Konten dari Pengguna

Ketika Agama Datang dan Pergi: Membaca Identitas Pribumi dalam Rantai DNA

Defrida Suzana
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan
6 April 2025 9:00 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Defrida Suzana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perjalanan Laut dan Mitologi. Foto : Derrida Suzana
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perjalanan Laut dan Mitologi. Foto : Derrida Suzana
ADVERTISEMENT
Perdebatan mengenai siapa yang dapat dikategorikan sebagai pribumi dan pendatang di Nusantara telah berlangsung sejak lama dalam wacana politik dan sosial Indonesia. Seringkali, kategorisasi ini didasarkan pada faktor-faktor yang bersifat kultural seperti agama dan kepercayaan. Namun, pendekatan ini mengabaikan aspek fundamental yang lebih bersifat biologis dan genealogis. Kali ini kita akan mengeksplorasi perspektif alternatif yang melihat konsep pribumi dan pendatang sebagai sesuatu yang terkait dengan garis keturunan dan identitas genetik, bukan sekadar identitas agama yang dapat berubah.
ADVERTISEMENT
Dalam kajian antropologi biologis dan genetika populasi, identitas pribumi (indigenous) dikaitkan dengan kelompok manusia yang telah mendiami suatu wilayah geografis sejak masa prasejarah, jauh sebelum terbentuknya negara modern. Dr. Stephen Oppenheimer, pakar genetika dari Oxford University, dalam bukunya "Eden in the East" (1998), menjelaskan bahwa penentuan status pribumi seharusnya didasarkan pada kronologi kedatangan dan jejak genetik yang dapat dilacak melalui DNA, bukan pada identitas kultural yang dapat berubah seperti agama atau bahasa.
"Kita dapat melacak jejak migrasi manusia melalui penanda genetik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ini adalah identitas yang tidak dapat diubah, tidak seperti agama atau bahasa yang dapat diadopsi atau ditinggalkan," tulis Oppenheimer (Oppenheimer, 1998).
ADVERTISEMENT
Agama dan kepercayaan, sebagai konstruksi sosial-budaya, memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan identitas genetik. Ketika seseorang dilahirkan, ia membawa serta warisan genetik dari leluhurnya yang tidak dapat diubah. Sebaliknya, agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang dapat diadopsi, ditinggalkan, atau bahkan dimodifikasi sepanjang hidup seseorang. Dr. Siti Musdah Mulia, seorang peneliti dan pemikir Islam dari Indonesia, mengemukakan bahwa "Identitas keagamaan seseorang dapat berubah melalui konversi, sinkretisme, atau bahkan keputusan pribadi untuk tidak beragama, sementara jejak genetik leluhur akan tetap melekat dalam dirinya" (Mulia, 2017).
Perspektif historis menunjukkan bahwa agama-agama besar yang ada di Indonesia saat ini seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha adalah produk dari proses difusi budaya yang relatif baru jika dibandingkan dengan keberadaan manusia di Nusantara yang sudah berlangsung puluhan ribu tahun. Profesor Koentjaraningrat, antropolog terkemuka Indonesia, dalam karya monumentalnya "Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan" (1994) menjelaskan bahwa kepercayaan-kepercayaan animisme dan dinamisme justru merupakan lapisan kultural yang lebih tua dibandingkan agama-agama formal yang saat ini mendominasi. Dengan demikian, menggunakan agama sebagai penanda status pribumi akan menghasilkan kesimpulan historis yang paradoksal dan tidak akurat.
ADVERTISEMENT
Penggunaan agama sebagai penanda status pribumi juga mengandung potensi bias dan politisasi identitas yang berbahaya. Dr. Yudi Latif, peneliti dan pemikir Indonesia, dalam bukunya "Negara Paripurna" (2011) mengingatkan bahwa "politisasi identitas keagamaan dalam konteks kewarganegaraan dapat menciptakan kategori-kategori artifisial yang memecah belah dan merusak kohesi sosial." Pendekatan ini dapat dengan mudah disalahgunakan untuk legitimasi diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu berdasarkan keyakinan mereka, bukan berdasarkan sejarah genetik dan genealogis mereka di suatu wilayah.
