Konten dari Pengguna

Takut Ditinggal Saat Sekolah

Denia Putri Prameswari
Founder Sekolah Bunga Matahari - Early Childhood Practitioner - Sky admirer
23 Januari 2017 18:23 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denia Putri Prameswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Takut Ditinggal Saat Sekolah
zoom-in-whitePerbesar
Hari pertama masuk sekolah seharusnya menjadi sebuah momen yang menyenangkan bagi anak. Namun alih-alih bergembira, sebagian anak justru malah menangis, berteriak, bahkan meronta untuk ditemani atau tidak dipisahkan dengan oran tuanya. Pernah mengalaminya? Kira-kira mengapa hal tersebut bisa terjadi dan bagaimana menanganinya?
ADVERTISEMENT
Tantrum atau mengamuk untuk tidak ditinggal saat mulai masuk sekolah merupakan sebuah fenomena yang sering sekali terjadi, khususnya pada anak usia dini.
Kelihatannya hampir sebagian besar kelompok bermain ataupun TK mengalami hal serupa terutama pada saat awal tahun ajaran. Pada pertemuan pertama mungkin beberapa sekolah menerapkan sistem transisi, yaitu masih boleh ditemani di dalam kelas.
Namun tak jarang pula, hal ini terus berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang kemudian akan menimbulkan dilema, baik bagi orang tua maupun guru. Untuk langkah awal, sebaiknya perlu dipahami terlebih dahulu, mengapa anak melakukan hal seperti itu.
Layaknya orang dewasa, misalnya saat mulai masuk ke tempat kerja baru, anak juga membutuhkan waktu untuk merasa nyaman. Terlebih lagi, sebagian besar periode awal hidupnya selalu didampingi oleh orang tua.
ADVERTISEMENT
Sehingga saat anak berada di sekolah dan orang tuanya tidak berada dalam jarak pandang mereka, tentu saja respon menangis, berteriak, menjerit dan mengamuk akan menjadi opsi pertama yang mereka lakukan. Hal ini lumrah. Sosok penjaga dan pengasuh yang selama dua atau tiga tahun pertama hidupnya selalu berada di sisi, kini harus ‘hilang’ meski hanya selama satu atau dua jam semata. Namun bagi anak, ini merupakan sebuah tantangan yang cukup berat.
Selanjutnya komunikasikan dengan guru atau pihak sekolah mengenai cara yang akan diterapkan untuk menanganinya agar selaras dan konsisten. Selama orang tua dapat memastikan bahwa tangisan anak di sekolah bukan karena ia merasa tersakiti, melainkan hanya ungkapan rasa takut dan bingung semata, ada baiknya mempercayakan hal tersebut pada pihak sekolah.
ADVERTISEMENT
Aturlah batas waktu, misalnya setelah tiga atau empat kali pertemuan, orang tua akan sepenuhnya membiarkan anak belajar untuk mandiri. Lalu jangan lupa untuk sering-sering mengulas tentang hal apa yang ada di sekolah, kegiatan apa yang dilakukan di sekolah, dan kapan orang tua akan mulai mengantar saja dan tidak ikut berada di dalam kelas selama proses belajar. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan anak, tidak secara mendadak dan membiarkanya mengalami ‘kejutan-kejutan’ karena ketidaktahuan akan lingkungan baru dan proses yang akan ia alami.
Meskipun langkah-langkah tersebut sudah diterapkan, bukan berarti akan menjadi jaminan bahwa anak akan dengan segera dapat mandiri tanpa menangis. Tetap saja kemungkinan tersebut akan ada. Percayakan dan yakinlah bahwa hal tersebut merupakan sebuah proses yang sekarang atau nanti, cepat atau lambat, akan dialami juga oleh anak.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, yang juga perlu diperhatikan adalah untuk membiasakan menepati janji saat proses pembelajaran mandiri di sekolah tersebut. Apabila orang tua menjanjikan menjemput, pastikan bahwa bukan orang lainlah yang akan hadir saat ia selesai sekolah. Begitu pula dengan waktu penjemputan. Bila telah menjanjikan bahwa saat anak keluar kelas, orang tua sudah akan menunggu, usahakan benar-benar menepati dan jangan membiarkan anaklah yang justru menunggu untuk dijemput.
Terakhir, biasakan untuk pamit saat meninggalkan anak di sekolah dan menyerahkannya kepada guru. Hindari mengumpat atau pergi menyelinap diam-diam karena hal ini akan berpengaruh pada kepercayaan anak terhadap lingkungan baru yang sedang coba ia kenali ini serta melipatgandakan ketakutannya pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Memang anak mungkin menangis saat dipamiti. Tidak apa-apa, cukup berikan ucapan pamit yang sederhana, selanjutnya percayakan guru untuk menangani tangisannya. Bila proses ini dilakukan secara konsisten, lama-kelamaan anak akan mulai terbiasa dan setelah merasa nyaman dan paham bahwa guru atau pihak sekolah juga merupakan sosok yang baik bagi dirinya, fenomena ini akan berkurang durasi dan intensitasnya sampai benar-benar hilang. Setiap anak berbeda-beda durasi prosesnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai tambahan, terdapat satu hal yang terkadang menjadi reflek orang tua dan tanpa disadari terucap, namun nyatanya dapat memberikan dampak besar bagi anak. Hindarilah kata “trauma”. Banyak orang tua yang menceritakan fenomena ini dengan menggunakan kata tersebut, misalnya “khawatir anak jadi trauma”. Perlu diketahui bahwa “trauma” merupakan sebuah ketakutan berlebih akibat suatu peristiwa mengguncang yang sifatnya sangat dahsyat bagi seorang individu.
Sedangkan masuk sekolah merupakan sebuah proses, yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan, namun bukan berarti luar biasa mengerikan hingga mampu menimbulkan trauma. Gunakanlah kosa kata untuk menggambarkan perasaan yang tepat dan sewajarnya, misalnya dengan menggunakan kata “takut”, “bingung”, atau “sedih”.