Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Politik Adat, IKN, dan Adu Penalaran
20 Agustus 2023 20:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Affan Ramli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Panglima Jilah dan Panglima Pajaji belakangan menyita perhatian publik Indonesia . Setelah kedua panglima masyarakat adat Dayak itu berseteru di media massa tentang pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
ADVERTISEMENT
Jilah mendukung kebijakan pemerintah membangun IKN di Kalimantan Timur. Sebaliknya, Pajaji membela kritikan Rocky Gerung terhadap kebijakan itu berisiko merusak hutan Kalimantan sebagai paru-paru dunia.
Majelis Adat Dayak Nasional dan Dewan Adat Dayak se-Indonesia juga ikut bersuara. Kedua wadah adat ini memihak kebijakan IKN. Dari arah berseberangan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur menilai pembangunan IKN dilakukan dengan mengabaikan suara masyarakat adat setempat.
Menurut AMAN, setidaknya terdapat 21 satuan masyarakat adat di kawasan IKN. Sialnya, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat yang dijamin oleh UUD 1945, tidak diikuti oleh Undang-undang IKN tahun 2022.
Pun demikian, hal ini tidak terlalu mengherankan. Mengingat cara pandang pemerintah terhadap masyarakat adat sejak awal kemerdekaan hingga kini, masih sama dengan cara kolonial Belanda melihat adat.
ADVERTISEMENT
Intinya, adat dapat diakui negara tapi dengan syarat. Selama tidak mengganggu kepentingan negara yang dihitung berdasarkan kepentingan oligarkhi.
Dalam beberapa kasus ditemukan malah kolonial lebih maju. Ambil contoh, kasus Suku Anak Dalam Batin Sembilan yang wilayah adatnya sudah diakui Belanda pada tahun 1940, kemudian dibatalkan oleh pemerintah atas nama pembangunan (M.Rizki Maulana, 2013).
Juga pengakuan rezim kolonial terhadap hutan ulayat 26 rimba larangan dan padang gembala ternak Suku Talang Mamak pada tahun 1919. Setelah merdeka, hutan ulayat itu malah diserahkan kepada kompeni untuk konsesi perkebunan kelapa sawit (Sukirno, 2019).
Di permukaan, tampaknya selalu ada gesekan antara kepentingan negara dan komunitas adat dalam perebutan ruang, wilayah, dan sumberdaya kehidupan. Kondisi ini tidak hanya dialami Indonesia. Perserteruan lebih ganas pernah terjadi di Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan kawasan Amerika Latin.
ADVERTISEMENT
Gesekan yang tampak di permukaan hanyalah perebutan ruang kehidupan. Kalau didalami lagi, perselisihan antara pemerintah dan komunitas adat berakar pada pertentangan penalaran paling mendasar.
Perselisihan terkait kebijakan IKN misalnya, tidak bersifat dangkal sekadar perebutan ruang hidup. Lebih dari itu, menukik pada konflik cara penalaran antara akumulasi kapitalisme yang dianut negara dan konservasi penghidupan berkelanjutan yang dianut komunitas adat setempat.
Setelah melalui penelitian panjang selama beberapa tahun, saya menemukan lima nalar dasar adat dalam mengelola sumberdaya penghidupan. Pertama, kolektivisme. Di mana sumberdaya penghidupan dikelola dengan cara memastikan seluruh warga adat (adatizen) mampu memenuhi kebutuhan dan kesejahteraannya.
Kedua, persandingan, bukan persaingan atau pertandingan (kompetisi). Ketiga, perdamaian. Dalam menyelesaikan sengketa-sengketa warga, prosesnya didorong untuk mencapai pola menang-menang, bukan kalah-menang. Pola menang-menang akan merawat perdamaian dan persaudaraan.
ADVERTISEMENT
Keempat, penghidupan berkelanjutan. Kebijakan pembangunan tidak boleh meningkatkan risiko bencana di masa kini dan di masa depan. Kelima, kerohanian (spiritualisme). Warga adat melihat segala sesuatu di dunia sosial dan di alam semesta memiliki jiwa-batin bernilai lebih dari sekadar faktor-faktor ekonomi.
Lima nalar dasar adat itu berhadap-hadapan langsung dengan penalaran pembangunan yang dipromosikan pemerintahan . Pertama, individualisme. Kebebasan individu yang berakhir pada cerita privatisasi (swastanisasi) sektor-sektor sumberdaya alam terkait hajat hidup orang banyak. Kedua, persaingan dan pertandingan (kompetisi) tanpa batas.
