Konten dari Pengguna

Sepeda dan Kenangan Masa Kecil

Denia Oktaviani
Salah satu tim Push to the Limit-nya kumparan
1 Desember 2020 18:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denia Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sesi foto sebelum mulai petualangan di Danau Kawaguchiko, Jepang. Dokumentasi: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Sesi foto sebelum mulai petualangan di Danau Kawaguchiko, Jepang. Dokumentasi: Pribadi.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, sepeda adalah simbol kenangan yang spesial. Sepulang dari Jepang pada tahun 2018 lalu, saya tersadar dokumentasi seminggu di sana kebanyakan foto-foto sepeda, gedung, dan jalanan.
ADVERTISEMENT
Saya menatap foto-foto tersebut berulang kali. Memoles foto-foto sepeda itu agar lebih cantik dan estetik di aplikasi editor foto. Setelah saya puas dengan warna dan komposisinya, pasti saya jadikan wallpaper dan background di smartphone serta media sosial saya.
Sesi foto sebelum mulai petualangan. Dokumentasi: Rita Kartika.
Ketika mengunjungi daerah kaki Gunung Fuji, Danau Kawaguchiko, saya dan kawan-kawan menghabiskan setengah hari berkeliling dengan sepeda. Mengelilingi jalan raya, gang, dan terowongan. Setelah bertahun-tahun tidak merasakan bersepeda berkelompok seperti itu, di tengah jalan raya dengan cuaca yang segar, mengingatkan saya betapa mudahnya dulu untuk bahagia.
Hanya dengan keliling kompleks di sore hari dengan sepeda bersama teman-teman.
Menyeberangi taman bunga di pinggir Danau Kawaguchiko. Dokumentasi: Rita Kartika.
Start point mengelilingi Danau Kawaguchiko. Dokumentasi: Rita Kartika.
Sejak berumur 6 tahun, saya selalu menghabiskan waktu untuk berkeliling dengan kawan-kawan. Pagi dan sore bersepeda, lalu malam main basket atau bulu tangkis di lapangan. Hingga umur 12 tahun, kegiatan itu tidak lagi saya lakukan karena harus pindah rumah. Waktu itu saya menangis seminggu penuh karena rindu rutinitas dan kawan sepermainan. Sungguh masa kecil yang menyenangkan dan mengharukan.
ADVERTISEMENT
Setelah bermalam di Kawaguchiko, kami kembali ke Tokyo. Tepatnya tinggal beberapa hari di daerah Shinagawa. Kali ini kami menyewa satu rumah dengan fasilitas kamar mandi dan dapurnya. Lokasinya berada di kompleks perumahan yang antar-rumahnya tidak banyak berjarak.
Tapi untuk ukuran kompleks yang rumahnya berdekatan, kompleks ini terbilang tenang dan tidak begitu ramai senda gurau tetangga. Tidak seperti di pinggiran Bekasi yang tiap kali ketemu tetangga di jalan pasti ada saja pertanyaan, “Mau ke mana?” atau “Pulang, dik?”
Dua malam di daerah Shinagawa, saya melihat ternyata demografi kompleks tersebut memang kebanyakan dihuni lansia. Pantas saja, lingkungannya tenang dan tidak ribut ketika hari mulai gelap. Atau memang itu ciri khas kompleks di Jepang, ya?
ADVERTISEMENT
Kebanyakan sepeda yang saya temukan di sekitar kompleks pasti diparkir di sebelah rumah mereka masing-masing tanpa digembok. Saya pernah dengar rumor katanya kalau kehilangan barang di Jepang pasti akan kembali, ternyata benar, lo. Tutup kamera saya sempat tertinggal dua kali di Kuil Sensoji dan tidak ada tuh yang iseng mencurinya.
Sepeda tetangga di Shinagawa, Tokyo. Dokumentasi: Pribadi.
Macam-macam jenis sepeda tetangga di Shinagawa, Tokyo. Dokumentasi: Pribadi.
Sepeda tetangga yang diparkir di belakang sekolah di Shinagawa, Tokyo. Dokumentasi: Pribadi.
Selagi tinggal di Shinagawa, kali ini kami menjajal kawasan Shibuya dan Asakusa. Menyusuri Takeshita Street atau yang dikenal sebagai pusat Harajuku di Shibuya dan pergi ke Kuil Sensoji di Asakusa untuk melihat orang-orang beribadah. Di perjalanan selalu saja terlihat sepeda yang menarik perhatian dan mengingatkan sepeda pertama saya.
Bentuknya seperti tokyobike pada umumnya, dengan keranjang di kemudi dan tempat duduk boncengan di belakang.
Sepeda di depan toko kawasan Kuil Sensoji, Asakusa, Tokyo. Dokumentasi: Pribadi.
Sepeda lewat di depan kawasan Kuil Sensoji, Asakusa, Tokyo. Dokumentasi: Pribadi.
Tokyo punya beberapa terowongan seperti ini khusus parkiran sepeda untuk umum. Biasanya terletak di sudut gang. Foto dijepret di kawasan Shibuya. Dokumentasi: Pribadi.
Sepeda di depan toko kawasan Kuil Sensoji, Asakusa, Tokyo. Dokumentasi: Pribadi.
Kalau ini salah satu saudaranya sepeda, becak asal Jepang yang ditarik, yaitu Jinrikisha. Dokumentasi: Pribadi.
Hari-hari terakhir saya di Tokyo, saya pindah penginapan lagi. Tepatnya kembali tidur di bunk bed semalam sebelum kembali ke Jakarta. Daerah Asakusabashi ini memang agak jauh dari pusat, seperti Shibuya atau Asakusa.
Peta Asakusabashi. Dokumentasi: Pribadi.
Namun, saat malam pun di kawasan ini ramai oleh para karyawan yang pulang kerja. Beda dengan kawasan Kawaguchiko. Misalnya saja orang-orang ini. Mereka mengantre dan menikmati dinginnya malam itu dengan segelas alkohol di kedai-kedai pinggiran Asakusabashi, tepat setelah Tokyo seharian diguyur hujan.
Kerumunan di sebuah kedai alkohol di pinggir jalan Asakusabashi. Dokumentasi: Pribadi.
Sepeda yang diparkir di pinggir jalan Asakusabashi. Dokumentasi: Pribadi.
Sepeda yang diparkir di pinggir jalan Asakusabashi. Dokumentasi: Pribadi.
Kawasan Asakusabashi. Dokumentasi: Pribadi.
Ketika pagi hari, jalanan Asakusabashi kembali tenang dengan segala kesibukannya. Bersih seperti semalam tidak terjadi apa-apa. Kembali melihat kumpulan foto ini pun selalu berhasil membuat saya senyum-senyum sendiri.
ADVERTISEMENT
Selain bangga dengan hasil jepretan saya sendiri, ada rasa nostalgia tiap kali saya melihat foto-foto sepeda ini. Mereka seperti kumpulan simbol kebahagiaan dan kenangan. Di tahun 2019, saya putuskan untuk membeli sepeda. Sepeda pertama yang saya beli dengan uang saku sendiri.
Perkenalkan namanya Thomas, usianya sudah genap berumur satu tahun.
Denia dan Thomas di parkiran kantor kumparan. Dokumentasi: Pribadi.