Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
When Research Gives Us Tangerines : Antara Orang Utan, Meijaard, dan Saya
8 April 2025 13:37 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Defrida Suzana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kebijakan pelarangan peneliti asing untuk memasuki kawasan Taman Nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memunculkan persoalan fundamental terkait hubungan antara dunia akademik dan kebijakan pemerintah. Ketika Menteri KLHK Siti Nurbaya memberlakukan larangan terhadap Erik Meijaard dan tim penelitinya pada tahun 2022 dengan alasan publikasi mereka "mendiskreditkan pemerintah Indonesia," sebuah preseden yang mengkhawatirkan telah terbentuk dalam lanskap penelitian dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang akademisi, saya awalnya tidak terlalu memperhatikan kebijakan tersebut. Namun, pengalaman saya sebagai mahasiswa memberikan perspektif baru yang mengejutkan. Dalam proses penelitian, saya menemukan fakta bahwa hampir 60 persen literatur yang relevan dengan topik penelitian saya justru berasal dari peneliti asing atau mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri, terutama di Australia dan Belanda. Penelitian saya yang berfokus pada aspek budaya Indonesia yang jarang dikaji menghadapi keterbatasan referensi dari peneliti lokal. Ironisnya, ketika saya menggunakan kata kunci dalam bahasa Inggris dan Belanda, mesin pencari menyajikan melimpahnya literatur terkait budaya tersebut yang ditulis oleh peneliti asing.
Fenomena ini memunculkan refleksi kritis yakni pengetahuan tentang Indonesia justru lebih banyak dihasilkan oleh peneliti luar negeri. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang ekosistem penelitian di Indonesia dan bagaimana kita sebagai bangsa memproduksi pengetahuan tentang diri kita sendiri. Mengapa peneliti asing tampaknya lebih produktif dalam menghasilkan kajian tentang Indonesia dibandingkan peneliti lokal?
ADVERTISEMENT
Pengalaman ini mengingatkan saya pada penelitian sepupu saya mengenai resiliensi rumah tangga masyarakat desa selama dan pascapandemi COVID-19 yang didanai institusi pendidikan luar negeri. Saat itu saya mempertanyakan fokus penelitian pada masyarakat desa dan ibu rumah tangga daripada masyarakat perkotaan. Namun, setelah bergabung dengan Fakultas Keamanan Nasional, pemahaman saya berkembang. Saya menyadari bahwa kita sering terlalu percaya diri dalam menghadapi fenomena tertentu dan cenderung menganggap remeh aspek yang tampak kuat di permukaan.
Peneliti asing sering memiliki sensitivitas untuk melihat kerentanan dari suatu kekuatan dengan perspektif berbeda, bukan untuk tujuan negatif seperti yang kerap dituduhkan oleh kalangan yang defensif dalam urusan keamanan nasional, melainkan untuk mengidentifikasi peluang kerja sama atau potensi pengembangan. Perspektif eksternal ini justru dapat melengkapi pemahaman kita tentang kondisi sosial-budaya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, kebijakan pelarangan peneliti asing oleh KLHK menciptakan persepsi yang kontraproduktif bahwa pemerintah Indonesia tidak mampu menanggapi temuan akademik dalam kerangka akademik pula. Hal ini berpotensi mendegradasi kredibilitas peneliti Indonesia di kancah internasional. Bagaimana mungkin diskursus akademik dihadapi dengan pendekatan politik? Ini mencerminkan ketidakselarasan yang tidak tepat untuk ditampilkan kepada komunitas ilmiah global.
Pelarangan Meijaard dan timnya perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas tentang produksi pengetahuan dan kedaulatan intelektual. Menurut Wiratmadinata (2021), negara berkembang seperti Indonesia sering menghadapi dilema antara keterbukaan terhadap kolaborasi internasional dan keinginan untuk melindungi kepentingan nasional. Namun, ia berpendapat bahwa pendekatan isolasionis terhadap penelitian justru dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan domestik dan kapasitas inovasi nasional.
ADVERTISEMENT
Kajian komprehensif oleh Hadiwinata (2022) mengungkapkan bahwa publikasi ilmiah internasional tentang Indonesia masih didominasi oleh peneliti dari negara-negara maju, dengan kontribusi peneliti Indonesia sendiri hanya berkisar antara 25-30%. Kesenjangan ini, menurutnya, bukan semata-mata karena kurangnya kapasitas intelektual, melainkan lebih disebabkan oleh persoalan struktural dalam ekosistem penelitian nasional. Dukungan pendanaan yang terbatas, infrastruktur penelitian yang belum memadai, dan beban administratif yang tinggi menjadi faktor penghambat produktivitas peneliti Indonesia.