Kasus-kasus empiris di berbagai belahan dunia memperkuat argumen bahwa agama bukan indikator yang tepat untuk status pribumi. Suku Toba Batak di Sumatera Utara, misalnya, telah mengadopsi Kristen secara luas sejak abad ke-19, namun tetap diakui sebagai penduduk pribumi wilayah tersebut. Demikian pula, suku Bugis-Makassar yang mayoritas memeluk Islam tetap merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan meskipun keyakinan Islam mereka diadopsi jauh setelah keberadaan leluhur mereka di wilayah tersebut. Dr. Fadjar I. Thufail dari LIPI dalam studinya tentang politik identitas di Indonesia menyimpulkan bahwa "Jika agama dijadikan penanda status pribumi, maka hampir tidak ada kelompok etnis di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai pribumi, karena semua agama besar adalah produk dari kontak budaya yang relatif baru" (Thufail, 2016).
ADVERTISEMENT
Bukti genetik yang dikumpulkan oleh para ilmuwan seperti Dr. Herawati Sudoyo dan timnya dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (sekarang bagian dari BRIN) menunjukkan kesinambungan genetik yang jelas antara populasi prasejarah dengan populasi modern di berbagai wilayah Indonesia. "Penelitian DNA mitokondria dan kromosom Y menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia modern memiliki garis keturunan yang dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang, jauh sebelum munculnya identitas keagamaan yang ada saat ini," jelas Dr. Sudoyo dalam seminar nasional genetika populasi Indonesia (Sudoyo, 2015).
Wilayah Nusantara telah dihuni oleh berbagai gelombang migrasi manusia selama puluhan ribu tahun. Bukti genetik dan arkeologis menunjukkan bahwa gelombang pertama penghunian Nusantara terjadi sekitar 70.000-50.000 tahun lalu ketika manusia anatomis modern (Homo sapiens) mulai menyebar dari Afrika. Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature oleh Dr. Murray Cox dan tim (2016), kelompok pertama ini memasuki wilayah Sundaland (daratan yang kini sebagian besar terendam di bawah Laut Jawa dan Selat Malaka) melalui jalur Asia Selatan.
ADVERTISEMENT
Sekitar 4.500-3.000 tahun lalu, terjadi gelombang migrasi besar dari Taiwan ke selatan yang membawa serta teknologi pertanian padi, bahasa Proto-Austronesia, dan budaya megalitik. Penelitian Dr. J. Stephen Lansing dari University of Singapore menunjukkan bahwa migrasi Austronesia ini menyebar ke hampir seluruh Nusantara dan membentuk dasar genetik sebagian besar penduduk Indonesia modern (Lansing et al., 2011).
Sejak awal masehi hingga abad ke-15, terjadi kontak intensif dengan peradaban India yang membawa pengaruh Hindu-Buddha ke Nusantara. Dr. Daud Ali, sejarawan dari University of Pennsylvania, menegaskan bahwa ini lebih merupakan proses transmisi budaya daripada migrasi populasi besar-besaran. "Yang terjadi adalah adopsi elemen-elemen budaya dan agama India oleh elit lokal Nusantara, bukan perpindahan massal populasi dari India" (Ali, 2011). Analisis DNA yang dilakukan oleh tim peneliti internasional pimpinan Dr. Mark Stoneking dari Max Planck Institute menunjukkan bahwa pengaruh genetik dari India ke populasi Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan transmisi budayanya yang masif (Stoneking et al., 2013).
ADVERTISEMENT
Kontak dengan Tiongkok telah berlangsung sejak awal masehi, namun migrasi signifikan baru terjadi pada masa-masa berikutnya, terutama selama periode Dinasti Ming dan Qing. Profesor Leonard Blussé dari Universitas Leiden dalam karyanya "Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia" (1986) menjelaskan bahwa migrasi Tionghoa ke Nusantara terjadi dalam beberapa gelombang berbeda, dengan pengaruh genetik yang terbatas pada wilayah-wilayah tertentu tanpa mengubah komposisi genetik mayoritas penduduk kepulauan.
