Konten dari Pengguna

Politik Pihak Oposisi Jepang 1947-1948

Abdollah
Doktor Mamajemen Pendidikan, Penulis Artikel dan Buku Pendidikan.
2 September 2023 14:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdollah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivis sayap kanan memberikan penghormatan saat berkunjung ke Kuil Yasukuni pada peringatan 78 tahun penyerahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua di Tokyo, Jepang, Selasa (15/8/2023). Foto: Kim Kyung-Hoon/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis sayap kanan memberikan penghormatan saat berkunjung ke Kuil Yasukuni pada peringatan 78 tahun penyerahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua di Tokyo, Jepang, Selasa (15/8/2023). Foto: Kim Kyung-Hoon/REUTERS
ADVERTISEMENT
Dalam politik Jepang sesudah perang, kekuatan pihak Oposisi mudah diabaikan sebagai sesuatu hal yang secara politik tidak relevan. Pihak Oposisi selalu gagal memenangkan mayoritas dalam setiap pemilihan umum, bahkan tidak sekalipun hampir berhasil. Kedudukan Partai Sosialis Jepang (JSP) memang pernah membubung sebagai bagian dari suatu pemerintah koalisi selama tahun 1947-48 yang kacau dan sulit itu, tetapi hanya punya andil kecil dalam pemerintahan dan dengan sendirinya jadi tidak berarti di mata para pemilih.
ADVERTISEMENT
Perpaduan di dalam partai itu sendiri selalu menimbulkan persoalan JSP pecah sebanyak lima kali antara tahun 1947 dan 1960, dan meskipun dapat mempertahankan suatu kesatuan yang rapuh sejak tahun 1960, makin lama partai tersebut makin memperoleh tantangan nyata dari partai-partai lain yang anti-LDP. Nilai tinggi keberhasilannya diperoleh dalam pemilihan untuk Majelis Rendah tahun 1958, tatkala JSP memenangkan 166 dari 467 kursi. Lepas dari satu kursi yang dimenangkan partai Komunis, suara anti pemerintah saat itu sepenuhnya diwakili oleh JSP. Oleh karena itu, pemilihan tahun 1958 merupakan suatu garis dasar yang bagus untuk menuju ke perkembangan selanjutnya.
Meskipun partai-partai Oposisi secara keseluruhan lambat laun menjadi lebih kuat, JSP sudah tidak punya andil lagi dalam keberhasilan itu. Lebih-lebih lagi, dalam daerah-daerah pemilihan Metropolitan dan Kota, di mana kaum Oposisi nampak mengalami kemajuan pesat, JSP justru mengalami kemunduran. Jadi, meskipun kini daerah perkotaan jelas merupakan “wilayah pertumbuhan” paling nyata bagi pihak Oposisi, imbangan penampilan JSP sudah pindah ke daerah-daerah pinggiran kota. Menimbang bahwa dukungan organisasional bagi JSP masih sangat bergantung pada persatuan-persatuan dagang, secara sangat menyolok JSP makin tersingkir dari kota-kota.
ADVERTISEMENT
Perpecahan di dalam pihak Oposisi mulai terjadi pada tahun1960 ketika fraksi-fraksi sayap kanan meninggalkan JSP dan membentuk Partai Sosialis Demokrat (DSP). Meskipun punya daya tarik yang moderat, DSP tidak pernah berhasil menanamkan dampak politik yang besar, dan kini nampak sedang menurun. Pengaruh terpenting dari kebangkitannya, mungkin adalah membentuk keseimbangan kekuatan di dalam JSP yang menguntungkan golongan yang secara ideologis ekstrem dan sejumlah kecil pejabat persatuan dagang. Maka, meskipun tidak banyak membantu timbulnya sosialisme demokratis yang moderat, terbentuknyaDSP benar-benar merusak prospek-prospek JSP.
