Konten dari Pengguna

Dilema Carbon Trade dan Carbon Tax Akan Keberlangsungan Bumi

Dedi Ariyanto
Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Pamulang
26 Mei 2024 18:21 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dedi Ariyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Karbon Dioksida / Carbon Dioxide (CO2) atau familiar dikenal dengan sebutan zat asam arang ialah sejenis senyawa kimia yang terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon.
ADVERTISEMENT
Karbon Dioksida / Carbon Dioxide (CO2) berbentuk gas pada keadaan temperatur dan tekanan standar dan terdapat pada atmosfer bumi. Karbon Dioksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak dapat terbakar.
Manfaat dari Karbon Dioksida dapat dilihat pada kehidupan sehari – hari, diantaranya :
ADVERTISEMENT
Carbon Dioxide dihasilkan oleh semua hewan, tumbuh-tumbuhan, fungi (jamur) dan mikroorganisme pada proses respirasi dan digunakan oleh tumbuhan pada proses fotosintesis (memasak makanannya pada daun) disamping itu Carbon Dioxide dihasilkan dari proses pembakaran (aktivitas Industri, aktivitas gunung berapi bahkan 40% gas yang dimuntahkan oleh aktivitas gunung berapi adalah karbon dioksida, hasil dari proses Geothermal seperti : panas bumi, mata air panas, dan lain-lain), hasil gas buang kendaraan (mesin, motor, mobil, kereta, pesawat, kapal dan sebagainya) serta efek gas rumah kaca (Sinar matahari ke bumi sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan dalam bentuk radiasi inframerah yang terperangkap di atmosfer bumi yang menyebabkan bumi kian panas/Global Warming).
Menurut data Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), tingkat konsentrasi karbon dioksida pada Mei 2022 secara global sudah mencapat rata – rata 417.6 ppm (part per million). Angka tersebut sudah naik 6.2% dibandingkan dengan tahun 2011. Bahkan apabila dilihat ke belakang, peningkatan karbon dioksida ini meningkat sekitar 50% dari jaman era industri pada tahun 1750.
ADVERTISEMENT
Karbon Dioksida dapat menyebabkan Dampak kesehatan diantaranya sakit kepala, pusing, gelisah, kelelahan, perasaan kesemuatan, kesulitan bernafas, berkeringat, peningkatan detak jantung, tekanan darah tinggi, koma, asfiksia, dan kejang.
Batas Kadar Karbon Dioksida di udara dan dampak kesehatanya :
ADVERTISEMENT
Pesatnya kenaikan jumlah penduduk yang signifikan di segala penjuru dunia terutama pada negara-negara berpenduduk terpadat seperti : India, China, Amerika, Indonesia, dan lain-lain terlihat pada gambar dibawah ini :
Sumber : situs statistik real-time worldometer 25 Januari 2024
Berdampak pada meningkatnya konsumsi kebutuhan penduduk dunia yang dihasilkan dari proses pembakaran sehingga hal ini menyebabkan kenaikan jumlah carbon dioxide yang dihasilkan. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya perubahan iklim bumi yang drastis (kenaikan suhu bumi, mencairnya es dikutub utara maupun selatan, periode musim panas dan hujan yang tidak dapat diprediksi/perubahan iklim, menipisnya lapisan atmosfer bumi yang berfungsi menangkal bahaya radiasi sinar infrared bersumber dari matahari). Hal ini menimbulkan permasalahan serius bagi penduduk bumi dan dibutuhkan penanganan yang tepat sasaran dalam menanggulanginya.
ADVERTISEMENT
Apa yang Dimaksud dengan Perdagangan Karbon ?
Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan. Kredit karbon (carbon credit) adalah representasi dari ‘hak’ bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).
Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Lembaga verifikasi seperti Verra, akan menghitung kemampuan penyerapan karbon oleh lahan hutan pada proyek tertentu dan menerbitkan kredit karbon yang berbentuk sertifikat. Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah setempat biasanya akan mengisukan kredit tersebut hingga batasan tertentu. Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki, maka perusahaan tersebut bisa menjual kredit tersebut di pasar karbon.
Namun, jika emisi yang dihasilkan melebihi kredit yang dimiliki, maka perusahaan harus membayar denda atau membeli kredit di pasar karbon. Dengan demikian, negara-negara di dunia dapat mengontrol jumlah emisi atau jejak karbon yang dihasilkan dan mengurangi dampak gas rumah kaca secara signifikan.
Kenapa Ada Perdagangan Karbon ?
