Konten dari Pengguna

On the Horns of a Dilemma: Strategi Amerika di Semenanjung Korea

Demetrius Dyota Tigmakara
Seorang mahasiswa S-1 Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
16 September 2024 9:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Demetrius Dyota Tigmakara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebuah mural di Korea Utara (Foto: pexels/Lukas Kindl)
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah mural di Korea Utara (Foto: pexels/Lukas Kindl)

Prologue

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti biasanya, kabar dari Korea Utara, yang kerap dijuluki “hermit kingdom”, mulai menempati ‘kursi’ tahunannya di media. Kali ini, negeri itu kembali mengadakan uji coba rudal balistik setelah uji coba sebelumnya pada bulan Juli lalu. Selain itu, Korut juga, untuk pertama kalinya sejak dekade lalu, memamerkan fasilitas pengayaan uraniumnya ke publik. Namun, duri di daging Amerika ini muncul bukan tanpa sebab.
ADVERTISEMENT
Terbaginya Korea merupakan buah dari persaingan kedua pemenang Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, ketika kala itu Korut, dengan ‘berkat’ dari Uni Soviet, menyerbu Korsel dengan dalih penyatuan, sehingga memaksa Amerika Serikat untuk turun membantu Korsel di bawah panji PBB. Kebuntuan yang dialami kedua pihaklah yang menyebabkan posisi canggung Korea pada hari ini, ketika sebuah bangsa dibagi menjadi dua oleh ladang ranjau serta menjeda perang antara keduanya.
Prajurit di medan perang (Foto: pexels/Roman Biernacki
Korea dan Taiwan adalah ‘hantu’ Perang Dingin yang masih mengusik benak Amerika. Keduanya, karena implikasi geopolitik dan komitmen Amerika pada keduanya, kian membuat pening berbagai kepresidenan Amerika, layaknya kentang panas yang tidak ingin dihabiskan siapapun. Salah langkah di sini dapat berarti tersulutnya perang baru, bahkan mungkin penghancuran massal, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa Korut memberikan ancaman nyata bagi kepentingan Amerika di Asia.
ADVERTISEMENT
Hujan artileri Korut dapat dengan mudah mencapai Seoul, ibukota Selatan, sedangkan rudal balistik jarak pendek dan menengahnya mampu mencakup hamper seluruh wilayah Jepang, sekutu Amerika lainnya di wilayah itu. Sejak konsepsi dan uji coba rudal balistik Hwasong-14, kini bahkan benua Amerika secara teori berada di bawah payung rudal balistik Korut.
Artileri swagerak (Foto: pexels/Brian Verslues)

Nuclear salvation

Namun, mengapa rezim Kim amat terobsesi dengan senjata nuklir, sampai mengorbankan kepentingan praktis rakyatnya di bawah kebijakan Songun? Singkatnya, demi keselamatan mereka sendiri. Korut di bawah rezim Kim adalah sebuah rogue state, yang tidak mengindahkan norma internasional dan mengancam tetangganya, sehingga bukan tak mungkin tetangganya akan mengambil tindakan drastis untuk menghilangkan ancaman itu.
Kepemilikan senjata nuklir, selain angkatan bersenjata yang besar, adalah jaminan keamanan Korut, dan terutama jaminan kekuasaan rezim Kim. Sudah jelas bahwa penghentian program nuklir Korut bukanlah pilihan. Rezim Kim pasti telah mengamati nasib rekan-rekan sesama diktator yang ditumbangkan karena kehilangan jaminan keamanannya, seperti Irak di bawah Saddam Hussein, Libya di bawah Muammar Gaddafi, dan lainnya.
Lukisan propaganda yang menggambarkan Kim Il Sung (Foto: pexels/Lukas Kindl)

