Mengaji: Belajar Bahasa Arab atau Mengkaji?

Denia Oktaviani
Curhat-curhat ada di kumparan.com/deniaokta
Konten dari Pengguna
20 Mei 2017 21:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denia Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sabtu sore hari, muncul pesan singkat lewat Whatsapp di hp saya. Mama, mengirimkan sesuatu yang agak nya membuat saya skeptis.
ADVERTISEMENT
"Rian, kamu minggu depan mulai belajar ngaji ya." Sekian detik setelah membaca nya, kecurigaan saya bertambah. Saya pun membalas, "gamau." Tentunya saya tahu apa yang akan saya hadapi setelah ini. Tapi dengan tenang saya menunggu pesan mama muncul karena keyboard menunjukkan beliau 'is typing...'
"Astagfirullah ya kamu diminta belajar agama gak mau, emang enggak mau masuk surga? Kamu enggak mau ketemu bareng-bareng sama mama di surga?"
Kemudian saya balas, "aku enggak mau belajar bahasa arab, kalau belajar agama mau kalau ada ustad nya yang bisa diajak diskusi".
"Belajar ngaji itu kan harus pake bahasa Arab, dek!"
"Kenap harus pakai bahasa Arab?"
"Yaiya dong! Al-Qur'an kan diturunkan di Mekkah, bahasa nya ya Arab"
ADVERTISEMENT
"Mama enggak lihat waktu di Madinah? Tiap sudut ada semua bacaan alquran dari berbagai bahasa enggak cuma bahasa Arab aja."
Kalian tahu apa yang terjadi setelahnya? Partner saya itu sampai harus mengirimkan satu buah kutipan dari tokoh agama untuk meyakinkan ibu nya bahwa yang ia inginkan bukanlah mengaji tapi mengkaji. Bukan membaca tasydid ataupun melantunkan setiap ayat-ayat nya dengan melodi yang indah--walau saya pikir jika ia menyanyi dengan bahasa Arab pun akan tetap sebagus ia menyanyi lagu metal ciptaan nya. Bahwa belajar agama bukan melulu harus dengan bahasa Arab.
Teringat langsung saya saat di kelas. Waktu itu saya sedang keranjingan mengambil kelas-kelas kajian filsafat. Dari kelas filsafat agama, islam sampai bahasa. Lalu teringat salah satu teori hermeneutika dari Muhammad Arkoun yang bisa kalian cari juga di Google:
ADVERTISEMENT
Dalam melihat al-Quran, Arkoun memiliki tiga pandangan, yaitu: Pertama, Alqur’an merupakan sejumlah pemaknaan bagi seluruh umat manusia sehingga dapat ditafsirkan ke berbagai macam ragam.
Kedua, Al-Quran mengacu pada agama Islam yang transenden dan transhitoris.
Ketiga, Al-Quran adalah teks terbuka sehingga siapapun yang menafsirkannya tidak dapat mengatakan bahwa penafsiran miliknya lah yang paling benar.
Arkoun secara tegas menyatakan bahwa tafsir terhadap Quran bukanlah hal yang trandensenden atau dengan kata lain suatu yang sakral. Oleh karena itu pemaknaan terhadap Quran merupakan hal yang diperbolehkan bahkan harus dilakukan oleh umat muslim. Quran harus terus menerus ditafsirkan dan dikritisi dalam tiap perkembangan zaman. Karena perbedaan situasi dan kondisi manusia akan menghasilkan pemaknaan yang beragam atas Quran itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurut Arkoun untuk mencapai kemajuan, seperti pada barat, umat muslim harus menggunakan rasionalitasnya dan juga daya kritisnya terhadap segala fenomena kehidupan. Menurut Arkoun kitab suci pun dapat dikritisi oleh manusia. Dalam penafsirannya terhadap Al-Quran, Arkoun menggunakan metode dekontruksi dan juga kritik nalar Islam.
Namun apa yang saya katakan pada Rian? Tidak ada. Saya diam dan mengurungkan niat untuk mendiskusikan nya, karena saya tahu ia sudah paham betul soal itu. Karena dengan mengangkatnya ke arah diskusi akan memusingkan kepala saya. Karena Agama, kitab suci, adalah sakral, yang seakan tidak diperbolehkan untuk diperdebatkan. Saya diam, bukan karena saya tidak tahu. Karena sepenuhnya tidak kuat menahan efek penyampaian pendapat soal Agama.
ADVERTISEMENT