Proses masuknya Islam ke Nusantara yang berlangsung sejak abad ke-13 hingga ke-18 melalui jaringan perdagangan maritim menambah keragaman budaya, namun bukti genetik menunjukkan bahwa Islamisasi di Nusantara adalah proses adaptasi kultural dan intelektual, bukan demografis. Profesor Azyumardi Azra, sejarawan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam bukunya "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII" (2004) menekankan bahwa "Islamisasi di Nusantara adalah proses kompleks yang melibatkan adaptasi dan negosiasi budaya lokal dengan ajaran Islam, bukan penggantian populasi." Penelitian genetika oleh Dr. Tatiana Karafet dari University of Arizona memperkuat pandangan ini dengan temuan bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak disertai dengan perubahan signifikan pada struktur genetik populasi (Karafet et al., 2010).
ADVERTISEMENT
Menggunakan agama sebagai penanda status pribumi juga mengabaikan realitas bahwa banyak kelompok masyarakat Indonesia mengalami perubahan keyakinan keagamaan sepanjang sejarah mereka. Masyarakat Ambon, misalnya, beralih dari kepercayaan lokal ke Katolik di bawah pengaruh Portugis, kemudian banyak yang beralih ke Protestan di bawah pengaruh Belanda, dan sebagian lainnya memeluk Islam. Namun, identitas genetik mereka sebagai penduduk Kepulauan Maluku tetap tidak berubah terlepas dari perubahan keagamaan tersebut. Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan dari LIPI, menjelaskan bahwa "Konversi keagamaan adalah fenomena kultural yang umum terjadi sepanjang sejarah Indonesia, sementara identitas genetik dan keterikatan teritorial tetap menjadi penanda yang lebih stabil untuk identitas pribumi" (Adam, 2018).
Perspektif genetik dan genealogis dalam memahami konsep pribumi juga didukung oleh standar internasional seperti yang tercantum dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Dokumen ini menekankan hubungan historis antara masyarakat adat dengan tanah leluhur mereka, tanpa mengaitkannya dengan identitas keagamaan tertentu. Professor James Anaya, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, menyatakan bahwa "Definisi masyarakat adat dalam kerangka hukum internasional menekankan kontinuitas historis dengan masyarakat pra-kolonial dan keterikatan dengan wilayah, bukan pada identitas keagamaan" (Anaya, 2009).
ADVERTISEMENT
Kelemahan fundamental penggunaan agama sebagai penanda status pribumi juga terletak pada sifatnya yang tidak melekat secara biologis. Dr. Lembong Tahwil, peneliti genetika populasi, menjelaskan bahwa "Identitas genetik adalah sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi dan tidak dapat diubah, sementara identitas keagamaan adalah pilihan yang dapat berubah sepanjang hayat seseorang" (Tahwil, 2019). Pandangan ini diperkuat oleh Dr. Sangkot Marzuki, mantan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang menyatakan bahwa "Dari perspektif ilmiah, konsep pribumi haruslah didasarkan pada kontinuitas genetik dan historiografi yang dapat diverifikasi, bukan pada atribut kultural yang bisa berubah seperti agama" (Marzuki, 2014).
Agama dan kepercayaan, sebagai identitas kultural, memiliki dimensi sosial-politik yang kompleks dan sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kontrol individu. Dr. Melissa Crouch, peneliti hukum dan politik dari University of New South Wales, menjelaskan bahwa "Identitas keagamaan sering kali dibentuk oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi, serta dapat berubah karena berbagai alasan termasuk pernikahan, tekanan sosial, atau pencarian spiritual pribadi" (Crouch, 2016). Dengan demikian, agama tidak dapat diandalkan sebagai penanda yang stabil untuk menentukan status pribumi yang seharusnya bersifat lebih permanen dan terkait dengan sejarah genetik dan teritorial.