Perdagangan karbon berasal dari komitmen dunia dalam menangani pemanasan global. Mari kita lihat bagaimana perkembangan dunia dalam penanganan pemanasan global hingga muncul skema perdagangan karbon sebagai salah satu solusinya.
Stockholm, 1972
PBB mengadakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup Manusia. Pada konferensi ini, perwakilan dari berbagai negara bertemu untuk pertama kalinya dan membahas situasi lingkungan hidup secara global.
ADVERTISEMENT
Rio de Janeiro, 1992
PBB mengadakan Konferensi Bumi, di mana pada konferensi ini terbentuk konvensi kerja yang disebut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada di tingkat aman.
Kyoto, 1997
UNFCCC mengatur ketentuan stabilitas konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dalam Protokol Kyoto. Protokol ini disahkan pada 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Periode komitmen pertama dimulai pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2012, di mana 38 negara-negara industri dan masyarakat Eropa dituntut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata 5% di bawah tingkat emisi di tahun 1990.
Pada periode komitmen kedua (2013-2020), target pengurangan emisi sebesar 18% di bawah tingkat emisi tahun 1990. Meski Protokol Kyoto mampu menekan emisi di negara-negara terikat (27% dari emisi karbon global pada periode pertama, dan 15% pada periode kedua), namun emisi karbon global juga meningkat sebesar 2.6% di tahun 2012 atau sekitar 58% lebih tinggi dari tingkat emisi tahun 1990.
ADVERTISEMENT
Paris, 2015
Bertindak dari Protokol Kyoto, sebanyak 195 pemerintah dari berbagai negara menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 12 Desember 2015. Perjanjian Paris sepenuhnya bersifat sukarela. Negara-negara tersebut berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C (3.6˚F), serta menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C (2.7˚F).
Perjanjian Paris ini mulai berlaku efektif pada 4 November 2016. Negara-negara yang menyepakati Perjanjian Paris diharuskan untuk menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDCs)–rencana pengurangan emisi dan strategi penerapannya setiap lima tahun sekali. Setiap NDC baru harus lebih ambisius dari rencana sebelumnya, terutama dalam peningkatan target emisi yang dikurangi.
Apa itu Pajak Karbon ?
ADVERTISEMENT
Carbon Tax atau Pajak karbon didasarkan pada ide “Agar orang-orang mengurangi minat mereka akan ‘sesuatu’, mereka harus membayar atas ‘sesuatu’ tersebut”. Dalam hal ini, ‘sesuatu’ tersebut adalah “penggunaan bahan bakar fosil”. Secara harfiah, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada kandungan karbon bahan bakar fosil yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca, seperti metana dan karbon dioksida (Tax Foundation, 2020). Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mendorong peralihan ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan (IMF, 2019).
Pajak karbon ada sebagai respon terhadap krisis iklim yang semakin memburuk sejak revolusi industri 1760. Memang, berbagai cara telah dilakukan umat manusia untuk mengurangi gas rumah kaca sebagai penyebab utama krisis iklim. Mulai dari penggunaan energi terbarukan, penggunaan teknologi carbon capture, hingga aksi-aksi untuk menyuarakan krisis iklim secara global. Namun, cara-cara popular tersebut dinilai belum cukup untuk untuk mencapai agenda net-zero emission sebelum ambang waktu kritis. Dibutuhkan solusi yang mampu menekan produksi gas rumah kaca seminimal mungkin sebelum ambang waktu kritis yang ditentukan, yaitu tahun 2030 (IPCC 2022). Nah, salah satu ide yang muncul adalah penggunaan pajak karbon ini.
ADVERTISEMENT
Sejarah perkembangan Pajak Karbon
Pada tahun 1990, Finlandia mencatat sejarah sebagai pionir dalam penerapan pajak karbon di tingkat global. Sejak saat itu, 20 negara di Eropa telah mengadopsi sistem pajak karbon dengan tingkat tarif yang beragam, mulai dari kurang dari €1 per metrik ton emisi karbon di Ukraina hingga melebihi €100 di negara-negara seperti Swedia, Liechtenstein, dan Swiss (Tax Foundation, 2020). Hingga saat ini, Swedia, yang memiliki tarif pajak karbon tertinggi di dunia, bersama dengan Finlandia yang menjadi pelopor dalam penerapan pajak karbon, telah berhasil menekan emisi karbon mereka tanpa berdampak negatif terhadap ekonomi negara mereka (Barus, E.B., & Wijaya, S., 2021).
