aktor-aktor politik menerapkan pendidikan politik khusus perempuan berbasis gender, perlu diterapkan peraturan sejenis UU untuk mewajibkan pelaksanaan pendidikan politik khusus perempuan berbasis gender ini.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, peluang munculnya regulasi diskriminatif di masyarakat akan terminimalisir, tidak ada lagi ketimpangan pendidikan antara laki-laki perempuan yang menyebabkan kurangnya pemahaman serta kualitas perempuan dalam dunia politik dan partisipasi perempuan dalam politik pun akan meningkat.
Referensi
Astuti, Ngudi. (2020, Agustus 26) Pendidikan Politik bagi Perempuan. (2020,), Media Indonesia. https://m.mediaindonesia.com/opini/339396/pendidikan-politik-bagi-perempuan
Hasanah, U., & Musyafak, N. (2017). GENDER AND POLITICS: Keterlibatan Perempuan dalam Pembangunan Politik. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 12(3), 409-432. doi:http://dx.doi.org/10.21580/sa.v12i3.2080
“Semakin banyak perempuan di DPR, tapi riset ungkap kehadiran mereka mungkin tidak signifikan.” (2019, Oktober 16), The Conversation, https://theconversation.com/semakin-banyak-perempuan-di-dpr-tapi-riset-ungkap-kehadiran-mereka-mungkin-tidak-signifikan-125013
Natanagara, Shamira Priyanka. (2020, April 21) “5 Undang-Undang dan RUU yang Dianggap Merugikan Perempuan”, Cosmopolitan, https://www.cosmopolitan.co.id/article/read/4/2020/19383/5-undang-undang-dan-ruu-yang-dianggap-merugikan-perempuan