news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ketika Saya Mencari Diri dari Yuyun

Denia Oktaviani
Salah satu tim Push to the Limit-nya kumparan
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2020 15:55 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denia Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pementasan ‘Namaku Yuyun, Aku Korban Kebodohan’ karya/sutradara: I. Yudhi Soenarto. Dokumentasi: Instagram/pagibuta_
zoom-in-whitePerbesar
Pementasan ‘Namaku Yuyun, Aku Korban Kebodohan’ karya/sutradara: I. Yudhi Soenarto. Dokumentasi: Instagram/pagibuta_
ADVERTISEMENT
Mungkin, tidak banyak yang tahu atau mengingat Yuyun alias YY, siswi SMP di Bengkulu berumur 14 tahun yang pada 2016 lalu diperkosa dan dibunuh. Bagi saya, YY adalah inspirasi dalam pengembangan karakter serta identitas saya.
ADVERTISEMENT
YY—dan kasusnya—juga menjadi inspirasi bagi pertunjukan teater kampus kami yang digelar di tahun yang sama dengan tragedi nahas itu. Saya memerankan Yuyun, karakter yang berangkat dari gagasan sebuah sosok YY.
Pertunjukan tersebut adalah bentuk kritik, kekesalan, dan amarah yang mendalam terhadap banyaknya kasus kekerasan seksual di Tanah Air. Ditampilkan dengan konsep multi-monolog, “Namaku Yuyun, Aku Korban Kebodohan” hadir tanpa ada interaksi fisik antar-aktor, minim gestur, dan fokus pada dialog.
Waktu persiapan kami saat itu hanya satu minggu dengan tiga hari rehearsal. Beban yang saya rasakan cukup besar, apalagi waktunya minim. Saya bukan aktor dengan jam terbang tinggi seperti senior saya di kelompok teater, lalu saya harus membawakan karakter Yuyun yang semua orang tahu kisahnya. Bagaimana saya tidak panik?
ADVERTISEMENT
Prosesnya berat. Tidak ada dialog yang tertulis di atas kertas. Sumber yang menjelaskan sosok YY juga tak banyak. Apalagi, membayangkan seperti apa trauma dan perasaan YY saat kejadian keji itu terjadi.
Saya kalut. Bagaimana kalau nantinya saya gagal? Penonton tidak bisa merasakan apa yang dirasakan YY. Bagaimana kalau penonton tidak iba? Tidak merasakan amarah, dan pesan yang ingin kami bagikan tidak sampai ke nurani penonton?
Guru saya pernah pernah bilang saat dia menjadi pembicara di pelatihan daring mingguan Teater Sastra ‘Membangun Karakter Melalui Pendekatan Stanislavski’, bahwa, “Fictional characters are choices made by playwright, directors and actors with their logic and imaginations.” Dari momen itu, saya jadi teringat, bahkan di hari pertama latihan, saya butuh waktu yang agak lama untuk membangun imajinasi. Bagaimana bisa saya menghidupkan emosi Yuyun? Saya kala itu cemas bukan main, sampai-sampai saya sering bergumam dalam hati, “Aku harap kamu mendatangiku di alam mimpi,” tapi itu tidak pernah terjadi.
ADVERTISEMENT
Kami pun latihan. Tanpa dialog, hanya mengandalkan plot yang diberikan sutradara kami. Kemudian, aktorlah yang merangkai dialog dan membangun karakter. Untuk membuat karakter yang akan kami mainkan dalam play, ada banyak pendekatan yang bisa diterapkan oleh calon aktor. Beberapa di antaranya adalah ingatan emosi, logika, imajinasi, sampai hasil dari aksi-reaksi antara aktor itu sendiri.
