Populisme dan Kesehatan

Dede Nasrullah
Peneliti di bidang Kesehatan dan Keperawatan PUSAD UMSurabaya
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2020 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dede Nasrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sumber : Ilustrasi, Cartoon Movement
ADVERTISEMENT
Beberapa akhir ini kita mendengarkan isu terkait dengan pemimpin populis termasuk dibeberapa negara isu ini menjadi tranding bahkan kalau kita perhatikan di Amerika Serikat, Brasil turut berkontribusi terhadap kegagalan skala global dalam merespons pandemi COVID-19 secara tepat, bahkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi terkait dengan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pada tanggal 7 Januari 2020, RRT mengidentifikasi virus jenis baru yang disebut Coronavirus Disease-19 (COVID-19). Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan sebagai pandemic glogbal. Penambahan jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antar negara. Sampai saat ini (21/08/2020) kasus di Indonesia yang sudah terlaporkan sebanyak 147.211, kasus kematian lebih dari 6.418 yang tersebar di banyak provinsi di Indonesia.
Jika kita perhatikan saat ini menjelang Pilkada serentak di Indonesia di 270 daerah. Sebanyak 9 Provinsi menggelar pemilihan gubernur, 224 kabupaten melaksanakan pemilihan bupati dan 37 Kota menghelat pemilihan walikota, salah satunya adalah provinsi Jawa Timur sebanyak 19 Kabupaten yang ada di Jawa Timur masih banyak pemimpin yang saat ini mulai membangun wacana bahkan program- program yang sifatnya dalam menangani COVID 19. Pertanyaan yang ada di benak penulis saat ini adalah apakah pemimpin saat ini benar –benar memperhatikan hal tersebut atau hanya ingin mencari populer di masyarakat?
ADVERTISEMENT
Populisme di era pandemik
Populisme memiliki arti sebagai ideologi yang menganggap masyarakat terbagi secara absolut dalam dua kelompok homogen dan antagonis, “rakyat yang murni melawan elit yang korup”, dan berpendapat bahwa seharusnya politik adalah ungkapan volente generale (kehendak umum ) rakyat (Mudde 2004,543). Populisme disini dapat diartikan sebagai gaya komunikasi dimana seorang pemimpin menganggap dirinya mewakili kepentingan rakyat yang kemudian dikontraskan dengan kepentingan elit.
Pemimpin populis pada era pandemik ini menyakini bahwa mereka sejatinya adalah representasi kehendak rakyat dan oleh karena itu mereka dapat mewakili rakyat dalam menyelesaikan persoalan pandemik COVID 19 ini. Jika kita perhatikan hampir semua dpektrum politik, kepemimpinan populis memilki sifat yang sama dalam menghadapi dan menyelesaikan COVID 19 yaitu terjadi bias optimisme dan rasa puas diri, ambigu, serta anti sains. Sifat seperti ini yang membuat mereka tidak mampu memimpin dalam situasi krisis seperti ini.
ADVERTISEMENT
Jika kita perhatikan banyak negara- negara yang mengganggap remeh terkait dengan terjadinya pandemik ini bahkan ada yang optimis mampu menyelesaikan dan merespon krisis ini, salah satu contohnya adalah Presiden AS Trumpt, Perdana Menteri Boris Johnson di Inggris dan Presiden Joko Widodo sangat optimis dan cederung naif berpikir bahwa semua akan baik- baik saja dan yakin bahwa wabah tidak akan menghantam negara mereka.
Dalam pandemi global seperti saat ini tentu pemimpin yang populis terus bimbang mengganti sebuah kebijakan, medengarkan tentang ilmu pengetahuan dan merelakan terkait dengan ilmu pengetahuan dalam menentukan dan memutuskan keputusan yang krusial dalam krisis COVID 19 ini.
Populisme dalam merespon dunia kesehatan
Jika kita perhatikan dengan adanya pandemi ini kaum populis menyakini penyebaran pandemi ini telah diatur sedemikian rupa oleh orang- orang tertentu untuk mencapai sebuah tujuannya. Sehingga sering kali kita dengar teori konspirasi bermunculan seperti halnya menuduh WHO, menuduh pemerintah tiongkok dan lain sebagainya. Para ilmuan dan ahli kesehatan secara konsisten bertentangan dengan pemimpin yang meremehkan pandemi. Padahal, sains berperan penting sebagai pedoman ilmiah bagi Pemerintah untuk memahami karakteristik dan implikasi COVID 19, sehingga dapat menetapkan tindakan pencegahan dan penanganan yang tepat. Sebaliknya, para pemimpin populis tersebut, seolah- olah bersembunyi dibalik optimisme yang kosong dalam menangani pandemi, sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak tegas, rancu, bahkan sulit diimplementasikan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Pemimpin populis ini banyak mengambil peran yang tidak rasional bahkan bertentangan dengan dunia kesehatan untuk terlihat tampak gagah dalam mengatasi problematik di masa pandemi ini bahkan kebijakan yang tidak ilmiahpun diambil oleh pemimpin populis dalam merespon hal ini seperti yang dilakukan oleh Trumpt dan juga dilakukan oleh Menteri Kesehatan Terawan diawal pandemik ini dan juga banyak ketidaktegasan pemerintah sehingga dapat menimbulkan ketidak patuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.
Mari kita kedepannya harus lebih berhati- hati kembali dalam memilih seorang pemimpin, jangan sampai pemimpin yang anti sains. Pemimpin harus melandaskan kebijakannya pada sains. Pemimpin harus bisa membuka diri untuk mengubah dan mengembangkan sebuah kebijakan berdasarkan sains.