Konten dari Pengguna

Aktivisme Digital sebagai Dekorasi Birokrasi Bangsa

Dela Dwi Santi
Fisipol UNEJ
2 Juni 2023 17:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dela Dwi Santi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Cukup menarik jika pembahasan ini tidak dijadikan sebagai kajian kritis anak bangsa sebagai ‘agen perubahan’. Aktivisme di laman media sosial nampaknya sedang berkembang cepat di beberapa tahun terakhir. Sebagai wujud dari penegasan atas asas rekognisi agensi anak muda, aktivisme 'digital' perlu mendapat perhatian besar otoritas dan seluruh lapisan publik dalam rangka mengkatalisasi perubahan nasional yang bersifat bottom-up development.
ADVERTISEMENT
Terminologi tentang perang terhadap narkoba, LBGT, dsb. sudah 'sering' memaksakan kita untuk ikut terlibat sebagai pembaca di laman media sosial. Treatment otoritas bangsa saat ini cenderung melihat power of internet itu sama seperti bagaimana mereka melihat kelompok minoritas seksual seperti istilah tagar "war on drugs" atau "darurat LBGT". Dalam artian lain, kedua variabel ini memiliki kesamaan pada sifatnya dalam pandangan birokrasi bangsa, yakni hanya sebagai pelengkap saja.
Banyaknya tagar yang dibuat para user dengan mayoritasnya yakni sebagai generasi muda nyatanya hanya dianggap sebagai dekorasi birokrasi atau sekadar omong kosong yang power-nya tidak seberapa. Pemegang otoritas birokrasi bangsa pun saat ini hanya mengedepankan aspirasi pada jalur formal seperti pada kegiatan tingkat lokal yakni Musrembang di kecamatan atau desa.
ADVERTISEMENT
Wadah-wadah aspirasi formal tersebut tentu bukanlah wadah yang sebenarnya. Dalam artian, tidak semua aspirasi masyarakat dapat ditampung dalam wadah tersebut. Hal ini terjadi karena tingkat ketertarikan kegiatan yang rendah serta faktor utama yakni berupa masalah akses yang sukar untuk menjadi jalan utama atas penyampaian aspirasi publik.
Melihat respons pemerintah yang begitu mengesampingkan suara warga sipil dalam aktivisme di social media, membuat semangat aktivis anak muda terus berkembang pesat hingga saat ini. Dengan arti lain, perkembangan aktivisme-digital yang tengah “naik daun” saat ini bukanlah hasil dari dukungan pemerintah melainkan karena lemahnya perhatian pihak otoritas yang terkesan memberi represi pada kegiatan kampanye anak muda melalui platform media sosial.
Menurut Ravio Patra (2022), lahirnya aktivisme dengan memanfaatkan media digital ini terbagi menjadi dua algoritma sebab yakni: (1) aktivisme lahir secara organik dan (2) secara grassroot. Kampanye medsos dikatakan lahir secara organik dimaknai bahwa berangkat dari ketertarikan anak muda atau sekelompok pekerja advokasi tentang isu-isu ekonomi-social-politik yang kemudian digencarkan di laman medsos untuk menyebarluaskan informasi terkait.
ADVERTISEMENT
Sedangkan tumbuh secara grassroot artinya kampanye medsos tersebut terjadi secara natural mengikuti seberapa berpengaruhnya substansi sebuah isu tersebut pada masa saat ini yang kemudian di sampaikan melalui platform yang ada. Sejalan dengan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa perkembangan aktivisme di laman internet saat ini merupakan hasil terhadap kombinasi permasalahan dari seberapa kadar impact suatu isu yang diusung dengan minimnya wadah untuk mengolektif aspirasi publik terkhusus suara kritis anak muda secara substansial.
Sehingga berlandaskan hal tersebut maka para user medsos yang sebagian besar adalah kaum muda, mulai menggencarkan bentuk aktivisme digitalnya menggunakan kata-kata dalam tagar yang cenderung beraksi tegas seperti misalnya menyatakan bentuk “LAWAN, PERANGI, dsb” dengan sebab karena selama ini para petinggi birokrasi masih belum on board atau mengakui agency anak muda sebagai ‘agen perubahan’.
ADVERTISEMENT
Secara cynical, tulisan ini mengungkapkan bagaimana ketidakjelasan ambang harapan anak muda sebagai aktor aktivisme digital di bawah paradigma purba pihak otoritas dalam memandang suara masyarakat diberbagai wadah aspirasi baik formal ataupun non-formal. Keserampangan hukum yang berlaku di Indonesia menjadi salah satu penyebab mengapa sampai saat ini tiada inisiatif pemerintah yang sifatnya mengawal aktivisme digital akan isu-isu social-economy-politic yang secara eksplisit mengganggu iklim demokrasi bangsa saat ini.
Selain itu, penyebab utama dari lemahnya nilai aktivisme yang kuantitasnya sedang mencuat belakangan tahun terakhir ialah karena tidak pernah ada sebuah bentuk akuntabilitas pada setiap penyelewengan hukum yang terjadi di lapangan. Seperti yang dibuktikan dengan adanya ketidakadilan hukum pada kekerasan diluar eskalasi pada demokrasi yang dilakukan aparat kepada para mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Lalu ini mempertanyakan kita, tentang bagaimana jika subjek aktivisme-digital ini hanya akan selalu disebut sebagai dekorasi birokrasi oleh pihak otoritas? Lalu bagaimana cara mengubah paradigma kuno birokrasi bangsa yang hanya stagnan di titik ini saja?
Secara sarkas dipertanyakan, bahwa bagaimana masyarakat menyampaikan aspirasinya terhadap sebuah isu pemerintahan yang berdalih pada asas demokrasi sedangkan pada realitanya akses menuju jalan aspirasi tersebut begitu pelik untuk dilewati? Represi pemerintah pun rasa-rasanya akan selalu menjadi penghadang aspirasi publik di mana saja khususnya pada media internet.
Lalu harus ke mana lagi masyarakat menyampaikan suaranya jika pada kegiatan formal dan lewat media digital saja selalu diremehkan? Secara skeptikal, aktivisme yang dimanfaatkan generasi muda pada laman digital saat ini tidak akan membawa perubahan besar pada isu publik yang perlu dikritisi.
ADVERTISEMENT
Menurut Mary Joyce (2010), aksi kampanye yang dibalut dalam perkembangan teknologi ini tidak akan melahirkan dampak apa pun jika tanpa dibarengi dengan tindakan secara fisik. Namun tetap saja, aksi secara fisik juga tidak akan mampu membawa perubahan apa pun jika pemerintah tidak pernah memberi akses kepada publik untuk menyampaikan aspirasinya. Maka jelas, sebutan sebagai dekorasi birokrasi yang diperuntukkan pemegang otoritas terhadap aktivisme secara digital akan terus ada jika pemerintah belum mampu mengubah paradigma birokrasinya ke arah representasi konstruktif.