Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Impian Saya Terwujud: Ke Jepang dan Lihat Gunung Fuji
27 November 2020 16:13 WIB
Tulisan dari Denia Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak pernah terpikir bahwa saya yang selama ini tinggal di Bekasi bisa jalan-jalan selain di Indonesia. Biasanya kacamata saya hanya melihat pemandangan debu saja di jalanan sekitar Pondok Melati. Tahun 2018 saya bisa mewujudkan salah satu bucket list saya, yaitu jalan-jalan ke Jepang dan melihat Gunung Fuji.
ADVERTISEMENT
Memang benar kata mama kalau rezeki anak salihah enggak akan tertukar. Hari itu di grup kumparan Getaway, beberapa kawan saling memberi info tiket murah. Akhirnya dengan segala takdir semesta, terkumpul satu rombongan ke Jepang.
Perjalanan pertama kali ke luar negeri ini saya putuskan untuk tidak memakai jasa agen travel untuk memangkas budget. Untungnya kawan-kawan saya juga sepakat dan menikmati perjalanan tanpa agen travel. Ternyata memang paling seru itu cari destinasi dan pilihan transportasi sendiri.
Sebelum tiba di Tokyo tanggal 22 September 2018, saya hanya menyewa penginapan untuk dua malam pertama di Jepang. Tepatnya di daerah Ryōgoku yang dikenal sebagai kota sumo di Tokyo. Booking penginapan untuk dua malam itu tentu saja atas dasar keputusan rombongan.
ADVERTISEMENT
Jujur keputusan itu dibuat dikarenakan kami tidak bisa memutuskan mau ke mana saja untuk menghabiskan tujuh hari di Jepang. Haruskah sepanjang minggu di Tokyo atau coba cari destinasi pedesaan sekitar? Tapi kalau ke Osaka dan Kyoto, uang enggak bakal cukup. Memang nasib maksa jalan-jalan tapi dompet mentok.
Tiga hari dua malam puas melihat-lihat Tokyo. Tanggal 24 September 2018 kami memutuskan destinasi berikutnya adalah Danau Kawaguchiko, tepatnya di prefektur Yamanashi, daerah kaki Gunung Fuji. Salah satu dari lima Danau Fuji yang mudah diakses dengan bus dan kereta dari Tokyo. Durasinya sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kereta ekspres dan dua jam dengan bus.
Sebelum checkout dari penginapan bunk bed di Ryōgoku, malamnya kawan saya sudah sigap memesan kamar hotel yang menyediakan tempat tidur tatami. Sesederhana memenuhi keinginan untuk tidur di kamar Nobita dan Doraemon. Rencananya sederhana, menginap satu malam, melihat pemandangan Gunung Fuji dari dekat, dan mandi di pemandian air panas yang sepertinya akan menyegarkan pikiran kami setelah menjalani hiruk-pikuk di kota Tokyo.
Saya dan kawan-kawan memutuskan untuk pergi menggunakan bus karena ini satu-satunya kesempatan naik transportasi tersebut. Petualangan dimulai dari Stasiun Shinjuku lalu menunggu beberapa jam untuk sampai di Stasiun Kawaguchiko.
Mode perjalanan menggunakan bus ini sangat recommended untuk kalian yang penampungan kandung kemihnya terbatas alias beser. Selama perjalanan darat itu saya bisa minum 50 ml air mineral tanpa harus menahan keinginan buang air. He-he-he, mantap kan.
Kira-kira saya tiba di Stasiun Kawaguchiko jam 10 atau 11 pagi. Udara paginya, awannya, dan cahaya mataharinya beda banget. Sesampainya kaki saya menapak di aspal, langsung lah foto sana-sini, menganga-nganga saking kagumnya, sambil berandai-andai andai saja cuaca Bekasi bisa seperti Kawaguchiko pagi itu yang dingin.
Tentu saja sesampainya itu saya langsung norak kegirangan, “Anjir! Ini baru berasa Jepangnya.“ “Enak banget, sumpah! Kapan di Bekasi kayak begini!” Sambil hati-hati berjalan menuju penginapan, saya enggak luput mengambil banyak foto. Sungguh enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Jujur saja kalau dilihat dari foto di atas, cuaca saat itu lumayan terik, sedangkan kami harus tanya sana-sini untuk mencari arah. Kira-kira butuh 15-20 menit menjelajahi aspal Kawaguchiko. Wah, pikir saya kalau jalan selama itu di Bekasi pasti bakal mandi keringat. Tapi yang menariknya tidak seperti itu kalau jalan-jalan di sini, bahkan saat di puncak teriknya.
