Pencerahan Pola Pikir dengan Cover Both Side

Dellia Asdinisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
10 September 2022 14:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dellia Asdinisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: canva
zoom-in-whitePerbesar
sumber: canva
ADVERTISEMENT
Media saat ini tentu menjadi gerbang utama untuk masyarakat akan kebutuhan informasi. Media berperan penting untuk memberi informasi segar yang dibungkus dengan apa adanya, tanpa penggiringan opini yang mengisolasi pola pikir pada satu sisi saja. Jurnalistik dalam terminologinya akrab mengenal suatu istilah “Cover Both Side” istilah ini berarti melihat kedua sudut pandang, dalam artian lainnya berimbang atau tidak memihak. Tentu dalam idiom tersebut pada prinsipnya media harus dijalankan secara berdikari tanpa memihak siapapun, media harus bersikap adil, objektif dan berimbang antara fakta dan opini serta harus mengetahui tanggung jawab atas sebuah pemberitaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Prinsip “Cover Both Side” jika diterapkan secara matang dalam dinamika dunia jurnalistik akan menciptakan suatu kondisi yang mengarah kepada keseimbangan, yang dikenal dengan media balance. Media balance hadir dengan tujuan pemberitaan yang bersifat valid dan telah menjalani proses verifikasi data yang kredibel dari dua sudut pandang. “Cover Both Side” mempengaruhi kualitas informasi, kondisi ini menjadi suatu hal yang penting untuk masyarakat sendiri dalam menyikapi suatu isu yang sedang berkembang, membangun pola pikir yang terbuka pada suatu perkara, serta tidak ada kegamangan informasi.
Namun dalam prakteknya, masih terdapat media-media yang tidak berimbang dan mengarah pada satu pihak saja. Menelisik kembali sejarah pada contoh kasus pemberitaan G30S-PKI di tahun 1965, saat itu peristiwa G30S-PKI dikemas dalam sebuah karya film yang ditampilkan dan diputar setiap tahunnya di media televisi. Setiap kali menonton masyarakat pasti tertuju pada kekejaman yang dilakukan oleh PKI kepada para jenderal yang bernasib naas. Di balik pemberitaan film tersebut sedikit masyarakat yang tahu-menahu akan pembantaian orang-orang yang bersangkut paut dengan PKI, bahkan orang-orang yang tidak bersalah sekalipun. Banyak anak kecil, wanita, petani, nelayan yang tidak bersalah juga ikut menjadi korban dalam operasi pemusnahan PKI hingga ke akar-akarnya.
ADVERTISEMENT
Pada kasus lainnya keberpihakan media juga terjadi ketika menjelang pesta demokrasi dalam lima tahun sekali, pemberitaan mengenai pasangan calon presiden banyak mengarah kepada penggiringan opini tertentu pada salah satu calon presiden. Berangkat dari hal ini dalam kacamata para pengamat, media seperti perpanjangan tangan dari para penguasa. Membahas mengenai keberpihakan media lebih lanjut terdapat sebuah fenomena yang disebut konglomerasi media. Sebuah kondisi dimana beberapa media yang ada terintegrasi pada satu kepemilikan saja. Pada akhirnya fenomena konglomerasi media ini akan berimbas pada pemberitaan yang berpihak kepada kepentingan pemilik media.
Meski masih terdapat media yang tidak berimbang, masyarakat juga bisa berdikari dalam menyiasatinya untuk tidak terkurung pada satu sudut pandang saja. “Cover Both Side” ini tidak hanya berlaku untuk para praktisi di dunia jurnalistik, tetapi penting juga untuk masyarakat seperti kita dalam menyikapi suatu isu dan melihat sebuah fenomena secara bijak. Terlebih saat ini dunia berjalan sudah memasuki era post-truth dengan perkembangan teknologi yang hebat-hebat, informasi yang mudah didapat, jaringan internet yang serba cepat tentu dapat dimanfaatkan secara bijak untuk mencari informasi dari banyak sumber dan berbagai sudut pandang. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk lebih melek akan literasi digital, lebih selektif menerima sebuah informasi dan memverifikasi kebenarannya, tidak semata langsung menerima mentah-mentah apa yang disajikan pada sebuah informasi.
ADVERTISEMENT