Dalam penelitiannya tentang kolaborasi ilmiah internasional, Widiastuti dan Rahman (2023) menemukan bahwa peneliti Indonesia yang berkolaborasi dengan mitra internasional cenderung menghasilkan publikasi dengan dampak lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan secara mandiri. Ini menunjukkan bahwa alih-alih membatasi, kolaborasi dengan peneliti asing justru dapat meningkatkan kualitas dan visibilitas penelitian Indonesia di kancah global.
ADVERTISEMENT
Sikap "anti-asing" yang selektif dalam konteks penelitian juga menunjukkan inkonsistensi kebijakan yang lebih luas. Ketika berbicara soal sosial dan edukasi untuk pemberdayaan sumber daya manusia, kita diarahkan untuk skeptis terhadap LSM atau NGO asing. Namun, ketika berurusan dengan investasi asing yang mengeksplorasi sumber daya alam Indonesia, pemerintah justru tampil sebagai promotor utama. Dualisme ini, menurut analisis Pramudyawardhani (2022), mencerminkan ambivalensi dalam hubungan Indonesia dengan dunia internasional, di mana keterbukaan ekonomi tidak selalu sejalan dengan keterbukaan intelektual.
Kasus Meijaard khususnya menyoroti aspek khusus dari dinamika ini. Penelitiannya tentang orang utan dan habitat hutan mereka di Indonesia, khususnya publikasi yang mengkritisi kebijakan perlindungan satwa langka dan pengelolaan hutan, memang mengandung kritik terhadap aspek tertentu dari pendekatan pemerintah. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Sutherland dan Purnomo (2023), kritik akademis seharusnya dipandang sebagai kontribusi dalam diskursus tentang kebijakan publik, bukan sebagai serangan terhadap kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
Gaveau et al. (2021) dalam penelitiannya tentang deforestasi di Kalimantan menyediakan data empiris yang menunjukkan kompleksitas tantangan konservasi yang dihadapi Indonesia. Temuan mereka mengenai laju deforestasi dan hubungannya dengan ekspansi perkebunan industri memang kontroversial, tetapi data tersebut seharusnya menjadi bahan pertimbangan berharga bagi perumusan kebijakan yang lebih efektif, bukan ditolak hanya karena memberikan gambaran yang kurang menyenangkan.
Perspektif historis juga penting dalam memahami isu ini. Sejarah produksi pengetahuan tentang Indonesia memang tidak bisa dipisahkan dari kontribusi peneliti asing. Sejak era kolonial, peneliti seperti Snouck Hurgronje, meskipun dengan motivasi yang dapat diperdebatkan, telah menghasilkan dokumentasi berharga tentang budaya dan masyarakat Indonesia. Di era pascakemerdekaan, peneliti seperti Clifford Geertz memberikan kontribusi signifikan dalam memahami dinamika sosial-budaya Indonesia. Namun, sebagaimana dicatat oleh Farid (2020), kita perlu mengembangkan pendekatan kritis terhadap tradisi ini, tidak dengan menolaknya secara total, melainkan dengan mengembangkan perspektif yang lebih berimbang dan kontekstual.
ADVERTISEMENT
Sikap kritis terhadap penelitian asing memang diperlukan, terutama untuk memastikan bahwa penelitian tersebut menghormati kedaulatan nasional dan kepentingan masyarakat Indonesia. Namun, sikap kritis ini perlu dibedakan dari penolakan kategoris yang didasarkan pada sentimen nasionalistik semata. Widodo (2022) mengemukakan perlunya "nasionalisme metodologis" dalam penelitian, yaitu pendekatan yang mengakui perspektif lokal dan kepentingan nasional, tetapi tetap terbuka terhadap dialog intelektual global.
Dalam konteks pengelolaan lingkungan dan konservasi, penelitian kolaboratif internasional justru dapat memberikan manfaat signifikan. Studi Santosa et al. (2023) menunjukkan bahwa kolaborasi internasional dalam penelitian konservasi di Indonesia telah membantu meningkatkan kapasitas teknis, memperluas jaringan, dan memobilisasi dukungan untuk inisiatif konservasi lokal. Mereka berargumen bahwa alih-alih membatasi penelitian asing, Indonesia perlu mengembangkan kerangka kerja yang memastikan bahwa penelitian tersebut memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lovy (2023) menyoroti bahwa prinsip "sains terbuka" (open science) semakin menjadi norma global dalam komunitas ilmiah. Pendekatan ini menekankan transparansi, reproduktibilitas, dan aksesibilitas dalam proses penelitian ilmiah. Indonesia, sebagai bagian dari komunitas global, perlu memosisikan diri dalam lanskap ini dengan cara yang selaras dengan kepentingan nasional tetapi juga mendukung kemajuan ilmu pengetahuan global.
