Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Refleksi Hukum dan Politik terhadap Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
22 Juni 2023 6:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dedi Farera Prasetya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Revisi terakhir terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada 2019 lalu membawa banyak perubahan terhadap lembaga yang digadang-gadang sebagai anak kandung reformasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Betapa tidak? Revisi tersebut justru membawa kerancuan dan menjauhkan marwah lembaga ini (KPK) sebagai senjata ampuh dalam memerangi korupsi sebagai extraordinary crime.
Setidaknya, kerancuan itu dapat dilihat dari dua hal: Pertama, posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pada awalnya, KPK dibentuk sebagai wujud ketidakpercayaan publik terhadap Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal menangani tindak pidana korupsi.
Oleh karenanya, KPK mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki Kepolisian dan Kejaksaan yaitu independensi, di mana KPK tidak dapat diintervensi sebab tidak berada di bawah tiga ranah kekuasaan (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) hal ini cukup make sense sebab karakteristik KPK yang seharusnya tidak memiliki kepentingan kelembagaan di samping pemberantasan korupsi maupun hubungan subordinasi dengan lembaga lain.
Sayangnya, KPK yang dahulu berbeda dengan sekarang, independensi yang selama ini dijaga pada akhirnya rubuh seiring dengan masuknya KPK ke dalam ranah kekuasaan eksekutif yang artinya berada di bawah cengkeraman presiden sebagai kepala pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Kedua struktur kelembagaan dengan adanya Dewan Pengawas, tentunya hal ini merupakan implikasi ketika KPK masuk ke dalam kekuasaan eksekutif di mana Dewan Pengawas hadir sebagai organ pengawas bahkan turut mengintervensi kewenangan komisioner (terkait pemberian izin dalam hal penggeledahan, penyitaan dan/atau penyadapan).
Betapa tidak konyol ketika suatu lembaga yang seharusnya bertanggung jawab kepada presiden secara langsung justru mendapatkan pengawasan dari suatu badan yang dipilih juga oleh presiden, dengan kata lain Dewan Pengawas hanyalah perpanjangan tangan presiden yang berada di dalam organ KPK.
Setidaknya dua kerancuan ini sangat berpengaruh terhadap proses penegakkan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Kerangka hukum yang kini telah eksis menjadi UU KPK terbaru makin menyeruakkan unsur politis dan sarat dengan kepentingan penguasa.
Seperti halnya kasus Harun Masiku yang tiba-tiba lenyap ditelan bumi setelah ditetapkan sebagai Tersangka oleh KPK pada Tahun 2020 yang hingga sekarang masih menimbulkan tanda tanya besar mengapa komisi ini belum juga bisa menangkapnya.
ADVERTISEMENT
Kasus yang menyeret politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Harun Masiku (HM), terkait dengan dugaan adanya suap pergantian antar waktu anggota DPR RI 2019-2024 masih mengambang hingga saat ini, bahkan KPK belum menemukan keberadaan HM yang seakan-akan lenyap ditelan bumi.
Kecurigaan pun bermunculan dengan berbagai spekulasi yang pada intinya bermuara pada kepentingan pihak tertentu yang dirugikan akibat penangkapan HM yang mana terafiliasi dengan partai penguasa.
Melihat fakta belakangan di mana satu menteri berinisial SYL yang akan diperiksa oleh KPK terkait dugaan korupsi di dalam Kementerian Pertanian di mana sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informatika, JGS telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan base transreceiveer station (BTS) yang juga menyeret banyak pihak di dalamnya.
Bola panas bergulir di publik terkait dengan agenda sikut menyikut lawan politik dalam kabinet yang kini sudah berpecah kongsi. Entah kebetulan atau tidak, kedua menteri tersebut mendapatkan sorotan sebab sama-sama berasal dari Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang sekarang tengah mengambil jalan yang berlawanan dengan PDIP sebagai partai penguasa.
ADVERTISEMENT
Fenomena jatuhnya kedua menteri tersebut dinilai adalah sebuah pertanda dalam bahasa semiotika yang seakan-akan ingin membuktikan siapa ‘pemenang’ dalam pertarungan politik yang sudah dimulai semenjak deklarasi calon presiden yang telah dilakukan oleh kedua partai tersebut (NasDem dan PDIP).
Meskipun diulas secara singkat, kasus-kasus di atas memberikan ruang bagi masyarakat berasumsi bahwa sikap penegak hukum (Kejaksaan dan KPK) sangat kontras, di mana dalam kasus HM sama sekali tidak menampakkan keseriusannya dengan setidaknya merilis informasi terbaru terkait dengan penangkapannya yang sampai dengan saat ini tidak berhasil.
Unsur politik dalam penegakkan hukum dirasa merupakan konsekuensi logis namun tetap tidak dapat dibenarkan, menurut Lawrence M. Friedman terdapat tiga unsur penting dalam upaya penegakkan hukum yaitu:
ADVERTISEMENT
a) Legal Substance atau substansi dari hukum itu sendiri, yang dalam hal ini dikonkritkan sebagai sebuah undang-undang yang dibentuk melalui proses legislasi yang bilamana dalam prosesnya berpenyakit (koruptif).
Maka jadilah sebuah produk penyakit seperti halnya dalam revisi UU KPK 2019 yang justru mendowngrade upaya pemberantasan korupsi di Indonesia;
b) Legal Structure hal ini berkaitan dengan institusi atau aparat penegak hukumnya (APH), sebagaimana kaki dan tangan yang meneruskan perintah dari otak berkaitan dengan gerak motorik manusia, APH juga demikian dengan atribusi wewenang yang dimilikinya.
Begitu pula KPK yang juga menjalankan wewenang berdasarkan atribusi oleh undang-undang sebagaimana mestinya dalam UU KPK yang mana dari awal substansinya telah bermasalah. Sebagaimana telah diuraikan di awal rawan sekali KPK dirasuki oleh berbagai kepentingan yang kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi;
ADVERTISEMENT
c) Legal Culture atau budaya hukum yang amat sangat berkaitan dengan penerimaan atau tertib hukum yang ada di kalangan akar rumput (masyarakat).
Perilaku sosial masyarakat yang belum sepenuhnya mencerminkan penolakan terhadap perilaku korupsi terlebih dalam suatu proses politik seperti halnya pemilu.
Hal tersebut dapat dilihat dengan tingginya angka persentase pewajaran politik uang di dalam masyarakat, menurut Charta Politika, yang mencapai 45,6 persen di tahun 2019.
Pada akhirnya penegakkan hukum tindak pidana korupsi harus dimulai dari perbaikan substansi UU KPK dengan mengembalikan marwah KPK sebagai lembaga negara independen yakni menjauhkan campur tangan penguasa terhadap fungsi dan kewenangan KPK, termasuk menghapuskan Dewan Pengawas di dalam internal KPK.
Selain itu, perbaikan institusi juga perlu dilakukan melalui penyeleksian yang fair terhadap semua anggota institusi terlebih Dewan Komisioner tanpa melibatkan kepentingan-kepentingan politik di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Terakhir adalah upaya preventif yakni pengedukasian terhadap masyarakat terkait perilaku koruptif termasuk dalam hal politik uang. Faktor politik dalam suatu proses penegakkan hukum merupakan konsekuensi yang logis.
Tetapi, sudah seharusnya unsur-unsur politik dijauhkan untuk menjaga netralitas dan mencegah penyalahgunaan penegakkan hukum sebagai alat politik penguasa.