Konten dari Pengguna

Gambaran dan Ironi Nelayan Bawean dalam Gagasan Besar Poros Maritim Dunia

Dedi Farera Prasetya
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM)
21 Agustus 2023 19:45 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dedi Farera Prasetya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kapal-kapal nelayan di Desa Kepuhteluk dan Kepuhlegundi, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Kapal-kapal nelayan di Desa Kepuhteluk dan Kepuhlegundi, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
ADVERTISEMENT
Komitmen sebagai negara maritim sebagaimana tujuan dalam penyelenggaraan kelautan Republik Indonesia rasa-rasanya hanya retorika saja. Saya rasakan akhir-akhir ini ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa banyak distorsi dan upaya-upaya licik dalam mengeksploitasi sumber daya laut yang ada di tempat pengabdian kami, Pulau Bawean.
ADVERTISEMENT
Sektor perikanan tangkap menjadi tulang punggung perekonomian sebagian besar keluarga di sini. Tidak heran bila ikan laut, jenis apapun itu, merupakan lauk yang biasa saja di sini. Begitulah, setidaknya mereka masih memiliki ikan-ikan untuk dikonsumsi setiap harinya meskipun kehidupan nyatanya tidak semudah itu.
Nelayan secara yuridis didefinisikan sebagai setiap orang yang bermata pencaharian dengan menangkap ikan. Definisi tersebut tentunya sangat luas mengingat subjek yang ingin dilindungi oleh undang-undang juga demikian luasnya.
UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, selanjutnya disebut sebagai UU Perlindungan Nelayan, mengklasifikasikan nelayan menjadi empat kategori.
Pertama, nelayan kecil. Adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tidak atau menggunakan kapal paling besar berukuran 10 (sepuluh) gros ton (GT).
ADVERTISEMENT
Kedua, nelayan tradisional yaitu nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan perairan yang merupakan hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal. Ketiga, nelayan buruh, yakni nelayan yang bekerja atau menyediakan tenaganya untuk usaha penangkapan ikan.
Dan, keempat, nelayan pemilik. Adalah nelayan yang memiliki kapal penangkapan ikan yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan dan secara aktif melakukan penangkapan ikan, baik dalam satu unit maupun dalam jumlah kumulatif lebih dari 10 (sepuluh) GT sampai dengan 60 (enam puluh) GT yang dipergunakan dalam usaha penangkapan ikan.
Apabila dikontekstualisasikan dengan nelayan Bawean, maka terdapat beberapa kemungkinan berkaitan dengan klasifikasi berdasarkan UU a quo yakni nelayan Bawean merupakan nelayan kecil karena sebagian besar dari mereka menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kapal (klotok) yang digunakan pun berukuran kurang dari 10 (sepuluh) GT.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dapat dikatakan bahwa nelayan Bawean merupakan nelayan tradisional sebab dalam melakukan usaha penangkapan ikan mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal maupun budaya-budaya yang turun temurun dilakukan.
Nelayan Bawean dihadapkan pada situasi sulit di mana laut yang selama ini mereka andalkan sebagai sumber kehidupan perlahan mulai termakan oleh kerusakan dan keserakahan manusia. Laut yang dimaksud di sini merupakan wilayah laut yang berada di sekeliling Pulau Bawean—para nelayan biasa menyebutnya sebagai Laut Bawean.
Berdasarkan kebudayaan setempat Laut Bawean merupakan wilayah laut yang membentang sejauh 10 mil dari garis pantai ketika surut. Namun, berdasarkan hukum positif tidak ada yang membatasi teritorial laut suatu daerah.
Meskipun demikian, dalam hal pengelolaan sumber daya laut, dalam Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) mengatakan bahwa urusan kelautan dan perikanan menjadi domain dari pemerintah daerah, dalam hal ini adalah provinsi, dan bersifat opsional.
ADVERTISEMENT
Selebihnya, dalam ketentuan Pasal 14 ayat (6) UU Pemda bagi hasil kelautan dihitung sejauh 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Oleh karena itu, tidak ada kejelasan mengenai teritorial laut termasuk juga dalam hal pemanfaatan atau eksploitasi, tidak ada afirmasi secara khusus yang diberikan kepada nelayan Bawean. Artinya tidak ada ekslusivitas bagi nelayan Bawean, dengan kata lain mereka harus bersaing dengan nelayan-nelayan dari luar Pulau Bawean.
Konsep penguasaan atau hak tenurial atas kawasan pesisir dan laut belum banyak dikaji hingga saat ini. Hal ini cukup ironis mengingat banyaknya masyarakat tradisional/adat yang hidup berdampingan dengan laut atau kawasan pesisir.
Begitu pula di Bawean, sebagian besar masyarakat nelayan hidup berdampingan dengan tradisi dan budaya yang terus beradaptasi hingga kini di masa modern. Akan tetapi, penguasaan tersebut tidak bisa serta merta didapatkan sebab hak tenurial memiliki kriteria secara konseptual yang menurut Titahelu (2000: 164) harus ada.
ADVERTISEMENT
Kriteria itu di antaranya, adanya wilayah tertentu di laut yang menjadi tempat masyarakat tersebut mengambil bahan-bahan kebutuhan hidupnya, adanya kemampuan untuk mencapai tempat-tempat tersebut, dilakukan secara turun-temurun, dilakukan secara periodik, dan senantiasa dipertahankan terhadap pihak lain yang memasuki wilayah tersebut tanpa izin dari masyarakat adat tersebut.