Ketiga, ketamakan. Mengejar akumulasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa batas, meski merusak alam dan melakukan penghisapan (eksploitasi) sesama manusia. Lalu kelima, materialisme. Dalam makna, melihat manusia dan alam semesta sebagai aset-aset ekonomi belaka.
ADVERTISEMENT
Di negara-negara penganut sosial demokrasi seperti kawasan Skandinavia, dua model penalaran itu berhasil dikompromikan. Ditemukan titik tengahnya. Akumulasi kekayaan individu para pemilik perusahaan-perusahaan privat harus berakhir pada cerita distribusi kesejahteraan untuk semua warga.
Sementara di negara-negara kawasan Amerika Latin, penalaran dan kekuatan adat disatukan dengan gerakan sosialisme (kiri) menghadapi neo-liberalisme (kanan). Keduanya, kiri plus adat dan kanan neolib berebut tafsir atas kepentingan nasional. Kontestasinya masih berlansung seru dan berimbang hingga sekarang.
Di Indonesia, penalaran adat hendak dilenyapkan. Tafsir atas kepentingan nasional sepenuhnya dikuasai penalaran kapitalisme kaum oligarki. Tidak ada satu pun partai politik yang memandang penting penalaran adat setelah kekalahan komunisme, sosialisme, dan sosial demokrasi di Indonesia.
Padahal adat adalah satu-satunya batin kebudayaan asli nusantara yang mengikat Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Meskipun ritual-ritual, aturan-aturan, dan lembaga-lembaga adat terlihat berbeda nama dan bentuk-bentuknya, tetapi dapat dipastikan penalaran di belakang adat rakyat nusantara semuanya sama atau serupa.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, sejak Orde Baru hingga era pemerintahan hasil reformasi, konsep kepentingan nasional sepenuh-penuhnya dikuasai penalaran pembangunanisme yang berakar pada doktrin kapitalisme. Tidak banyak ruang yang tersisa untuk penalaran adat, kecuali di desa-desa, marga-marga, kampung-kampung, nagari-nagari atau nama lain dari satuan tempat terhimpunnya adatizen (warga adat).
Kondisi ini diperparah oleh dua kedunguan dalam publikasi narasi adat di Indonesia. Pertama, kedunguan narasi adat yang dikembangkan sebagian besar akademisi dan pengelola negara. Kedua, kedunguan narasi adat yang dikembangkan kelompok bangsawan lama para pewaris kerajaan-kerajaan kecil di berbagai pelosok Indonesia.
Mereka mengira adat itu adalah kebiasaan turun temurun masyarakat nusantara atau hukum berdasarkan kebiasaan yang tak tertulis (tak terkodifikasi). Sesuai definisi adat versi sarjana kolonial tempo dulu. Faktanya, kitab adat Aceh sudah dikodifikasi pada abad 17.
ADVERTISEMENT
Mereka juga menilai adat hanya sesuai untuk budaya masyarakat pra-modern, pra industri, dan masyarakat pendalaman. Tidak cocok lagi dengan masyarakat kota, era modern dan tatanan demokrasi. Faktanya, adat masyarakat Mauri Selandia Baru cocok untuk tatanan demokrasi modern.
Anehnya, pemerintah ngotot menggunakan istilah masyarakat hukum adat (MHA), bukan masyarakat adat. Karena mengekor pada sejarah perdebatan ilmiah di kalangan sarjana kolonial dulu yang membahas adat pada aspek hukumnya saja. Sebuah perdebatan yang dimenangkan oleh Van Vollenhoven, peletak teori adatrecht (hukum adat).
Tak mampukah akademisi kita melakukan dekolonialisasi tafsir adat?
Macetnya studi-studi sosial di Indonesia dalam membongkar penalaran adat dan gagalnya para ilmuan menteoritisasikan pengalaman dua ribu lebih komunitas adat nusantara menyebabkan narasi adat terpinggirkan dari diskursus percakapan kebijakan publik kita.
ADVERTISEMENT
Dari waktu ke waktu, narasi adat rakyat pelan-pelan digeser ke narasi adat ningrat. Berupa ritual-ritual upacara adat bersifat seremonial. Dengan cara seperti ini, adat kehilangan relevansinya bagi publik Indonesia.
Tugas terpenting saat ini adalah mendekolonialisasi kajian atas adat, merasakan keagungan penalaran adat, dan mengubahnya menjadi pemikiran politik kontemporer.
Hanya dengan cara seperti itu, kita dapat membandingkan Panglima Jilah dan Panglima Pajaji, mana dari pandangan politik mereka yang datang dari gagasan otentik adat?