Dalam play lainnya, saya mungkin pernah beberapa kali memerankan korban human trafficking, anak yatim piatu yang ditemukan di pinggir jalan, dan korban kekerasan seksual. Intinya, semua play itu selalu ada interaksi fisik antara aktor dan carut-marut dalam dialog. Adegan percobaan kekerasan seksual yang dilakukan partner aktor lain juga bisa membantu dalam membentuk emosi dan karakter yang dimainkan.
ADVERTISEMENT
Kalau saya harus menggunakan pendekatan ingatan memori, berarti saya harus membongkar ingatan lama saya saat menjadi korban pelecehan seksual verbal, pengalaman hampir diperkosa di kosan yang jauh dari rumah karena harus bekerja sebagai fresh graduate, semua bisa saja dilakukan. Tapi, YY diperkosa bergantian oleh 14 remaja, tetangganya sendiri, kemudian dibunuh, dibuang ke jurang. Tidak bisa dibandingkan.
Namun, panggung ini spesial. Tidak ada aksi-reaksi secara fisik. Tidak ada reka adegan pemerkosaan di atas panggung, hanya monolog antara korban, pelaku, guru korban, psikolog, ahli hukum, aktivis, dan jurnalis. Sutradara kami, I. Yudhi Soenarto, bilang pada The Jakarta Post, “Because of the limited time, I could only mix some facts with logic and imagination. So, there are several fictitious details in the play.”
ADVERTISEMENT
“Karena keterbatasan waktu, saya hanya bisa memadukan fakta dengan logika dan imajinasi. Jadi, ada beberapa unsur fiksi di dalam adegan.”
Dokumentasi: Tesas Goes Online Vol. 2, Building a Character by IYS, Teater Sastra UI
Dari situ, saya flashback. Ada satu detail latar belakang yang saya ingat saat latihan pertama kali. Katanya, Yuyun sudah lama minta dibelikan handphone, tapi orang tuanya hanya bisa berjanji untuk menabung karena tidak punya uang. Sesaat saya bingung, karena itu terjadi juga di hidup saya.
Untungnya, saya tidak tumbuh jadi anak yang kurang ajar, seperti mogok sekolah karena tidak dibelikan HP seperti skenario ala sinetron. Walau sebenarnya ada perasaan iri, tapi tentu tidak saya ucapkan. Dari memori itulah terbangun karakter Yuyun. Berkat pengalaman pementasan ini juga, makin banyak rasa syukur yang saya ucapkan karena bisa bertumbuh dan belajar dengan baik.
ADVERTISEMENT
Hari pementasan pun tiba. Telapak tangan saya berkeringat, jantung saya sempat tak bisa dijinakkan selama beberapa menit. Saya cemas melihat ketenangan pengunjung di lobby. Bahkan saat saya dirias, masih saja saya bergumam dalam hati, “Aku harap kamu mendatangiku di hari pementasan,” yang mana—tentu saja—itu tidak terjadi. Saya hanya bergumam sebagai sugesti untuk fokus. Lebih tepatnya, menenangkan diri.
Suasana di Gedung 9, FIB UI. Dokumentasi: Instagram/pagibuta_ (kiri & kanan), Instagram/narasastra (tengah).
Sesaat sebelum standby, saya menyempatkan diri menyambangi tempat duduk penonton. Saya memandangi panggung, tepatnya balai-balai Yuyun, tempatnya berbaring nanti selama pementasan. Sambil mengamati lampu sorot yang sedang diuji coba sekaligus menahan diri dari dinginnya auditorium. Saya menenangkan diri dengan menghirup dan membuang napas secara perlahan. Waktu itu, auditorium diselimuti aroma dupa yang dibakar dan aromanya membantu saya menjadi tenang. Saya pun berjalan menuju belakang panggung untuk bersiap.
Panggung tampak depan sebelum pementasan dimulai. Dokumentasi: Instagram/pagibuta_
Tak terasa, saya telah menghabiskan waktu 2,5 jam di atas panggung. Semua terjadi begitu cepat, dan pementasan selesai. Lampu kembali dinyalakan, saya lihat auditorium dipenuhi penonton yang bertepuk tangan. Setelah para aktor dan kru berkumpul di tengah panggung untuk membungkukkan badan serta berterima kasih pada penonton, saya ke belakang panggung dan menangis.
