Perceraian pada Keluarga dengan Anak Usia Dini

Denia Putri Prameswari
Founder Sekolah Bunga Matahari - Early Childhood Practitioner - Sky admirer
Konten dari Pengguna
30 Januari 2017 5:45 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denia Putri Prameswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Denia Putri Prameswari (Foto: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Denia Putri Prameswari (Foto: Herun Ricky/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena perceraian masih merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia. Padahal dari data Mahkamah Agung Republik Indonesia (2009) dalam 9 tahun terakhir, jumlah perceraian di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Secara nasional pada tahun 2000, jumlah perkara perceraian di Pengadilan Agama sejumlah 145.609, sedangkan di Pengadilan Negeri sejumlah 3.539. Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2009, jumlah perkara perceraian meningkat hampir mencapai 2 kali lipat. Menurut Mahkamah Agung (2009), data dari Unit Statistik Badan Peradilan Umum dan Badan Peradilan Agama menunjukkan bahwa angka perkara perceraian tersebut merupakan kelompok perkara terbesar dalam peradilan di Indonesia. Perkara perceraian mencakup 50% dari seluruh perkara, yang kemudian diikuti oleh perkara pidana sekitar 33% dan perkara perdata sekitar 17%. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional / BKKBN (2013), Indonesia merupakan negara dengan tingkat perceraian tertinggi di Asia Tenggara.
Sayangnya, mayoritas keluarga bercerai merupakan mereka yang usia pernikahannya di dibawah 10 tahun dan justru telah memiliki anak (Anjani & Suryanto, 2006 serta Kitson, 2006). Otomatis hal ini mengindikasikan bahwa anak kebanyakan anak yang orang tuanya bercerai masih berada pada tahapan usia dini.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif dari perceraian bagi anak usia dini terbilang cukup banyak dan mengkhawatirkan apabila tidak ditangani dengan baik. Dampak tersebut tidak hanyak berimbas jangka pendek, namun juga dapat mempengaruhi perkembangan anak jangka panjang. Hal ini dapat diminimalisir dengan beberapa cara, antara lain :
Meskipun masih kecil, anak dapat diajak memahami situasi yang kompleks sekalipun dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan realistis. Penjelasan mengenai apa yang sedang terjadi dapat membantu anak menerima 'kejutan-kejutan' yang datang sebagai konsekuensi dari percerakan, misalnya saat salah satu orang tua harus pindah rumah, atau saat ia tidak bisa sesering dulu bertemu dengan salah satu pihak keluarga orang tua
ADVERTISEMENT
Biar bagaimanapun, separuh diri anak merupakan bagian dari masing-masing orang tuanya yang dapat terluka saat disinggung. Ingatlah bahwa di mata mereka, ayah dan ibu merupakan dua sosok pertama yang mereka pandang sejak kecil. Sehingga akan sangat menyakitkan mendengar keduanya saling menjelekan
Emosi tersebut merupakan hal yang wajar selama masih dilampiaskan dalam batas perilaku yang lazim pula
Buku cerita bergambar merupakan salah satu media yang efektif untuk menyampaikan persoalan besar seperti perceraian. Pilih buku cerita yang menggunakan kalimat sederhana dan ringkas disertai ilustrasi menarik. Ada baiknya memilih buku cerita dengan tokoh hewan untuk menghindari anak merasa dirinya lah yang menjadi bahan di cerita tersebut. Tokoh hewan juga meminimalisir kemungkinan isu SARA
ADVERTISEMENT
Yakinkan dan ulang terus pesan bahwa anak masih tetap dapat menyayangi kedua orang tuanya seperti selama ini, serta begitu pula sebaliknya, bahwa orang tua tetap akan menyayangi mereka meskipun telah bercerai
1485729886261_h54fo1485729893307_x3ikvf1485729898104_5s487m1485729903465_zmkb5s