Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Merdeka dari Judi Online
8 Agustus 2024 12:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dede Rohana Putra, MSi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Dede Rohana Putra MSi, Anggota DPRD Provinsi Banten
Dalam waktu dekat, kita akan merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke-79. Usia yang tak muda lagi, namun sejauh ini kita belum bisa mewujudkan kesejahteraan bersama. Padahal itulah the ultimate goals dalam pembukaan konstitusi yang dirumuskan oleh founding fathers bangsa. Setidaknya kita membutuhkan dua aspek untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu pembangunan fisik dan mental. Pada pembangunan fisik, ada sejumlah kemajuan yang dicapai. Indikatornya dapat dilihat dari berbagai infrastruktur publik yang semakin baik. Sayangnya capaian itu belum diikuti dengan pembangunan mental masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pola berpikir sebagian masyarakat kita cenderung suka mencari jalan pintas untuk meraih kesuksesan. Mereka tak mau mau bersusah payah melewati proses yang wajar. Hak semua orang untuk hidup layak dan mencapai level financial freedom. Namun semua itu adalah hasil, yang memerlukan kerja keras dan kedisiplinan. Ironisnya sebagian kita justru kini terjebak “jalan pintas” mimpi jadi kaya melalui judi online atau judol.
Hal itu bentuk lain dari penyakit sosial yang mentalitasnya terganggu. Dengan kata lain, ini merupakan bahaya laten bagi kehidupan berbangsa. Berbagai lapisan masyarakat terjebak dalam iming-iming mendapatkan uang berlipat ganda dalam waktu singkat dan dengan cara yang mudah. Namun realitas yang terjadi mereka malah terus-menerus kalah dan kecanduan judi.
ADVERTISEMENT
Dampak Psikologis Judol
Pasalnya, judi di era digital telah dikemas dalam bentuk permainan menyenangkan yang bisa kapan saja diakses di gawai pintar masing-masing orang. Dahsyatnya dampak judol bisa menyeret ke berbagai permasalahan lain. Hal ini disebabkan oleh efek dopamine karena pernah menang judol di awal-awal permainan. Pelepasan dopamine ini yang membuat orang merasa senang dan terdorong mencoba lagi, meski kenyataannya telah berulang kali mengalami kekalahan.
Dalam studi psikologis menyebutkan, dampak menurunnya kesehatan mental akibat judol antara lain gambling disorder atau kecanduan judi yang mengorbankan atau merugikan diri sendiri. Jika tak dapat mengontrolnya, maka akan merugikan orang lain. Banyak sekali pemberitaan di media massa yang menyebutkan seseorang melakukan perbuatan kriminal lantaran kecanduan judol.
ADVERTISEMENT
Dampak berikutnya adalah depresi. Kalah judi mendorong seseorang untuk menghabiskan lebih banyak uang karena berambisi bisa terus menang. Jika hutang sudah membengkak dan sudah tidak mempunyai uang lagi untuk lanjut bermain judol, maka ia akan mengalami depresi hingga kecemasan yang berlebihan.
Selanjutnya adalah kehilangan nalar berpikir logis. Munculnya pinjaman online (pinjol) dan jasa gadai sebagai solusi instan masalah keuangan ternyata malah menjerumuskan ke dalam masalah baru. Tak mampu melunasi hutang pinjol dan gadai membuat akses perbankan ditangguhkan dan semakin banyak kehilangan harta benda.
Terakhir, renggangnya hubungan sosial dengan kerabat dan tetangga. Kecanduan judol membuat pelakunya kehilangan minat untuk menjaga hubungan sosial yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Pejudi akan sibuk dengan perjudiannya. Di sisi lain, penjudi juga merasa malu dan enggan berkomunikasi dengan kerabat atau tetangga yang ia hutangi karena belum bisa mengembalikan uang mereka. Dan tentu saja si pejudi akan dikucilkan dari ligkungan sosial akibat perilakunya.
ADVERTISEMENT
Darurat Judol
Tema Kemerdekaan tahun ini—sebagaimana rilis dari Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg)—adalah Nusantara Baru Indonesia Maju. Tema tersebut memiliki makna sebuah batu loncatan besar bagi Indonesia, karena mengalami tiga transisi penting, yakni menyongsong Ibu Kota baru, pergantian pemimpin, serta menyambut Indonesia Emas 2045. Disini ada sedikit anomali, dimana tema yang bernuansa semangat membuka lembaran baru untuk menyongsong Indonesia yang lebih maju, di saat yang sama jutaan masyarakat negeri ini justru terjerumus dalam lembah hitam judol.
Data dari Kemenko Polhukam menyebutkan bahwa ada sekitar 4 juta orang yang terdeteksi melakukan judol di Indonesia. Ini mengerikan. Terlebih, korbannya terdiri dari anak-anak usia di bawah 10 tahun hingga lansia. Disebutkan, demografi pejudi, yakni 80.000 anak usia di bawah 10 tahun (2%), 440.000 orang usia 10-20 tahun (11%), 520.000 orang usia 21-30 tahun (13%), 1,64 juta orang usia 31-50 tahun (40%) dan 1,35 juta orang usia di atas 50 tahun (34%).
ADVERTISEMENT
Yang lebih memprihatinkan, bahwa 80% dari total keseluruhan pelaku judol adalah kalangan menengah ke bawah. Nominal transaksi mereka mulai dari Rp10.000 hingga Rp100.000. Sementara sisanya di kelas menengah ke atas, transaksinya mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 40 miliar.
Langkah Penanganan
Pembentukan satuan tugas (Satgas) terpadu patut diapresiasi. Pasca kebijakan tersebut, pemerintah telah memblokir 40.642 situs judol serta membekukan 4.196 rekening, dimana pemiliknya juga dipanggil untuk pemeriksaan. Kementerian Kominfo juga telah memutus akses hampir 3 juta konten judol hingga pertengahan Juni 2024. Namun itu belum cukup.
Setidaknya pemerintah perlu mengeluarkan penguatan regulasi sebagai payung hukum agar penindakan hukum judol dapat berjalan lebih terstruktur dan komprehensif. Penyedia layanan internet perlu diajak bekerja sama untuk memfilter konten-konten atau situs-situs yang terafiliasi dengan judol. Selain itu, edukasi dan sosialisasi dampak judol kepada generasi muda perlu digencarkan lagi, baik di lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan kampanye digital di sosial media bahwa judol adalah penyakit sosial yang menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan dan kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, stakeholders terkait juga perlu menyiapkan rumah rehabilitasi untuk menampung para pejudi yang telah kecanduan judol. Dan yang paling ditunggu, langkah konkret aparat hukum untuk membekuk para bandar judol. Sejauh ini aparat sudah memiliki data bahwa sebagian besar judi online dikendalikan dari Jaringan Mekong yang berpusat di Kamboja. Para TKI juga menjadi korban, karena dipekerjakan sebagai operator, tanpa tahu tujuan dari bisnis mereka. Itu lebih dari cukup untuk mendorong pemerintah melakukan “total actions” dalam memotong jaringan internasional tersebut. Jika beberapa tahapan tersebut dapat dilakukan, maka Visi Indonesia Emas 2045 akan bisa diwujudkan.***