Dokumentasi: Instagram/pagibuta_
Masih pada tahun yang sama, pada bulan November, saya diterima kerja di kumparan. Walau saya bukan reporter yang setiap hari turun ke lapangan, bertemu banyak orang atau membuat berita, saya tetap bersentuhan dengan berita-berita yang ada—entah itu yang ditulis pembaca (user story) atau yang diproduksi redaksi.
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, selama tiga tahun pertama di kumparan, saya hampir tidak pernah membaca isi berita kekerasan seksual. Saya hanya klik judulnya, skimming, lalu tutup. Jujur, saya takut. Sampai akhirnya, bulan Mei lalu, saya memberanikan diri untuk bertanya pada Mas Yudhi di sebuah momen latihan daring yang saya sebutkan tadi.
“Mas, kenapa sampai sekarang saya masih takut membaca berita kasus kekerasan seksual? Apa pendekatan saya saat latihan waktu itu salah?” tanya saya sambil menahan tangis, sampai nyaris tidak fokus pada jawaban Mas Yudhi. Kalau tidak salah ingat—saya sampai menelepon kawan latihan saya untuk meyakinkan ingatan saya—Mas Yudhi menjawab seperti ini:
“Waktu itu kamu habis kelar mentas, enggak pernah latihan lagi. Gimana kamu mau lepas dari itu? Kamu tetap harus latihan lagi.”
ADVERTISEMENT
Jadi, sepemahaman saya, karakter Yuyun ini masih menempel di saya. "Nyangkut", kami menyebutnya. Setidaknya, kata "nyangkut" inilah yang paling pas untuk mendeskripsikan kondisi saya. Yuyun ternyata hidup dalam diri saya. Dia bersarang dalam nurani saya, membangun rasa takut di alam bawah sadar saya, yang pada akhirnya berpengaruh pada pengembangan karakter dan identitas saya sebagai manusia.
Latihan kala itu hanya tujuh hari. Tapi, pengaruhnya sampai empat tahun kemudian. Mana saya tahu akan begini? Baru-baru ini saya sadar, ternyata saya terlalu lama diam dan menyimpan pertanyaan. Saya tidak mencari pertolongan. Bisa dibilang, saya menolak untuk melakukannya karena saya pikir ini bukan masalah besar.
Yuyun menceritakan kejadian hari itu. Dokumentasi: Instagram/pagibuta_
Kerjaan saya di kumparan berubah pada Juni 2020 lalu. Saya ditugaskan untuk menjadi editor berita. Artinya, mau tak mau saya harus baca berita dari awal sampai akhir. Termasuk berita-berita pemerkosaan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana cara saya bertahan? Apakah saya harus mencari karakter lain (dalam theater play yang lain) agar Yuyun tergantikan di dalam diri saya?
Tidak.
Caranya, ya, saya mencari pertolongan. Saya beranikan membuka diri di lingkungan yang aman. Toh, kenyataannya, sangat membantu, tidak seburuk yang saya cemaskan. Saya merasa proses inilah yang membantu saya belajar tentang diri saya sendiri.
Kalau kata Bapak Teater Konstantin Stanislavski, “Kecuali teater dapat mendefinisikan dirimu—membuat dirimu menjadi manusia yang lebih baik, tinggalkan saja teater.”
P.S. Terima kasih untuk Yuyun (karakter yang terinspirasi dari kasus YY), I. Yudhi Soenarto, dan keluarga Teater Sastra UI untuk proses yang sangat berharga ini. Tidak lupa, Anissa Sadino yang telah memperhatikan kata per kata dalam cerita ini dengan tulus, terima kasih atas bimbingan dan kasih sayangmu.
ADVERTISEMENT