Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menggubris Duduk Manis Katarsis Melalui Media Massa
26 Oktober 2024 12:18 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dellia Asdinisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keruwetan problematika sehari-hari kini akan terasa lebih ringan jika sesekali meluangkan waktu untuk rehat sejenak menonton film serta tayangan lainnya pada berbagai platform yang menyediakannya. Seiring perkembangan industri serial dan film, menonton menjadi aktivitas yang menyenangkan untuk sejenak melupakan realita.
ADVERTISEMENT
Mengingat film Titanic, barangkali seseorang menitikkan air mata saat Rose berusaha menguatkan Jack hingga melihat tubuhnya membeku dan tenggelam dalam lautan. Air mata mungkin juga mengalir deras saat menyaksikan pengorbanan dan kematian Tony Stark dalam film Avengers: Endgame. Di lain kesempatan, kita bisa merasa bersemangat dalam petualangan Russel menuju Paradise Falls bersama kakek Carl yang pemarah dalam film Up.
Contoh-contoh tersebut merupakan karakter dari narasi sebuah film yang akrab kita kenali, meski kita mungkin tidak berjumpa dengan karakter-karakter tersebut dalam kehidupan nyata. Menariknya, manusia dapat tersentuh oleh suatu tayangan secara emosional. Beberapa tayangan tertentu menstimulasi perasaan manusia, baik itu rasa senang, takut, gelisah, maupun rasa sedih yang diiringi tangisan. Di lain waktu, ada tayangan yang memicu rasa marah karena tokoh antagonis yang menyebalkan.
ADVERTISEMENT
Kita sama-sama mengetahui bahwa karakter, peristiwa, dan narasi yang didesain sehebat itu hanyalah bagian dari representasi atau konstruksi fiksi. Media massa secara konkret dimaknai sebagai sarana penyampaian pesan, dan media massa tidak memiliki emosi. Bagaimana fenomena ini dapat dijelaskan dalam disiplin ilmu komunikasi?
Teori Uses and Gratification
Berangkat dari asumsi teori uses and gratification atau teori penggunaan dan kepuasan yang dikembangkan oleh Katz, Blumler, dan Gurevitch (1974) dalam buku Teori Komunikasi Massa oleh Morissan, teori ini menyatakan bahwa masyarakat sebagai khalayak berpartisipasi secara aktif dengan orientasi tujuan, motivasi, alasan, dan kebutuhan personal mereka ketika menggunakan media. Alasan dan tujuan masyarakat mengakses media pun beragam. Dalam buku Sociology of Mass Communication oleh Mc Quail, dkk. (1972), disebutkan empat alasan mengapa audiens menggunakan media:
ADVERTISEMENT
Pada poin pertama, pengalihan (diversion), media menjadi sarana untuk melepas diri dari masalah sehari-hari. Saat lelah setelah bekerja seharian, manusia membutuhkan media untuk beristirahat. Seperti yang dipaparkan dalam laporan Digital 2022: Indonesia oleh We Are Social, terdapat berbagai alasan masyarakat Indonesia menggunakan media, terutama media sosial. Sebanyak 63,4% pengguna menggunakan internet untuk mengisi waktu luang. Hal ini menjadi bukti bahwa pengguna membutuhkan media sebagai pengalihan di tengah kesibukan.
ADVERTISEMENT
Relasi Antara Emosi dan Media Massa
Sejarah awal teori penggunaan dan kepuasan dimulai oleh Herta Herzog, yang dianggap sebagai pionir riset tentang penggunaan dan kepuasan. Herzog dalam buku Teori Komunikasi Massa oleh Morissan, melakukan penelitian terhadap penggemar program soap opera di televisi. Hasil penelitiannya menunjukkan tiga bentuk pemuasan:
Sebagian orang menyukai soap opera karena dianggap sebagai sarana pelepasan emosi melalui melihat masalah orang lain di TV.
Audiens berfantasi tentang hal yang tidak mungkin mereka raih.
Beberapa orang merasa dapat belajar dari soap opera, sehingga jika mereka mengalami masalah serupa dalam hidup, mereka sudah punya pelajaran dari program tersebut.
Terdapat relasi antara emosi dan media massa. Media massa menjadi pilihan katarsis yang aman. Istilah "katarsis" berasal dari bahasa Yunani, katharos, yang berarti menyucikan atau membersihkan. Katarsis adalah pemurnian atau pembersihan emosi. Konsep ini awalnya dikembangkan oleh filsuf Yunani, Aristoteles. Menonton film adalah cara aman untuk menyalurkan emosi, seperti kesedihan, kebahagiaan, kemarahan, dan impian.
ADVERTISEMENT
Pengalaman Wakilan
Mengapa menonton film dapat menyalurkan emosi? Ini terjadi melalui pengalaman wakilan (vicarious experience). Sebagai contoh, seorang remaja yang menonton konser musik rock favoritnya mungkin membayangkan dirinya sebagai bintang rock yang tampil di atas panggung. Atau seorang ibu yang menonton sinetron mungkin memvisualisasikan anak yang berbakti kepada ibunya, sehingga ia merasa tenang. Pengalaman wakilan ini memungkinkan seseorang merasakan emosi yang disampaikan oleh karakter dalam film.
Menurut Jonathan Cohen (2001) dalam "Defining Identification: A Theoretical Look at the Identification of Audiences With Media Characters," ada proses identifikasi di mana penonton menginternalisasi perasaan dan pikiran karakter dalam suatu tayangan.
Ulus (Gregerson, 2010: 93) dalam The Cinematic Mirror for Psychology and Life Coaching menjelaskan tiga tahap yang dialami penonton saat menonton film: proyeksi, identifikasi, dan introyeksi. Pada tahap proyeksi, penonton memproyeksikan diri dalam film. Kemudian pada tahap identifikasi, penonton mengidentifikasikan diri dengan tokoh atau cerita. Terakhir, pada tahap introyeksi, penonton mengambil nilai dari film dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Katarsis dan Respon Biologis
Relasi antara tayangan dan emosi juga melibatkan respon biologis. Zack dalam Flicker: Your Brain on Movies menyatakan bahwa saat kita melihat ekspresi dalam film, respon kita mungkin sama. Misalnya, ketika melihat tokoh menguap, kita ikut menguap; ketika tokoh menangis, kita ikut terharu. Media massa juga menjadi katarsis biologis; misalnya, seseorang yang marah mungkin menyalurkan emosinya dengan menonton film aksi.
Melalui media massa, kita dapat menyalurkan emosi dengan hanya menonton tayangan tertentu. Ketika merasa sedih, kita bisa memilih film yang mengharukan untuk menangis dan melampiaskan emosi. Media massa menawarkan katarsis yang aman bagi khalayak, tetapi khalayak aktif memilih bentuk katarsis sesuai kebutuhan dan motivasi