Di samping itu, hal terpenting yang seharusnya diperhatikan adalah berkaitan dengan pengakuan masyarakat adat itu sendiri oleh pemerintah terkait. Sebab, pengakuan adalah suatu perbuatan hukum yang secara formal menegaskan status dari masyarakat itu sendiri, di mana salah satu konsekuensinya adalah penghormatan terhadap nilai-nilai adat dan budaya termasuk akses terhadap hak tenurial itu sendiri.
Dokumentasi Wawancara dengan Perwakilan Nelayan Desa Kepuhteluk, Bawean (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Determinasi yang lemah akan sumber daya alam di laut sekitar mereka membuat sebagian nelayan cukup geram. Kegeraman tersebut cukup masuk akal, sebab nelayan Bawean lambat laun tersisihkan dengan nelayan dari luar Bawean yang juga menangkap ikan di sekitar Laut Bawean.
ADVERTISEMENT
Kapal penangkap ikan dari luar Bawean didominasi oleh kapal-kapal milik industri perikanan yang berasal dari Pulau Jawa, berdasarkan informasi yang didapatkan dari perwakilan nelayan Desa Kepuhteluk, Bawean. Permasalahan terjadi ketika nelayan yang berasal dari luar Bawean secara destruktif menggunakan alat berupa cantrang dan troll berantai.
Cantrang sendiri secara eksplisit dikategorikan sebagai Alat Penangkap Ikan (API) yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan, Alat Bantu Penangkapan Ikan dan Penataan Andon serta penggunaannya dilarang oleh UU Perikanan, spesifiknya dalam Pasal 85 dengan ancaman Pidana maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal 2 (dua) miliar.
ADVERTISEMENT
Penggunaan cantrang ini sempat beberapa kali dipergoki oleh nelayan-nelayan Bawean. Sayangnya, meskipun beberapa kali melapor ternyata tidak ada hasil yang memuaskan. Bahkan beberapa kali terdapat tindakan diskriminasi dalam penegakkan hukum (blaming) yang dialami oleh Nelayan Bawean yang melapor.
Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan, mengingat kondisi Laut Bawean yang sekarang mulai rusak akibat alih fungsi serta lintas kapal pengangkut yang semakin ramai dan diperparah dengan adanya oknum nelayan yang tidak bertanggung jawab.
Perahu Nelayan (Klotok) yang dilengkapi oleh pancing milik salah satu Nelayan di Desa Kepuhteluk, Bawean (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
Sudah sepatutnya upaya penegakkan hukum melibatkan masyarakat sebagai unsur yang terlibat secara langsung di lapangan. Namun sebelum itu, sudah semestinya upaya penegakkan hukum berjalan dengan transparan dan independen.
Mendengar cerita dari beberapa nelayan di Bawean menyadarkan bahwa komitmen saja tidak cukup untuk menjamin keberlanjutan dan mimpi besar Indonesia sebagai poros maritim dunia.
ADVERTISEMENT
Konsep blue economy menuntut Indonesia untuk mengoptimalkan sumber daya laut yang dimiliki guna mendorong pertumbuhan ekonomi, konsekuensinya adalah adanya perubahan paradigma pembangunan yang semula fokus pada pembangunan di daratan menjadi pembangunan yang berfokus di lautan (sea oriented).
Konsep ini merupakan bentuk dari liberalisasi ekonomi dengan mendorong kegiatan ekstraktif dan eksploratif seperti pemanfaatan perikanan, pariwisata, dan perhubungan laut, mendorong kegiatan ekstraktif lain seperti energi laut, budidaya perairan, pertambangan bawah laut, dan bioteknologi kelautan.
Di sisi lain, gagasan tersebut semestinya dibarengi dengan upaya-upaya perlindungan terhadap masyarakat pesisir, secara khusus adalah nelayan tradisional agar tidak terjadi marjinalisasi/peminggiran terhadap mereka.
Laut bagi masyarakat Bawean atau secara spesifik nelayan Bawean bukan hanya sekadar sumber penghidupan, laut merupakan sumber kehidupan bagi mereka. Nelayan Bawean tetap menjaga tradisi yang diturunkan oleh para pendahulunya dan membuktikan bahwa mereka tetap bisa hidup dengan peralatan seadanya di tengah gempuran kapal-kapal penangkap ikan besar yang merusak laut mereka.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, perlindungan bagi nelayan tradisional dan nelayan kecil perlu ditegaskan kembali, terutama untuk nelayan tradisional yang lekat hubungannya dengan hak tenurial atas wilayah penghidupan mereka terlebih pada kawasan pesisir maupun laut. Sudah sepatutnya terdapat hak eksklusi yang melekat pada nelayan Bawean atas laut yang selama ini mereka menggantungkan hidup di atasnya.
Hak eksklusi tersebut dikonkritkan dengan dibentuknya zona tangkap ikan khusus untuk nelayan tradisional maupun nelayan kecil di Pulau Bawean serta mengatur jalur lalu lintas kapal pengangkut barang. Sesuai dengan kewenangan yang ada, upaya tersebut merupakan ranah pemerintah daerah dalam hal ini pemerintahan provinsi sebagai pemegang wewenang atas pengelolaan laut dan perikanan.
Terlepas dari semua itu, permasalahan penegakkan hukum lagi-lagi menjadi penyakit yang telah menjalar luas. Tentunya, instrumen hukum yang baik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya apabila penegakannya tidak berjalan dengan baik pula.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, keterlibatan masyarakat harus selalu digencarkan sebagai mitra terdekat dan perlu disinergikan dengan aparat yang menjunjung tinggi integritas.