Konten dari Pengguna

Mengapa Anggota Dewan (Harus) Membela Rakyat?

Dede Rohana Putra, MSi
Anggota DPRD Provinsi Banten, Fraksi PAN
18 September 2024 19:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dede Rohana Putra, MSi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Koleksi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Source: Koleksi Pribadi
ADVERTISEMENT
Oleh Dede Rohana Putra MSi, Anggota DPRD Provinsi Banten
Beberapa hari lalu viral di media sosial menyangkut advokasi yang penulis lakukan terkait dengan RS Bethsaida yang berlokasi di Kabupaten Serang, Banten. Saat itu selaku wakil rakyat (anggota DPRD Provinsi Banten), kami menerima keluhan warga sekitar RS, bahwasannya mereka kurang dilibatkan dalam perekrutan tenaga kerja. Padahal, masuknya investasi dari luar seharusnya memberi manfaat sebesar-besarnya bagi penduduk lokal. Dengan demikian akan tercipta lapangan kerja baru yang dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Sayangnya upaya konstitusional selaku wakil rakyat itu kurang dipahami oleh sebagian pihak. Bahkan penulis sempat dilaporkan ke polisi oleh oknum tertentu. Padahal sebagai members of provincial parliament, anggota DPRD memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugasnya, khususnya saat memperjuangkan aspirasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tiga isu utama yang penulis perjuangkan saat itu. Pertama, kuota tenaga kerja lokal. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana setiap perusahaan atau entitas usaha apapun dalam merekrut karyawan atau tenaga kerja tentu juga terikat dengan aturan di daerah tersebut. Jika daerah domisili usaha menyatakan bahwa harus ada karyawan yang tergolong masyarakat lokal atau tenaga kerja lokal, maka perusahaan harus mematuhi aturan tersebut. Pada konteks Kabupaten Serang, setiap unit usaha seharusnya memperhatikan Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam aturan tersebut dinyatatakan bahwa kuota untuk pekerja lokal bersifat mandatory sebagai syarat masuknya suatu investasi.
ADVERTISEMENT
Keberpihakan
Ini tidak berarti bahwa Pemda menomorduakan pekerja dari luar. Justru hal tersebut dilakukan sebagai bentuk proteksi terhadap pekerja luar dan lokal. Term “kuota” dalam hal ini menunjukkan bahwa jumlah pekerja lokal hanya sampai batas tertentu. Lebih dari itu, meskipun dari warga lokal, namun seleksi tetap dilakukan secara profesional, antar warga lokal tersebut. Disinilah bentuk keberpihakan dunia usaha terhadap wilayah dimana dia berusaha, sehingga tercipta kemaslahatan bersama. Perda semacam ini juga mudah ditemui di hampir semua kabupaten / kota se-Indonesia. Respon pengusaha di banyak daerah dan kota, sejauh ini juga positif, setidaknya terlihat dari minimnya letupan akibat isu yang sama.
Kedua, kemitraan dengan pengusaha dan UMKM lokal. Pasalnya sudah seharusnya kehadiran investasi di suatu daerah, menghasilkan multi flyer effect bagi masyarakat lokal. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) dan peraturan turunannya yaitu Peraturan Menteri Investasi / Kepala BKPM Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kemitraan di Bidang Penanaman Modal antara Usaha Besar dengan UMKM. Pentingnya kolaborasi antara pelaku usaha dengan UMKM ini juga menjadi salah satu poin pada paragraf 37 dalam Leader’s Declaration yang merupakan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali bulan November 2022 lalu. Dengan semakin banyaknya penduduk sekitar yang terberdayakan, maka perusahaan juga akan mendapat dukungan dari warga. Pada gilirannya tercipta sinergi antar stakeholders yang berujung pada stabilitas di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketiga, fasilitas publik untuk saudara-saudara kita penyandang disabilitas merupakan kewajiban yang tak bisa diabaikan. Apalagi layanan publik seperti RS, dimana yang datang adalah mereka yang sedang sakit, maka fasilitas tersebut jutsru harus menjadi prioritas. Ini linear dengan semangat menghadirkan kota yang inklusif dan aksesibel untuk semua, termasuk disabilitas. Hal itu tentu mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pengganti UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan disabilitas.