Picking one's poison

Dihadapkan dengan kepentingan ‘harga mati’ Korut yang mengancam hegemoninya ini, apa saja pilihan yang tersedia bagi Paman Sam? Tentunya, tindakan militer bukanlah langkah yang bijak, untuk alasan yang jelas. Kedekatan geografis Korsel dan Jepang pada Korut akan menjadikan keduanya sebagai medan perang dengan korban besar. Bahkan Amerika sendiri mungkin juga akan terkena amarah nuklir Korut. Ini juga akan menyeret Cina dalam perang, yang selama ini ‘menyangga’ tubuh cungkring Korut di kancah internasional untuk membuat sebuah zona penyangga antara dirinya dan hegemoni Amerika.
ADVERTISEMENT
Yang terutama, runtuhnya negara Korut akan mengakibatkan ketidakstabilan yang dapat menelurkan lebih banyak konflik. Kita dapat membuka kembali buku sejarah dan melihat konsekuensi invasi Amerika ke Irak pada 2003, yang justru malah memicu perang saudara akibat kekosongan kekuasaan, yang justru melahirkan 1.000 Saddam lainnya yang saling memperebutkan Irak.
Prajurit AS di gurun (foto: pexels/Matthew Hintz)
Bagaimana dengan tindakan yang lebih ‘halus’? Subversi, bahkan mungkin kudeta, permainan klasik Amerika? Cara yang lebih halus bukan berarti bebas perkara pula. Akan lebih sulit menembus ‘kabut’ yang diciptakan oleh mesin propaganda dan represi Korut dibanding negara lain yang lebih demokratis. Rakyat Korut telah tumbuh bertahun-tahun dengan ideologi Juche, hingga tidak terpikirkan oleh mereka akan cara hidup lainnya. Lagipula, bila gagal, ini dapat memicu kembali perang dan membawa kehancuran pada seluruh pihak.
ADVERTISEMENT
Nyatanya pergantian rezim tidaklah semudah ganti baju. Ini berarti perlunya koordinasi dengan para pemain besar di pemerintah Korut. Bila berhasil, Amerika harus menempatkan pemimpin baru tersebut dan memastikan kesetiaannya. Namun, ini berarti reputasi buruk Amerika sebagai negara adidaya yang semena-mena akan semakin kentara, dan, lagi-lagi, Cina akan terseret. Runtuhnya Korut adalah hal terakhir yang diinginkan Cina, dengan potensi arus pengungsi, konflik, dan mendekatnya hegemoni Amerika ke wilayahnya.
Simbol ideologi Juche (Foto: pexels/Lukas Kindl)
Sejarah kembali membuktikan bahwa pergantian rezim tidak pernah mulus. Revolusi Libya misalnya, yang mendapat dukungan tidak langsung dari NATO, berujung pada perang saudara hingga hari ini. Runtuhnya Uni Soviet, walau tidak didalangi Amerika, juga menunjukkan pola yang sama, dengan sebuah upaya kudeta oleh kaum komunis pada 1991, konflik antara berbagai negara bekas anggotanya, dan pelucutan besar-besaran senjata nuklir hingga memerlukan bantuan Barat.
ADVERTISEMENT

Not playing at all?

Bila harus memilih antara mulut singa dan harimau, bagaimana jika Amerika tidak ‘bermain’ sama sekali? Bagaimana dengan mempertahankan perdamaian rapuh ini melalui diplomasi? Ternyata, hal ini dapat dilakukan. Salah satu contoh kesuksesan diplomasi antara Amerika dan Korut adalah pada kepresidenan Donald Trump, ketika ia bertemu dengan pemimpin Korut Kim Jong-Un di Singapura pada Juni 2018 dan Vietnam pada Februari 2019, di mana Amerika sepakat untuk menghentikan latihan militer yang ‘provokatif’ serta menjamin keamanan Korut yang, sesuai dengan Deklarasi Panmunjom pada April 2018, sepakat untuk melakukan denuklirisasi bertahap.
Kantor PBB yang dihiasi bendera anggotanya, Jenewa (Foto: pexels/Hugo Magalhaes)
Inilah bukti bahwa Korut, walau cenderung lebih ‘temperamental’ dari negara lainnya, nyatanya memiliki perhitungan rasional, terlepas dari gembar-gembor propagandanya, dan lebih pentingnya lagi, keinginan yang sama untuk perdamaian dan stabilitas. Obsesi Korut terhadap kepemilikan nuklir pun bukan tanpa sebab, yaitu demi menjamin kemerdekaannya dan kelangsungan rezim Kim. Maka, di masa depan, alangkah baiknya bagi seluruh pihak untuk memahami dan menghargai posisi lawan bicaranya.
ADVERTISEMENT