Selamat Datang Kembali, Mimpi-mimpi Soe Hok Gie

Konten dari Pengguna
10 Mei 2017 17:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dendy Raditya Atmosuwito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mimpi-mimpi punya satu keunikan. Ia akan selalu datang kembali ke dunia ini walau sang pemimpi telah pergi. 12 Mei 1969, koran Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat memuat tulisan seorang mahasiswa “tua” yang hampir lulus dari Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (sekarang Ilmu Pengetahuan Budaya), Universitas Indonesia. Tulisan sepanjang 1.749 kata tersebut –yang sangat panjang untuk ukuran sebuah tulisan opini di koran-koran Indonesia- berisi tentang mimpi-mimpi penulisnya, atau lebih tepatnya, gambaran idealnya tentang kehidupan kampus di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa “tua” yang menulis tulisan tersebut kini sudah tiada, dia meninggal beberapa bulan setelah dia lulus. Tetapi, siapa sangka dia kini menjadi semacam “legenda” di dunia mahasiswa Indonesia yang kata-katanya sering menjadi pengisi caption Instagram anak-anak muda generasi millennial. Nama penulis tersebut adalah Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie mengawali tulisannya tersebut dengan mengutip kalimat Dr. Martin Luther King Jr.: “I have a dream, I shall continue to work for that a dream as long as life it self, If necessary I shall even die for that dream”, begitu kutip Soe Hok Gie pada permulaan tulisannya. Kutipan tersebut seolah punya arti bahwa sepanjang hidupnya, Soe Hok Gie selalu berjuang mewujudkan mimpi-mimpinya. Soe Hok Gie menuliskan mimpinya dengan sangat semangat dan tentu sangat panjang seperti tulisan-tulisan di catatan hariannya.
ADVERTISEMENT
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi ‘manusia-manusia yang biasa’. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”.
Soe Hok Gie kemudian merinci lagi apa sebenarnya yang dia maksud. Baginya pemuda-pemudi yang bertingkah laku sebagai manusia normal adalah mereka yang pada saat kuliah datang ke kelas-kelas secara serius, mendengarkan kuliah-kuliah dosen, walaupun kadang-kadang membosankan. Dan pada saat di laboratorium, kadang-kadang mereka berdiskusi secara sungguh-sungguh dengan rekan-rekannya tentang suatu masalah. Tetapi, bagi Soe Hok Gie itu belum cukup. Mahasiswa-mahasiswa tersebut juga harus mereka juga memerlukan kegiatan lain: berolahraga, berorganisasi, membuat acara-acara kesenian, mendaki gunung atau membuat perlombaan sepatu roda, tidak melulu belajar di kelas-kelas mereka.
ADVERTISEMENT
Ternyata mimpi Soe Hok Gie belum berhenti. Ada satu hal lagi yang menurutnya penting dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa penerusnya. Pada saat-saat yang menetukan, bagi Soe Hok Gie mahasiswa-mahasiswa juga dapat bersikap tegas. Tanpa ragu-ragu, mereka akan berani terjun ke jalan-jalan raya menghadapi panser-panser tentara yang mau menginjak-injak demokrasi, dan berkata: TIDAK terhadap siapa pun juga yang ingin merobek-robek rule of law dan kemerdekaan bangsanya. Mahasiswa semacam itulah yang menurutnya adalah “Manusia-manusia yang berkepribadian, tetapi tidak berlebih-lebihan”.
Hampir 48 tahun setelah tulisan Soe Hok Gie tersebut diterbitkan, mimpi-mimpinya ternyata belum menjadi nyata. Ironisnya, sekarang kampus atau universitas yang selalu dia harapkan menjadi “penjaga kebenaran dan kebebasan mimbar akademik” malah seakan-akan “menghalangi” mimpi-mimpinya menjadi nyata. Hal tersebut dituliskan oleh Hening WS, Kepala Divisi Advokasi DEMA KM FISIPOL UGM dalam tulisannya tentang sikap “seolah-olah” anti kritik yang ditunjukan oleh Universitas tempat Hening WS sekarang belajar.
ADVERTISEMENT
Hening mengingatkan tentang diskusi-diskusi yang dibubarkan paksa tanpa upaya perlindungan dari pemangku kebijakan, cerita tentang dipanggilnya dua mahasiswa FIB yang berujung pada ancaman pemidanaan hanya karena mencoba berdialog dengan rektor tahun lalu, dan tentu saja kisah “ajaib” kebohongan yang dilontarkan oleh seorang pemimpin sekaligus intelektual pada malam hari tanggal 1 Mei tahun 2016. Yang terbaru tentu saja cerita tentang dipanggilnya tujuh mahasiswa FKG hanya karena mengutarakan kegelisahan yang disebabkan oleh diberlakukannya sistem UKT pada pendidikan profesi yang harus mereka jalani.
