Meninjau Perkawinan Anak di Indonesia: Tantangan dan Langkah-langkah Solusi

Dendi Ramadhan
Mahasiswa jurusan Pekerjaan Sosial di Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung dan penerima Beasiswa Unggulan Kemdikbud Tahun 2021. Memiki konsentrasi terhadap isu anak, kesejahteraan sosial, disabilitas, dan pemberdayaan ekonomi.
Konten dari Pengguna
7 April 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dendi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: CanvaDesign.com | Ilustrasi Perkawinan Anak di Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: CanvaDesign.com | Ilustrasi Perkawinan Anak di Indonesia

Data Perkawinan Anak

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perkawinan Anak menjadi isu serius yang terus menghantui Indonesia, terutama dengan adanya tren menikah di usia yang terlalu muda. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menunjukkan bahwa kasus permohonan dispensasi perkawinan anak masih tinggi, dengan 65 ribu kasus pada tahun 2021 dan 55 ribu kasus pada tahun 2022. Faktor utama di balik permohonan ini adalah kehamilan di luar nikah dan desakan dari orang tua yang ingin segera melihat anak mereka menikah karena telah memiliki pasangan dekat.
ADVERTISEMENT

Tantangan Perkawinan Anak

Namun, perkawinan anak bukan sekadar masalah sosial belaka. Dampaknya sangat luas, mulai dari meningkatnya angka kemiskinan, stunting, hingga risiko kesehatan serius seperti kanker serviks pada anak. Berbagai faktor melatarbelakangi praktik ini, termasuk kesulitan ekonomi, kurangnya dukungan sosial, serta pandangan bahwa perkawinan adalah cara untuk menikmati masa remaja.
Melihat keseriusan masalah ini, pemerintah telah mengambil langkah konkret dengan mengubah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, menaikkan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun untuk kedua calon mempelai. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi praktik perkawinan usia anak di Indonesia yang selama ini menempatkan anak perempuan sebagai korban utama.

Solusi Perkawinan Anak

Presiden juga telah menetapkan lima arahan untuk KemenPPA, termasuk pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu prioritas utama. Langkah-langkah ini meliputi peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak, hingga penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dari sisi regulasi, masalah ini juga perlu dilihat dari sudut pandang kesehatan dan psikologis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perkawinan usia anak dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti anemia, pra-eklampsia, serta kematian janin dalam kandungan. Secara psikologis, perkawinan usia anak juga dapat meningkatkan risiko gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.
Penting untuk memahami bahwa perkawinan usia anak tidak hanya menjadi masalah sosial, tetapi juga masalah kesehatan dan psikologis yang perlu segera diatasi. Langkah-langkah pencegahan yang komprehensif, termasuk edukasi masyarakat, pemberdayaan perempuan, dan penegakan hukum yang ketat, diperlukan untuk mengatasi akar masalah ini.
Dengan adanya tujuan pembangunan berkelanjutan untuk menghapus praktik perkawinan anak pada tahun 2030, serta dukungan dari berbagai pihak seperti UNICEF, diharapkan Indonesia dapat menuju arah yang lebih baik dalam mengatasi masalah ini. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang, di mana perkawinan usia anak tidak lagi menjadi kenyataan yang mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Helwiyah Umniyati, dkk. (2020). Manajemen Kebersihan Menstruasi dan Perkawinan Anak. Jakarta Selatan: Pimpinan Pusat Muslimah NU
Kementerian PPPA dalam Siaran Pers Nomor: B-031/SETMEN/HM.02.04/01/2023