Source: Koleksi Pribadi
Maka dari itu, sejalan dengan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas, pemerintah harus mewujudkan Kota Ramah Disabilitas (KRD). Sebuah kota yang dikembangkan tentu harus bisa memenuhi hak hidup, mendukung pengembangan diri, kesejahteraan, rasa aman, dan aksesibilitas di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Saat ini tiga aspirasi warga di atas masih berproses. Begitu pun dengan laporan kepolisian terkait penulis, yang masih berjalan. Apapun itu, risiko apapun harus dihadapi demi membela hak-hak warga, khususnya rakyat miskin. Dalam konteks ini perlu digarisbawahi bahwa tidak ada pihak yang menang dan kalah. Lebih utama dari semuanya adalah terpenuhinya hak-hak warga, khususnya para pencari kerja dan penyandang disabilitas, untuk mendapatkan perlakuan yang setara sebagai warga negara. Inilah bentuk nyata kehadiran negara, yang dijalankan oleh Pemda dan DPRD. Semata-mata untuk membela hak rakyat sebagaimana amanat Pancasila dan UUD 1945.
Parle: Bicara, Membela
Di luar itu, penulis juga ingin menjelaskan mengenai fungsi partai politik, agar ke depan semua pihak memahami peran anggota DPR dan DPRD, sebagai konsekuensi dari demokrasi dan produk pemilu. Sebagaimana dijelaskan Carl J Friedrich, partai politik merupakan, “a political party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaning for its leader the control of a goverment, with the futher objective of giving to member of the party, through such control ideal and material benefits and advantages”. Dengan kata lain, parpol bersifat terorganisir yang berkompetisi merebut kekuasaan secara konstitusional untuk menciptakan kemanfaatan dan kesejahteraan bersama. Maka dari itu, sudah seharusnya anggota DPRD selalu melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap masyarakat dan stakeholders lainnya. Mereka juga harus bicara untuk membela semua pihak yang dirugikan.
ADVERTISEMENT
Sebab kata “Parle” dalam konteks parlemen itu maknanya adalah bicara. Justru bila ada anggota DPR atau DPRD yang tidak pernah bicara di media, membela hak-hak warga, tampil ke publik, maupun mengemukakan pendapat di sidang-sidang parlemen, merekalah yang seharusnya dicurigai sebagai anggota dewan yang incompetent, atau sekedar “cari aman” saja. Jangan sampai para investor ataupun pelau bisnis, justru memuji mereka yang diam, semata-mata karena kepentingannya tidak diganggu. Mungkin sepintas kelihatan menguntungkan pelaku usaha. Namun dalam jangka menengah dan panjang, itu akan berdampak pada resiko yang lebih besar, mulai dari iklim ekonomi yang tidak sehat hingga membahayakan demokrasi, yang sudah kita bangun bersama.
Fenomena di atas juga bersifat universal, dalam arti berlaku juga di negara-negara Barat. Sebagaimana tulisan Timothy Cook, bahwa dalam perspektif kelembagaan, partai politik adalah mata rantai yang menghubungkan antara rakyat dan pemerintah. Atau dalam bahasa lain, parpol menjadi jembatan antara masyarakat sipil dengan pemerintah. Kata “jembatan” memiliki arti bahwa parpol merupakan pihak yang membantu pemerintah dan rakyat untuk menemukan konsensus bersama demi ketenteraman umum. Indonesia juga mengakomodasi keberadaan partai politik ke dalam aturan daerah yang lebih teknis, yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2014. Dimana parpol terwakili melalui keberadaan anggota DPRD di provinsi dan kabupaten / kota.
Source: Kumparan
Sila Kelima Pancasila
ADVERTISEMENT
DPRD menurut UU tersebut mempunyai fungsi, mulai dari pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan. Fungsi pengawasan inilah yang kami jalankan beberapa waktu lalu, dan itu melekat setiap saat. Itu semua juga searah dengan fungsi partai politik—rumah para anggota DPRD—sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 UU No 2 Tahun 2008. Yaitu sebagai sarana pendidikan politik bagi seluruh masyarakat Indonesia agar menjadi WNI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lalu menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia demi kesejahteraan masyarakat. Berikutnya, menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Dua yang terakhir adalah tempat WNI dapat berpartisipasi dalam politik, dan merekrut untuk mengisi jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, advokasi yang penulis lakukan terhadap warga sekitar RS Bethsaida, dan pendampingan-pendampingan lainnya untuk warga, semata-mata dalam rangka menjalankan tugas sebagai wakil rakyat yang dilindungi undang-undang. Tidak ada interest lain di luar itu, termasuk menekan investor dan sebagainya. Justru tanpa adanya pengusaha, investor dan pebisbis, tidak ada pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, kehadiran investasi merupakan sesuatu yang penting dalam upaya mendorong kemajuan. Namun sebagaimana amanat Sila Kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sudah seharusnya para pengusaha juga menjalankan tugas tersebut sebagai bentuk kecintaan terhadap tanah air.
Sebagai orang yang berlatar belakang bisnis—sebelum menjadi anggota DPRD—penulis yakin bahwa kita tidak akan merugi dengan menolong masyarakat sekitar. Justru sebaliknya, simpati yang muncul dari warga akan membuat bisnis kita semakin berkembang.***
ADVERTISEMENT