Mahasiswa-mahasiswa tersebut kemudian mendapat cap “nakal”. Saya masih sangat ingat hampir tiga tahun lalu ketika pertama kali masuk “kampus kerakyatan”, oleh sang “orang tua” pikiran saya dibentuk untuk percaya bahwa mahasiswa berprestasi adalah mahasiswa yang menang perlombaan, IPK cumlaude, lulus 3,5 tahun, tidak kritis pada rektorat, tidak suka demonstrasi, serta bisa menyelenggarakan event besar yang menarik banyak sponsor untuk branding universitas. Untuk mengkonstruksi definisi semacam itu, di kantor rektorat jangan harap ada aktivitas diskusi keilmuan kritis atau pembangunan pengetahuan. Yang ada ialah petugas 'sangar' yang menjaga proposal UKM atau bantuan kemahasiswaan, berbagai spanduk dan poster tentang mahasiswa berprestasi atau PKM, prosedur pengajuan proposal, hingga birokrat yang siap 'tanda tangan' pada proposal mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Begitu ungkap Ahmad Rizky Mardhatillah Umar dalam salah satu tulisannya: Semakin mahasiswa menurut pada definisi berprestasi ala para “orang tua” ini, maka akan semakin tinggi “nilai” para mahasiswa itu di depan mata para “orang tua”, dan konsekuensi mengkritik kebijakan “orang tua” tersebut tentu saja anda akan dicap sebagai “anak nakal”. Yang lebih unik adalah si “orang tua” tersebut ingin “anaknya” dianggap “nakal” karena suatu hal yang seharusnya si “orang tua” ajarkan pada “anaknya” di lingkungan kampus yaitu: sikap kritis.
Tentu kita tidak bisa menafikan peringatan dari Soe Hok Gie bahwa memang benar masih terlalu banyak serigala-serigala berbulu domba dalam kehidupan mahasiswa di Indonesia. Orang-orang yang digambarkan Soe Hok Gie sebagai “tukang-tukang nyontek dan bolos yang berteriak-teriak tentang moral generasi muda, dan tanggung-jawab mahasiswa terhadap rakyat”. Soe Hok Gie memang benar bahwa “masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa”.
ADVERTISEMENT
Tetapi apakah itu menjadi hujjah atau alasan untuk diam saja? Apakah itu menjadi dalil atau dasar untuk membiarkan pembuat kebijakan di kampus berlaku semena-mena dan mereka “serigala berbulu domba” bermental sok kuasa memanfaatkan mahasiswa lainnya-yang memang tulus berjuang- untuk kepentingan “serigala-serigala” itu saja? Saya rasa tidak. Peringatan Soe Hok Gie tersebut justru adalah ajakan untuk ikut terlibat dalam perjuangan mewujudkan kampus yang dapat membentuk mahasiswa-mahasiswa menjadi manusia-manusia yang tidak mengingkari kemanusiaanya. Sebuah ajakan untuk menghentikan ketidakadilan para pembuat kebijakan. Sebuah ajakan untuk menghentikan kemunafikan mahasiswa pencari kekuasaan dan penghamba ketenaran.
Akhirnya, saya kembali kepada apa yang saya tuliskan di awal. Mimpi-mimpi selalu datang kembali, termasuk mimpi-mimpi Soe Hok Gie. Impian pemuda yang meninggal sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 itu memang sudah terlalu lama hilang dari ingatan orang. Tetapi, sekarang mimpi-mimpi itu datang kembali. Mimpi-mimpi itu sekarang ada dalam diri mereka; mahasiswa-mahasiswa yang mau berjuang bersama. Mimpi-mimpi itu sekarang ada dalam diri mereka, mahasiswa-mahasiswa yang masih tulus dan bukan serigala berbulu domba. Mimpi-mimpi itu sekarang ada dalam diri mereka, mahasiswa-mahasiswa yang mau berempati pada penderitaan sesamanya. Mimpi-mimpi itu sekarang ada dalam diri mereka, mahasiswa-mahasiswa yang mau mengingatkan dan mengkritisi dosen-dosen mereka demi kebaikan semua pihak. Mimpi-mimpi itu sekarang ada dalam diri mereka, mahasiswa-mahasiswa yang sesibuk apapun tetap ingat bahwa tugas utama mereka adalah belajar termasuk belajar menjadi manusia yang tak mengingkari kemanusiaanya.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang berubah dari mimpi-mimpi itu sejak dulu sampai sekarang. Mimpi-mimpi itu masih sama dan masih harus diperjuangkan untuk menjadi nyata. Kita layak mengucapkan, Selamat datang kembali, mimpi-mimpi Soe Hok Gie!