Keruwetan partai-partai sosialis selama tahun 1960-an membuat daerah jadi terbuka bagi kebangkitan kekuatan-kekuatan politik baru. Yang pertama adalah Komeito, seksi politik dari Sekte Neo Buddhist, Soka Gakkai. Setelah pernah diuji kekuatannya dalam pemilihan untuk Majelis Tinggi, untuk pertama kalinya Komeito ikut serta dalam pemilihan untuk DPR tahun 1967, 25 dari 32 orang calonnya berhasil terpilih.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1969, kekuatannya di DPR meningkat lagi menjadi 47 kursi, tetapi dalam pemilihan tahun 1972, melewati puncaknya dan dengan sangat menurunnya jumlah suara yang diperolehnya, merosot menjadi 20 kursi. Kekuatan baru yang kedua adalah JCP (Partai Komunis Jepang) yang meskipun sudah mengalami keberhasilan singkat dalam periode segera. sesudah perang, hanya memperoleh hasil yang kecil dalam seluruh pemilihan tahun 1950-an. Menjelang tahun 1960-an, dukungan bagi JCP meningkat dengan pesat dan pada pemilihan-pemilihan tahun 1972, berhasil mengalahkan Komeito dan DSP, dan muncul sebagai Partai Oposisi kedua dengan 38 kursi dalam DPR.
Dari label 17 hingga 21, dapat dilihat bahwa daya tarik partai-partai “baru” sebagian besar terpusat di kalangan para pemilih metropolitan dan kota, yang menunjukkan sikap tidak begitu banyak pertirmbangan dalam pemilihan partai-partai. Keberhasilan-keberhasilan tersebut, pertama “partai-partai mantap”. di wilayah yang sama. Kaum Demokrasi Liberal, sekaligus kaum Sosialis, jadi dianggap konservatif picik oleh makin meningkatnya jumlah pemilih yang siap memberikan suara untuk partai partai yang punya organisasi yang efisien dan semacam daya tarik baru.
ADVERTISEMENT
Pengaruh tren-tren ini terhadap pihak Oposisi secara keseluruhan sangat tidak jelas. Kaum pemilih di pedesaan dan semi pedesaan yang secara kasar jumlahnya berlebih-lebihan itu, tetap begitu konservatif, dan di bawah sistem yang ada, LDP Nampak tidak mau kehilangan mayoritas kursinya. Namun demikian, hanya dengan kehilangan dukungannya di kota-kota saja, status JSP tidak bisa dihapuskan atau diturunkan menjadi partai minor. Di samping itu, tidak hanya satu, tapi ada tiga partai minor yang bersaing memperebutkan hegemoni Oposisi yang sampai saat itu dipegang oleh JSP.
DSP dan Komeito nampaknya sudah kehabisan tenaga untuk maju lebih jauh, sementara JSP masih punya banyak peluang bagus. Akan tetapi, lepas dari punya kapasitas untuk berkembang menjadi partai Oposisi yang besar, atau membentuk suatu koalisi nuklir yang mampu menumpuk suatu tantangan pilihan yang sebenarnya terhadap LDP, JSP tetap punya banyak persoalan. Tampaknya pihak Oposisi lebih suka tetap terpisah-pisah, dengan masing-masing unsur komponennya berpacu untuk memperoleh kedudukan di kalangan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, pandangan bahwa pihak Oposisi secara politik tidak relevan, atau umumnya tidak efektif, suatu pihak Oposisi yang terpecah-pecah kemungkinan besar tetap tidak dapat berkuasa, dan karena dukungan organisasinya sangat tergantung pada persatuan-persatuan dagang, banyak di antaranya lebih cenderung menentang dari pada menyesuaikan diri dengan pemerintah.
Dengan adanya wabah fraksionalisme dalam politik pada umumnya, perpecahan merupakan bahaya ajeg bagi setiap partai, dan karena kadang-kadang mendapat rintangan besar untuk bersatu dalam memperoleh kekuasaan, kegagalan pihak Opisisi itu merupakan semacam angin baik bagi kemampuan LDP. Tat kala LDP dibentuk pada tahun 1955, banyak yang tidak mengharapnya bakal tetap kuat untuk waktu yang lama.