Alih-alih membatasi akses peneliti asing, Indonesia dapat mengembangkan mekanisme yang lebih konstruktif untuk mengelola aktivitas penelitian asing di wilayahnya. Sulistyowati (2022) mengusulkan pendekatan "kolaborasi terpimpin" (guided collaboration), yaitu peneliti asing didorong untuk bermitra dengan institusi lokal dalam kerangka prioritas penelitian nasional. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan manfaat dari keahlian dan sumber daya internasional, sekaligus memastikan bahwa penelitian tersebut sejalan dengan kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Kasus Meijaard juga memunculkan pertanyaan tentang kebebasan akademik dan batas-batasnya. Menurut Hadiz dan Dhakidae (2023), kebebasan akademik merupakan prasyarat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga perlu dipahami dalam konteks sosial-politik di mana penelitian dilakukan. Mereka berargumen bahwa negara memang memiliki kepentingan legitimate untuk mengatur aktivitas penelitian, tetapi regulasi tersebut seharusnya bertujuan untuk memastikan integritas dan manfaat penelitian, bukan untuk membungkam kritik atau membatasi pertukaran ide.
Pengalaman negara lain dalam mengelola penelitian asing juga dapat memberikan pelajaran berharga. Brasil, misalnya, menghadapi tantangan serupa dalam mengelola penelitian di kawasan Amazon. Alih-alih membatasi penelitian asing secara keseluruhan, Brasil mengembangkan sistem perizinan yang komprehensif dan transparan, yang memastikan bahwa penelitian asing memberikan manfaat bagi komunitas lokal dan berkontribusi pada pengembangan kapasitas penelitian domestik (Ferreira et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Secara kelembagaan, Indonesia perlu meninjau kembali kebijakan perizinan penelitian untuk memastikan bahwa prosedur tersebut mendukung, bukan menghambat, produksi pengetahuan yang bermanfaat. Brata (2022) mencatat bahwa proses perizinan penelitian di Indonesia sering kali birokratis dan tidak transparan, menciptakan disinsentif bagi peneliti asing dan domestik. Reformasi dalam aspek ini dapat mencakup penyederhanaan prosedur, peningkatan transparansi, dan pengembangan mekanisme yang lebih efektif untuk memastikan bahwa hasil penelitian dikomunikasikan kembali kepada pemangku kepentingan lokal.
Pendekatan yang lebih produktif dalam menanggapi penelitian yang dipandang "mendiskreditkan" adalah dengan mengemukakan bantahan akademis yang didukung oleh data dan analisis yang kuat. Jika pemerintah memiliki keberatan terhadap kesimpulan penelitian tertentu, tanggapan yang tepat adalah dengan memfasilitasi penelitian tandingan atau dialog ilmiah, bukan dengan membatasi akses fisik peneliti. Sukmadji dan Putranto (2022) mengusulkan pembentukan forum dialog ilmiah yang melibatkan peneliti domestik dan internasional untuk membahas temuan kontroversial dan implikasinya bagi kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Kasus pelarangan Meijaard juga menyoroti pentingnya diplomasi ilmiah (science diplomacy) sebagai komponen dari hubungan internasional Indonesia. Menurut Sodikin dan Kusumawardhani (2020), diplomasi ilmiah dapat menjadi instrumen untuk membangun jembatan kerja sama, meningkatkan visibilitas ilmiah Indonesia, dan memajukan kepentingan nasional melalui saluran ilmiah. Pendekatan ini mengakui bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya merupakan upaya untuk memahami dunia, tetapi juga dapat menjadi sarana untuk membangun hubungan dan pengaruh.
Keterbukaan terhadap penelitian asing juga perlu dilihat dalam konteks upaya Indonesia untuk meningkatkan peringkatnya dalam lanskap ilmiah global. Supangkat (2023) mencatat bahwa meskipun Indonesia telah membuat kemajuan signifikan dalam meningkatkan output penelitian, negara ini masih tertinggal dibandingkan dengan tetangga regionalnya seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam hal publikasi internasional dan dampak penelitian. Kolaborasi internasional, menurutnya, dapat menjadi strategi untuk mempercepat kemajuan ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, sikap terhadap penelitian asing sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip yang lebih luas tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, bukan pada reaksi defensif terhadap kritik. Sebagai negara dengan kekayaan biodiversitas dan keragaman budaya yang luar biasa, Indonesia memiliki posisi yang unik untuk berkontribusi pada pengetahuan global. Untuk merealisasikan potensi ini, kita perlu mengembangkan ekosistem penelitian yang dinamis, kolaboratif, dan berorientasi pada kualitas.
