Tentang Paham Kemajemukan di Antara Ekstremisme Beragama

Dedi Irawan
Founder @memahami.buku
Konten dari Pengguna
4 Juli 2020 5:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dedi Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ajarkan toleransi pada anak sejak dini. Foto: K.W. Barrett via Flickr
zoom-in-whitePerbesar
Ajarkan toleransi pada anak sejak dini. Foto: K.W. Barrett via Flickr
Document pribadi Dedi Irawan bersama: Romo Franz Magnis Suseno
zoom-in-whitePerbesar
Document pribadi Dedi Irawan bersama: Romo Franz Magnis Suseno
ADVERTISEMENT
Agama dipahami sebagai cara pandang dunia terhadap serangkai kepercayaan, yang berkaitan dengan perwujudan dan ungkapan sistem nilai kepercayaan. Suatu agama secara khas memperoleh nilai – nilai dan praktiknya dari beberapa otoritas. Apakah bersifat personal atau non personal. Dalam mengatasi, mendasari dan secara implisit mengenai realitas maupun keadaan di luar kebiasaan secara umum.
ADVERTISEMENT
Di luar kebiasaan secara umum misalnya dalam kesadaran beragama masih menjadi perihal yang jarang sekali ditekan oleh pemuka agama. Padahal merupakan suatu yang fundamental dan sangat penting. Kesadaran dapat tumbuh karena adanya sifat pemahaman yang luas, artinya perlu seorang yang tepat untuk menjelaskan itu, supaya yang pemahamannya dahulu sempit menjadi luas.
Pemahaman akan berubah – ubah pada kondisi tertentu, akan terlihat sekali perilaku seseorang yang memiliki kesadaran yang tinggi atau sebaliknya. Kesadaran tinggi akan menimbulkan sikap toleransi dan moderat. Kesadaran yang rendah akan menimbulkan deterministik dan fatalistik, serta melahirkan beberapa sikap, yaitu konservatif dan fanatisme.
Contoh sederhana ketika saya sebagai pengurus masjid dihadapkan di situasi keduanya, menghadapi sosok kesadaran tinggi maupun sebaliknya. Tepat azan zuhur tiba, kami para pengurus baru selesai membersihkan dan memberi tanda jarak untuk solat. Pembersihan itu didasari bahwa adanya fase baru yaitu “new normal”, namun pada saat itu belum resmi masjid kami dibuka, karena belum ada arahan selanjutnya dari pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Lalu, datang dua orang ibu yang tidak terlalu tua untuk salat. Pengurus yang sudah sepuh memperingatkan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Walaupun sudah sepuh namun pemilihan diksinya sudah tepat, dikarenakan beliau pernah bekerja di kantor Republika. Singkat kata, ibu pertama menerima, karena memang warga sekitar masjid, namun ibu kedua tidak terima karena merupakan tamu dan sedikit tinggi nada bicaranya. Dengan ucapan, “alaah, di masjid saya gak ada jarak – jarakan, gak ada nyuruh – nyuruh nyuci tangan, apalagi bawa sujadah, toh sudah ada karpet, buat apa?”.
Melihat kondisi tersebut, saya mengajak untuk memahami fungsi agama. Dalam buku Agama dan Hak – Hak Asasi Manusia yang diterjemahkan oleh Religion and Human Rights, Fungsi “agama” yaitu menyerukan kepada para pemeluknya untuk hidup sesuai dengan nilai – nilainya melalui petunjuk serangkaian praktik dan hubungan yang dapat mempengaruhi aspek dari kehidupan pribadi dan sosial. Tidak semata – mata menyangkut kepercayaan atau doktrin suatu “agama” tetapi juga mencakup budaya integral (keadaan sosial budaya) di lingkungan sekitar. Jadi, agama bukan sekadar iman saja, ada unsur sosial kemanusiaan. Kemanusiaan ini menjadi persoalan dan agama memprioritaskan. Apakah agama dapat ada dan berkembang tanpa adanya manusia? Tidak bisa. Fungsi agama bukan hanya sekadar hanya untuk edukatif dan penyelamat saja. Tetapi yang paling utama yaitu sebagai kontrol sosial yang didalamnya terdapat kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Maka, sikap kesadaran yang tinggi dan mengutamakan kemanusiaan sangat penting dan dianjurkan dalam beragama serta kegiatan sosial, dibandingkan harus memaksa beribadah di situasi yang tidak baik atau dalam keadaan bencana.