ADVERTISEMENT
Pandangan yang melihat status pribumi dari perspektif genetik dan genealogis juga mendapat dukungan dari ahli antropologi fisik seperti Dr. Sofwan Noerwidi dari Balai Arkeologi Yogyakarta. Dalam penelitiannya tentang populasi kuno di Jawa, Noerwidi menyimpulkan bahwa "Kajian bioarkeologi menunjukkan adanya kontinuitas biologis dari populasi prasejarah hingga populasi modern di banyak wilayah Indonesia, yang memberikan basis ilmiah untuk konsep pribumi berbasis genetik" (Noerwidi, 2017). Temuan ini memperkuat argumen bahwa garis keturunan dan warisan genetik, bukan identitas keagamaan, merupakan penanda yang lebih tepat untuk status pribumi.
Berdasarkan perspektif genetik dan genealogis, konsep pribumi dan pendatang memang lebih tepat jika dikaitkan dengan kronologi kedatangan dan jejak genetik yang dapat dilacak, bukan pada identitas kultural yang dapat berubah seperti agama atau kepercayaan. Memahami sejarah genetik dan migrasi di Nusantara dapat memberikan landasan yang lebih objektif dalam mendiskusikan isu-isu identitas dan kewarganegaraan. Pendekatan ini memungkinkan penghargaan terhadap keragaman genetik dan kultural yang telah membentuk Indonesia, sekaligus menghindari politisasi identitas yang sering kali didasarkan pada faktor-faktor yang tidak fundamental seperti agama atau kepercayaan yang diadopsi. Dengan demikian, diskusi tentang siapa pribumi dan siapa pendatang seharusnya didasarkan pada bukti ilmiah tentang kronologi dan kontinuitas kehadiran di suatu wilayah, bukan pada faktor-faktor kultural yang dapat berubah seiring waktu.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Adam, A. W. (2018). Perubahan Identitas Keagamaan dalam Sejarah Indonesia. Jurnal Sejarah Indonesia, 9(2), 134-152.
Ali, D. (2011). The Early Inscriptions of Indonesia and the Problem of the Sanskrit Cosmopolis. Oxford University Press.
Anaya, J. (2009). Indigenous Peoples in International Law. Oxford University Press.
Azra, A. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Kencana.
Bellwood, P. (2007). Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Australian National University Press.
Blussé, L. (1986). Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia. Foris Publications.
Cox, M., et al. (2016). "Genetic History of Indigenous Populations of Indonesia." Nature, 538, 201-205.
ADVERTISEMENT
Crouch, M. (2016). Religious Identity and Political Contestation in Southeast Asia. Cambridge University Press.
Karafet, T., et al. (2010). "Major East-West Division Underlies Y Chromosome Stratification across Indonesia." Molecular Biology and Evolution, 27(8), 1833-1844.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama.
Lansing, J. S., et al. (2011). "An Ongoing Austronesian Expansion in Island Southeast Asia." Journal of Anthropological Archaeology, 30(3), 262-272.
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna. Gramedia Pustaka Utama.
Marzuki, S. (2014). "Genetika dan Identitas Nasional Indonesia." Pidato Ilmiah pada Dies Natalis LIPI ke-45, Jakarta.
Mulia, S. M. (2017). Agama dan Identitas: Kajian Interdisipliner. Paramadina Press.
Noerwidi, S. (2017). "Aspek Biokultural Populasi Prasejarah dan Modern di Indonesia." Berkala Arkeologi, 37(1), 59-72.
ADVERTISEMENT
Oppenheimer, S. (1998). Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia. Weidenfeld & Nicolson.
Pontikos, D. (2019). Genetic Origins and Modern Identity. Cambridge Scholars Publishing.
Stoneking, M., et al. (2013). "Genomic Insights into the Population Structure of the People of India." Proceedings of the National Academy of Sciences, 110(15), 6022-6027.
Sudoyo, H. (2015). "Genetic Diversity and History of Indonesian Populations." Wawancara pada Seminar Nasional Genetika Populasi Indonesia, Jakarta.
Tahwil, L. (2019). "Identitas Genetik dan Implikasinya untuk Konsep Kewarganegaraan." Jurnal Antropologi Indonesia, 40(1), 23-36.
Thufail, F. I. (2016). Politik Identitas dan Representasi Keagamaan di Indonesia. LIPI Press.