Konten dari Pengguna

Fenomena Ageisme: Diskriminasi Kok Dinormalisasi?

Deby Febriana Mandagi
Mahasiswa S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Airlangga.
4 Juli 2023 15:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deby Febriana Mandagi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diskriminasi usia di lingkungan kerja, Source: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Diskriminasi usia di lingkungan kerja, Source: Canva
ADVERTISEMENT
Diskriminasi masih menjadi salah satu masalah sosial di Indonesia yang sulit untuk diatasi, dan bisa dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Terjadinya diskriminasi menyebabkan terampasnya hak seseorang karena suatu perbedaan. Perbedaan ini bisa karena gender, ras, agama, usia, warna kulit, dan lain sebagainya. Diskriminasi ini bisa terjadi dimana saja bahkan di lingkup kecil sekalipun, seperti di sekolah, di rumah, fasilitas umum, juga tempat kerja. Salah satu bentuk diskriminasi yang akan kita bahas di sini adalah diskriminasi usia.
ADVERTISEMENT
Tak Jarang kita temui informasi lowongan kerja yang mematok batasan usia sebagai salah satu persyaratannya. Padahal, jenis pekerjaan dan job description yang dipaparkan seharusnya bisa dikerjakan siapapun yang sudah atau masih mampu, tidak terbatas pada usia. Orang yang berusia lebih muda dan lebih tua dari usia “dewasa” sering kali dipandang sebelah mata, baik itu tentang pemikirannya, kinerjanya, dan produktivitasnya. Tentang bagaimana lowongan pekerjaan mematok batasan usia yang terkesan “merampas hak” seseorang merupakan salah satu dari banyaknya contoh diskriminasi usia atau yang disebut dengan Ageisme (Ageims).
Mungkin istilah ageisme masih sedikit asing di kehidupan kita dibanding dengan jenis diskriminasi lain seperti rasisme dan seksisme. Ageisme bisa terjadi pada siapapun dan dimana pun hanya karena perbedaan usia. Kalimat-kalimat seperti “Kamu itu masih kecil, tau apa?” atau “Sudah tua pak, ini saatnya kita yang muda buat berkarya,” merupakan salah satu bentuk ageisme. Bukan hanya kepada anak muda, ageisme juga kerap kali dialami oleh lansia. Namun sayangnya hal ini dianggap sebagai sesuatu yang normal karena adanya konstruksi sosial tentang umur, sehingga korbannya pun tidak melakukan perlawanan.
ADVERTISEMENT
Ageisme: Masih Muda, Tau Apa?
Pernahkah gagasan atau pendapat yang kamu sampaikan tidak dihiraukan? Hanya karena kamu dianggap lebih muda dan belum berpengalaman? Itu berarti kamu adalah korban ageisme, atau jangan-jangan malah kamu pelakunya? Semoga tidak, Ya. Sering kali kita temui pendapat anak yang masih remaja dianggap hanya angin lalu yang tidak “berbobot” orang dewasa cenderung menilai bahwa dirinya lebih berpengalaman dan sudah kenyang menelan asam dan garam kehidupan, sedangkan yang masih muda? Mereka dianggap hanya sebagai sosok “manja” yang gegabah dan belum punya pendirian dalam mengambil keputusan. Padahal, kualitas dari sebuah pendapat, ide atau gagasan seseorang tidak bergantung pada usianya. Seharusnya itu bisa menjadi langkah awal yang baik bagi generasi muda agar lebih berani dan percaya diri untuk berpendapat serta menghasilkan karya.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi di Usia Muda, Sumber: Canva
Ageisme yang terjadi pada anak-anak muda tidak bisa dianggap sepele. Karena hal ini akan menimbulkan dampak negatif jangka panjang kedepannya. Perkataan dan sikap diskriminasi ini akan menyebabkan para remaja cenderung lebih tertutup dan takut untuk menyampaikan pendapat dan ide-ide di pikirannya. Mereka akan menganggap bahwa apa yang apapun yang disampaikan akan disepelekan dan dianggap angin lalu. Kalimat-kalimat seperti “Kamu belum berpengalaman, tau apa?” atau “Udahlah, tidak usah sok tahu”, juga bisa menyebabkan para anak muda kehilangan rasa percaya diri yang tentunya akan menghambat mereka untuk bisa berkembang dan melangkah maju.
Ageisme: Sudah Tua, Bisa Apa?
Tidak hanya dialami kaum muda, diskriminasi usia juga kerap kali dialami oleh lansia. Tolak ukur angka usia sebagai salah satu faktor produktivitas di dunia kerja bisa menjadi salah satu penyebabnya. Stereotip masyarakat yang memandang bahwa lansia dianggap sebagai sosok yang membosankan, kolot, lemah, dan sudah “habis” masanya untuk bekerja dan berkarya. Bagaimana tidak, orang yang telah memasuki usia senja dianggap sebagai beban dan tidak berguna. Pernahkah kamu mendengar “Yang muda yang berkarya” secara sekilas kalimat ini mungkin terdengar normal dan akan membakar semangat anak muda untuk berkarya dan lebih produktif. Namun dalam perspektif lain, apakah kemudian yang sudah tidak muda tidak boleh berkarya? Seharusnya tidak. Kalimat tersebut bermaksud baik, agar bangsa ini dapat membangkitkan semangat generasi muda untuk lebih produktif dan berkarya. Tetapi, lansia juga tidak menutup kemungkinan untuk turut andil dalam semangat berkarya bukan?.
Diskriminasi pada Lansia, Sumber: Canva
Membahas bagaimana diskriminasi usia dialami oleh lansia, apakah ada dampak negatifnya? Tentu saja ada. Dampak negatif yang ditimbulkan karena adanya praktik ageisme ini akan menyerang kesehatan lansia. Sebuah penelitian menyatakan bahwa sikap dan perilaku ageisme yang diterima oleh lansia akan mengganggu kinerja kognitif dan fungsional akan berakibat pada kesehatan mental lansia. Pengucilan lansia dari peran berarti di dalam lingkungan masyarakat akan berimbas pada perasaan tertekan, tidak berguna dan kesepian yang akan berimbas pada usia hidup lansia.
ADVERTISEMENT
Ageisme Saat Ini
Hingga saat ini, masalah diskriminasi usia atau ageisme ini masih belum bisa teratasi. Ageisme bagi masyarakat masih terasa asing dan tidak dianggap sebagai masalah serius. Siapapun yang menjadi korban ageisme, bagaimana cara melawannya bisa dimulai dari diri sendiri. Untuk bisa melawan ageisme kita bisa mulai dengan ubah pola pikir tentang usia dan berani untuk speak up, lebih aktif dan up to date juga terkait informasi agar bisa menciptakan kolaborasi yang baik tanpa adanya diskriminasi.