Jika pemerintah ingin menyangkal kajian ilmiah, pendekatan yang lebih produktif adalah melalui forum akademik untuk mengadu data secara transparan. Pendekatan ini akan menjaga profesionalitas pemerintah dan martabat peneliti Indonesia di kancah internasional. Menggunakan pendekatan politik dengan dalih kedaulatan negara adalah kontradiktif dengan semangat pendiri bangsa yang mayoritas adalah akademisi seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim yang menghargai pentingnya pertukaran ide dan dialog intelektual.
ADVERTISEMENT
Alih-alih merasa tersinggung oleh temuan penelitian, pemerintah sebaiknya menunjukkan kerendahan hati dalam menanggapi publikasi ilmiah. Sebagaimana tradisi penelitian budaya Indonesia sendiri yang terinspirasi oleh peneliti asing seperti Snouck Hurgronje, kita seharusnya memandang kontribusi peneliti asing bukan sebagai ancaman melainkan sebagai katalis untuk mengembangkan ekosistem penelitian di Indonesia. Pendekatan kolaboratif dan terbuka terhadap komunitas akademik internasional akan lebih menguntungkan daripada kebijakan isolasionis yang kontraproduktif.
Akhirnya, perlu diingat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan terjadi melalui pertukaran ide dan kritik konstruktif. Membatasi pertukaran ini atas dasar sentimen nasionalistik sempit bukan hanya merugikan komunitas ilmiah, tetapi juga menghambat kemampuan Indonesia untuk mengatasi tantangan kompleks yang dihadapinya. Sebagai negara yang beraspirasi menjadi kekuatan ekonomi dan intelektual global, Indonesia perlu mengembangkan pendekatan yang lebih canggih dan percaya diri dalam mengelola hubungannya dengan komunitas penelitian internasional.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Brata, G. A. (2022). Research permit and academic freedom in Indonesia: Challenges and opportunities. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 12(1), 45-58.
Farid, H. (2020). Decolonizing knowledge production: Critical perspectives on research about Indonesia. Southeast Asian Studies, 9(3), 351-371.
Ferreira, L., Santos, R., & Oliveira, J. (2021). Managing foreign research in sensitive ecosystems: Lessons from Brazil's experience in the Amazon. Environmental Science & Policy, 118, 12-19.
Gaveau, D. L. A., Locatelli, B., Salim, M. A., Yaen, H., Pacheco, P., & Sheil, D. (2021). Rise and fall of forest loss and industrial plantations in Borneo (2000-2017). Conservation Letters, 14(3), e12768.
Hadiwinata, B. S. (2022). The politics of knowledge production: International research collaboration in Indonesian academia. Journal of Contemporary Asia, 52(2), 276-298.
ADVERTISEMENT
Hadiz, V. R., & Dhakidae, D. (2023). Academic freedom and state power in contemporary Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 59(1), 7-28.
Lovy, D. (2023). Open science and national interests: Navigating the tensions in global research collaboration. Science as Culture, 32(1), 63-85.
Pramudyawardhani, O. L. (2022). The selective openness: Indonesia's approach to foreign research and investment. Journal of Indonesian Economy and Business, 37(2), 145-162.
Santosa, Y., Sunkar, A., & Rahman, D. A. (2023). International collaboration in conservation research: Benefits and challenges from Indonesian perspective. Biodiversity and Conservation, 32(2), 331-352.
Sodikin, A., & Kusumawardhani, L. (2020). Diplomasi sains Indonesia: Peluang dan tantangan dalam kerjasama penelitian internasional. Jurnal Hubungan Internasional, 12(1), 103-118.
ADVERTISEMENT
Sukmadji, D., & Putranto, H. (2022). Bridging the gap: Scientific dialogues as alternative to research restrictions in Indonesia. Indonesia and the Malay World, 50(146), 94-112.
Supangkat, S. H. (2023). Research productivity and impact: Indonesia's position in global science. Science Technology & Society, 28(1), 56-74.
Sutherland, H., & Purnomo, H. (2023). When research meets policy: The case of environmental science and forest management in Indonesia. Environmental Politics, 32(3), 438-456.
Widiastuti, T., & Rahman, A. (2023). International research collaboration and citation impact: Evidence from Indonesian scientific publications. Journal of Scientometric Research, 12(1), 78-96.
Widodo, J. (2022). Methodological nationalism in the era of global science: Rethinking research paradigms in Indonesia. Social Sciences, 11(3), 118-135.
ADVERTISEMENT
Wiratmadinata, I. (2021). Knowledge sovereignty and foreign research: Balancing openness and national interest in Indonesia. Asian Journal of Political Science, 29(2), 189-204.