ADVERTISEMENT
Dengan ciri khas logo penginapan di sebelah kiri, deretan payung terpampang untuk dipakai pengunjung, membuat pintu bernuansa kayu itu terlihat ramah. Kaca tembus pandang yang memperlihatkan area dalam lobi itu menandakan bahwa kami tidak tersesat.
Enggak lama setelah check-in, saya dan kawan-kawan bergegas mencari sepeda sewaan. Entah firasat dari mana kami hanya mengikuti arah dari selebaran peta gratis yang kami ambil dari toko sekitar.
Danau Kawaguchiko berhasil kami jelajahi setengah hari. Enggak ingat pula berapa kilometer, sih, tapi lelahnya sepadan dengan pemandangan yang didapat. Walaupun ada alternatif lain seperti bus tour, hanya dengan bersepeda kamu bisa berhenti untuk mengambil foto, mampir ke toko buah untuk makan pisang Jepang, sekadar istirahat, dan menikmati angin sepoi-sepoi.
Langit mulai mendung, sadel dan pantat saya sudah tidak bersahabat, lelahnya bukan main. Ada kalanya kami turun dari sepeda. Alih-alih mengayuh pedal, kami jalan saja sambil menenteng sepeda sewaan itu sepanjang jembatan.
ADVERTISEMENT
Dramatis sekali kalau menyusuri jembatan sambil mendengarkan lagu soundtrack anime Slam Dunk.
Setelah sampai penginapan, mari saya ajak kalian room tour. Begini tampilan di dalam kamar kami. Sebelumnya saya kira kasur ini enggak ada apa-apanya dibanding kasur 160x120 kosan saya. Tatami dan kasurnya? Wah, super hangat dan empuk. Enggak setipis yang kalian lihat di kartun Doraemon, bahkan lebih nyaman ini daripada kasur kos saya.
Bahkan kegiatan menyusun kasur tatami ini bikin rasa lelah seharian hilang karena seru banget—maklum banyak lapisan yang harus disusun sesuai urutan. Kalau ada rezeki dan kesempatan saya akan balik lagi ke sini dan tidur pakai tatami.
Pihak hostel punya flyer atau buku panduan agar pengunjung bisa dengan mudah menyusunnya. Proses susun-menyusun kasur Nobita itu lah yang membuat jam tidur kami berkurang. Hasilnya? Besok paginya kami telat checkout karena kesiangan.
ADVERTISEMENT
Salah satu kawan saya, Reza, untungnya terbangun ketika pemilik hostel menggedor-gedor kamar kami. Saat itu juga kami kalang kabut beres-beres koper dan sikat gigi seadanya. Duh, kangen banget momen-momen itu.
Walaupun lelah luar biasa setelah bersepeda berkilo-kilo meter mengelilingi Danau Kawaguchiko akhirnya hanya dua kawan saya yang gugur. Hanya tiga orang yang lanjut jalan kaki pulang-pergi ke pemandian air panas—yang disebut Onsen—dekat penginapan. Lumayan 1-2 km lagi. He-he-he, bukan main padahal seharian hanya mampu makan pisang, dua onigiri, dan sate kulit ayam ala FamilyMart.
Di atas jam 7 malam, toko dan restoran sudah mulai tutup. Sepanjang jalan besar dan perumahan pun gelap, tidak ada kegiatan ataupun lalu lalang kendaraan. Karena itu kami hanya bisa berjalan kaki ke Onsen, mau sewa sepeda lagi toko tutup semua dan kami kehabisan budget.
Toko yang buka pun tidak terlalu banyak, biasanya hanya toko besar seperti restoran steak dan FamilyMart. Tidak seperti Bekasi yang punya dua minimarket tiap satu meter di pinggir jalan.
ADVERTISEMENT
Saking heningnya, saya menaruh kota ini di daftar kota untuk saya pensiun suatu saat nanti, di nomor dua setelah New Zealand.