Bhinneka Tunggal Ika
Kemajemukan suatu yang tidak diminta, namun sebagai sebuah pemberian. Bukan untuk ditawar tetapi untuk diterima. Misalnya, Kampus merupakan tempat yang terdapat keadaan sosiologis yang beragam berupa etnis, suku, budaya dan agama. Menggambarkan sekali ”Bhinneka Tunggal Ika” bukan?
Dengan kenyataan beragamnya lingkungan kampus saja, sudah dapat dibayangkan betapa beragamnya pendangan, pendapat, keyakinan dan kepentingan masing-masing, termasuk dalam beragama, apalagi pada cakupan masyarakat secara keseluruhan? Beruntung kita memiliki satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sehingga lebih mudah berkomunikasi dan karenanya antarwarga dapat saling memahami satu sama lain. Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola keberagaman itu kadang akan membawa pada kesalahpahaman.
ADVERTISEMENT
Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dimaksudkan sebagai pengakuan positif kepada kemajemukan orientasi keagamaan dalam masyarakat, karena hakikat dan tujuan semuanya bisa satu dan sama, yaitu berbakti kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama makhluk: Tan Hana Dharma Manghroa, tidak ada jalan kebaikan yang mendua dalam tujuan. (Nurcholish Madjid: 2004)
Transformasi pandangan dasar itu ke bidang agama, mengharuskan masyarakat beragama ataupun tidak, harus bersedia menerima secara positif perbedaan keanekaragaman agama. Berarti harus tersedia ruang bagi kegiatan oposisi atau sejenisnya, yang didalamnya terdapat ekstremisme. Ekstremisme bukan hanya gerakan konservatisme beragama yang dikenal ekstrem kanan, tetapi juga mencakup perilaku agama yang liberal atau sering disebut ekstrem kiri.
Salah satu ciri awal konservatisme seseorang dalam beragama adalah bahwa ia memiliki pandangan, sikap, dan perilaku fanatik terhadap satu keagamaan saja, seraya menolak pandangan lain yang berbeda, meski ia mengetahui adanya pandangan tersebut. Lebih dari sekadar menolak, seorang yang ultra konservatif lebih jauh bahkan akan mengecam dan berusaha melenyapkan kehadiran pandangan orang lain yang berbeda tersebut. Baginya, cara pandang hitam putih dalam beragama itu lebih memberikan keyakinan ketimbang menerima keragaman tafsir yang menimbulkan kegamangan.
ADVERTISEMENT
Ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, keduanya ibarat gerak sentrifugal dari sumbu tengah menuju salah satu sisi paling ekstrem. Mereka yang berhenti pada cara pandang, sikap dan perilaku beragama secara liberal akan cenderung secara ekstrem mendewakan akalnya dalam memahami ajaran agama, sehingga tercerabut dari teksnya, sementara mereka yang berhenti di sisi sebaliknya secara ekstrem akan kaku dalam memahami teks agama tanpa memahami konteks.
Moderasi Agama: Jalan Tengah, Jalan Keseimbangan
Moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah – tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Moderasi beragama sesungguhnya kunci terciptanya toleransi maupun kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional hingga global. Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah tercipta perdamaian. Dengan cara inilah masing – masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan malahan keharusan.
ADVERTISEMENT
Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan keputusan tokoh agama, antara gagasan idel dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan.
Pada intinya, moderasi agama proses memahami agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebihan dalam implementasinya. Moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena agama dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan keseimbangan.