Di Asia, beberapa negara telah mengambil tindakan untuk menerapkan pajak karbon. Contohnya, India (pada tahun 2010), Jepang (pada tahun 2012), Cina (pada tahun 2017), dan Singapura (pada tahun 2019) telah mengambil langkah tersebut (Dewi, I.G.P.E.R. dan Dewi, N.M.S.S. (2022)). Tiga negara besar ini, yaitu Cina, India, dan Jepang, merupakan tiga produsen CO2 terbesar di dunia, dengan total emisi sebesar 17266,5 Mt CO2e atau setara dengan 35,88% dari total emisi global. Oleh karena itu, kontribusi dan usaha dari ketiga negara ini dalam mengurangi emisi karbon global memiliki peran yang sangat penting dalam upaya melawan pemanasan global (Worl Resources Institute, 2023).
ADVERTISEMENT
Sumber : Global Carbon Project (2023)
Terdapat 2 kontribusi penghasil CO2 yaitu aktivitas kegiatan industri dan gas buang kendaraan (transportasi darat, laut & udara). Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah tingginya jumlah CO2 yang dihasilkan, salah satunya adalah dengan penggunaan energi yang ramah lingkungan seperti : Solar Cell/Panel Surya, Kendaraan listrik, Pemanfaatan tenaga angin, dan lain-lain. Namun dalam proses produksinya tetap saja masih menggunakan bahan bakar fuel maupun batubara karena penggunaan 2 bahan bakar tersebut masih termasuk low cost (berbiaya rendah) serta dapat memenuhi kebutuhan manusia walaupun sumber daya alamnya terbatas dan tidak dapat diperbarui (unrenewable).
Pembahasan perdagangan karbon dan pemajakan karbon yang digaungkan diharapkan menjadi solusi dalam mengatasi tingginya jumlah CO2 yang dihasilkan ternyata bukanlah merupakan solusi menyelamatkan bumi karena bagi seorang pebisnis/pengusaha, mereka rela membayar/membeli kuota karbon yang diperdagangkan serta membayar pajak karbon selagi masih memberikan profit dalam usahanya (secara hitung-hitungan masih menguntungkan dalam menjalankan bisnisnya). Jika kebijakan ini diterapkan, hanya akan menguntungkan segelintir kelompok dari pihak-pihak yang berkepentingan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu diperlukan sebuah solusi yang tepat dalam menurunkan kadar CO2 di udara. Berbagai upaya penelitian (Research and Development) untuk menemukan alat ataupun bahan material yang dapat memisahkan unsur carbon dengan unsur oksigen serta bagaimana caranya gas CO2 tidak membahayakan kelansungan hidup manusia dibumi, dirasa menjadi solusi yang tepat dan cerdas dari pada penerapan aturan perdagangan karbon dan pemajakan carbon.
Pada suhu −78,51° C, karbon dioksida langsung menyublim menjadi padat melalui proses deposisi. Bentuk padat karbon dioksida biasa disebut sebagai "es kering". Fenomena ini pertama kali dipantau oleh seorang kimiawan Prancis, Charles Thilorier, pada tahun 1825. Es kering biasanya digunakan sebagai zat pendingin yang relatif murah. Sifat-sifat yang menyebabkannya sangat praktis adalah karbon dioksida langsung menyublim menjadi gas dan tidak meninggalkan cairan. Penggunaan lain dari es kering adalah untuk pembersihan sembur.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian Charles Thilorier maka dapat disimpulkan apabila CO2 dibekukan pada suhu -78,51° C karbon dioksida akan berbentuk padat yang disebut sebagai es kering.
Namun sangat disayangkan, dalam menangani permasalahan polusi udara (air pollution) dan perubahan iklim (climate change) saat ini diprioritaskan dengan cara pemberlakuan Carbon Trade dan Carbon Tax.
Penggunaan energi yang ramah lingkungan merupakan salah satu upaya dalam mengatasi dampak polusi udara (air pollution) dan perubahan iklim (climate change) namun memiliki keterbatasan seperti : berbiaya tinggi dan tidak semua negara dapat menerapkannnya.
Solusi yang tepat adalah dengan mengubah CO2 yang dihasilkan dari proses pembakaran maupun gas buang pada suhu tertentu (-78,51° C) menjadi padat (berbentuk es kering) sehingga dapat ditimbun dalam tanah agar kandungan air terpisah dengan kandungan carbon tanpa harus melepaskannya ke udara yang dapat menambah angka polusi udara. Hal ini tentunya didukung oleh penemuan teknologi terbaru yang dapat menyerap, memisahkan dan mengubah carbon dioxide yang dihasilkan dari proses pembakaran maupun gas buang.
ADVERTISEMENT