Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
IPM dan Ketimpangan Sosial: Tantangan untuk Pembangunan Berkelanjutan
25 Oktober 2024 14:09 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Deas Cahyani Asianistia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indikator penting yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia serta mengevaluasi kemajuan suatu negara dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Seiring dengan berjalannya waktu, IPM di Indonesia semakin mengalami peningkatan, seperti pada tahun 2022 mencapai 73,77 kemudian pada tahun 2023 meningkat mencapai 74,39. Namun, meskipun pertumbuhan IPM terus meningkat, nyatanya masih terdapat aspek penting yang sering kali terabaikan seperti ketimpangan sosial. Ketimpangan ini bukan hanya menjadi masalah moral, tetapi juga menjadi tantangan besar dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Memahami IPM: Sebuah Ukuran yang Multidimensional
IPM diukur berdasarkan tiga dimensi utama: harapan hidup saat lahir (sebagai indikator kesehatan), tingkat pendidikan (meliputi angka melek huruf dan partisipasi pendidikan), serta pendapatan per kapita. Indeks ini memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun, ada kelemahan signifikan dalam pengukuran ini. Meskipun IPM dapat menunjukkan kemajuan, ia tidak selalu mencerminkan kondisi masyarakat yang terpinggirkan.
Sebagai contoh, sebuah negara dengan IPM tinggi mungkin memiliki sekelompok kecil populasi yang sangat kaya, sementara sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan. Ini menunjukkan bahwa IPM tidak cukup untuk menilai kesetaraan dan keadilan distribusi sumber daya. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan metrik tambahan yang lebih fokus pada ketimpangan sosial, seperti koefisien Gini atau indeks kemiskinan multidimensi.
ADVERTISEMENT
Indeks Gini atau yang lebih dikenal sebagai rasio Gini merupakan angka yang digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan dalam suatu wilayah. Semakin tinggi koefisien Gini sebuah wilayah, maka semakin tinggi juga tingkat ketimpangan sosial dalam wilayah tersebut.
Rasio Gini Indonesia pada Maret 2024 sebesar 0,379, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Perolehan tersebut sedikit lebih baik karena berkurang 0,009 poin dari Maret 2022 yang masih berada di angka 0,388. Selain itu, pencapaian ini adalah yang terendah dalam sepuluh tahun terakhir.
Jika ditinjau menurut wilayah, rasio Gini perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan. Pada Maret 2024, rasio Gini perkotaan adalah 0,399. Sedangkan rasio Gini pedesaan adalah 0,306. Rasio ini juga terjadi di sebagian besar provinsi. Hanya provinsi di Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Gorontalo, dan Pulau Papua yang memiliki rasio Gini pedesaan lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun, daftar provinsi dengan indeks Gini tertinggi hampir tidak berubah dari tahun sebelumnya. DI Yogyakarta masih memiliki peringkat tertinggi dengan rasio Gini 0,435. DKI Jakarta masih berada di urutan kedua dengan skor 0,423. Jawa Barat berada di urutan ketiga dengan skor 0,421. Gorontalo berada di urutan keempat dengan skor 0,414. Papua Selatan berada di urutan kelima (0,404), Papua Barat berada di urutan keenam (0,389), Papua Tengah berada di urutan ketujuh (0,381), Jawa Timur berada di urutan kedelapan (0,372), Sulawesi Tenggara berada di urutan kesembilan (0,370), dan pada urutan kesepuluh ditempati oleh Jawa Tengah dengan skor 0,367.
Dalam hal tersebut terlihat bahwa ketimpangan sosial yang ada di Indonesia baik itu di wilayah perkotaan maupun pedesaan masih terbilang cukup tinggi khususnya pada wilayah DI Yogyakarta yang masih berada pada peringkat tertinggi.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan Sosial: Sumber Masalah yang Kompleks
Ketimpangan sosial dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari struktur ekonomi hingga kebijakan pemerintah yang tidak adil. Di banyak negara, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan masih sangat terbatas bagi kelompok masyarakat tertentu, seperti perempuan, kelompok minoritas, dan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Ketidakmerataan akses ini memperkuat siklus kemiskinan dan menghambat mobilitas sosial.
Dampak dari ketimpangan sosial sangat luas. Selain menciptakan ketidakpuasan dan konflik sosial, ketimpangan juga menghambat pertumbuhan ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan yang tinggi dapat mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini disebabkan karena populasi yang terpinggirkan tidak dapat berkontribusi secara optimal pada ekonomi, baik melalui tenaga kerja maupun konsumsi.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan sosial dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Hal ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit dipecahkan. Misalnya, anak-anak dari keluarga miskin sering kali tidak memiliki akses yang memadai ke pendidikan berkualitas, yang berdampak pada peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di masa depan. Teori Kapasitas Manusia mendukung argumen ini, menekankan bahwa peningkatan pendidikan dan kesehatan adalah kunci untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi ketimpangan.
Pembangunan Berkelanjutan: Keadilan Sosial sebagai Prioritas
Pembangunan berkelanjutan mengharuskan kita untuk tidak hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keadilan sosial. Dalam konteks ini, teori keadilan sosial menekankan perlunya distribusi sumber daya yang adil. Ketimpangan sosial tidak hanya merugikan individu yang berada di lapisan bawah, tetapi juga menghalangi pembangunan yang inklusif. Keadilan dalam distribusi pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja menjadi kunci untuk mencapai IPM yang lebih baik dan mengurangi ketimpangan.
ADVERTISEMENT
Konsep tersebut menekankan pentingnya mengintegrasikan berbagai aspek, baik itu aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan dalam setiap kebijakan dan program pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus berkomitmen untuk mengurangi ketimpangan sosial.
Langkah pertama yang dapat diambil adalah memperbaiki serta memperluas akses pendidikan dan kesehatan. Kebijakan pendidikan yang inklusif, seperti pendidikan gratis bagi kelompok orang yang kurang mampu dan peningkatan kualitas pendidikan di daerah terpencil, adalah langkah awal yang penting. Selain itu, memperluas jangkauan layanan kesehatan melalui program jaminan kesehatan juga dapat membantu dalam meningkatkan kualitas hidup pada masyarakat.
Selain hal tersebut, perlu adanya perhatian khusus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Program pelatihan keterampilan dan akses modal untuk usaha kecil dapat membantu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan. Kebijakan perpajakan yang adil juga perlu diterapkan untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki lebih banyak sumber daya ikut berkontribusi secara proporsional terhadap pembangunan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan: Menuju Pembangunan yang Inklusif
Ketimpangan sosial merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. Meskipun IPM memberikan indikasi kemajuan, kita harus lebih kritis dalam mengevaluasi data ini dan berusaha untuk memperbaiki kondisi yang ada. Pembangunan yang berkelanjutan harus mencakup keadilan sosial, sehingga semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat dari kemajuan yang dicapai.
Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya berfokus pada angka, tetapi juga pada kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Dengan mengurangi ketimpangan sosial, kita akan menciptakan masyarakat yang lebih adil, sejahtera dan berkelanjutan, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk bisa berkembang dan berkontribusi pada pembangunan bangsa.
ADVERTISEMENT