Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apakah Fenomena Petir Dapat Dijadikan Parameter Prekursor Gempa Bumi?
13 November 2018 11:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Deni Septiadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Viral beberapa hari lalu terkait kemunculan kilauan cahaya berwarna hijau di langit utara Kota Mataram NTB (Nusa Tenggara Barat) saat terjadi gempa bumi berkekuatan 7 Magnitudo pukul 19.46 WITA. Gempa bumi besar itu telah memicu kerusakan yang cukup parah bahkan menimbulkan korban jiwa. Beberapa menyebut kilauan cahaya hijau itu sebagai petir yang menyambar.
ADVERTISEMENT
Sementara ada juga yang berpendapat bahwa kilauan cahaya tersebut merupakan aurora yang sering terjadi di kutub, benarkah demikian? Aurora sendiri merupakan fenomena yang menghasilkan pancaran cahaya menyala-nyala pada lapisan ionosfer akibat interaksi antara medan magnetik dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari (angin surya).
Fenomena aurora terjadi di daerah kutub baik utara maupun selatan karena densitas udara yang rapat, sementara di ekuator densitas yang renggang secara fisis tidak memungkinkan terjadinya benturan medan magnetik. Lantas petir kah itu yang dilihat oleh warga? Jika memang petir, maka sepertinya ada prospek positif dalam prediksi gempa bumi yang dikenal sebagai “Prekursor Gempa Bumi”.
Sebagaimana diketahui, pernah terjadi gempa bumi besar di Kobe, Jepang pada 17 Januari 1995 pukul 05.47 akibat patahan Nojima pada Pulau Awaji yang mengakibatkan kerusakan dan korban jiwa yang banyak. Setelah kejadian gempa bumi tersebut, Wadatsumi (1995) mengumpulkan berbagai macam kejadian yang menyertai gempa tersebut.
ADVERTISEMENT
Data dan fakta serta berbagai dokumen foto berbagai kejadian disusun ke dalam buku 1519 Statements: Precursors of the Kobe Earthquake. Hasilnya didapat 872 kejadian (51%) kelakuan tidak biasa oleh binatang (unusual animal behavior), 490 kejadian (29%) tanda-tanda di langit dan atmosfer (unusual sky and atmosphere), 189 kejadian (11%) fenomena daratan dan lautan (unusual sea and land phenomena), serta keanehan aktivitas peralatan listrik (unusual electric appliances).
Temuan tersebut menjadi kajian penting untuk prediksi gempa bumi atau yang dikenal sebagai prekursor gempa bumi (earthquake precursors). Kemudian, bagaimana hubungannya dengan fenomena petir? Bisakah petir menjadi penanda akan gempa bumi yang akan terjadi? Secara definisi, petir merupakan lepasnya muatan listrik (discharge) tinggi dalam waktu singkat yang dapat terjadi di dalam satu awan (Intra Cloud, IC) antara awan dengan awan (Cloud to Cloud, CC) ataupun dari awan ke permukaan tanah (Cloud to Ground, CG).
ADVERTISEMENT
Semua itu diikuti oleh proses pemanasan dan pemuaian udara sepanjang luah listrik sehingga terdengar gelombang suara sebagai guruh (thunder). Pada zona-zona aktif gempa bumi seperti subduksi, megathrust, dan sistem patahan permukaan sebelum terjadinya gempa bumi, batuan di bawah permukaan akan mengalami tegangan (stress) yang akan melepaskan gelombang elektromagnetik sampai ke permukaan dan atmosfer yang dikenal sebagai LAI (coupling Litosfer-Atmosfer-Ionosfer).
Elektromagnetik yang dilepaskan tersebut akan menghasilkan medan panas dan mampu mengikat partikel uap-uap air di sekitar lapisan batas permukaan atmosfer (LBA) sehingga secara tidak langsung mengarahkan awan-awan konvektif yang terbentuk menuju zona gempa bumi yang mana peristiwa ini dikenal sebagai Earthquake Preparation Zone.
Sementara itu, awan-awan konvektif yang telah terbentuk dengan arus udara ke atas (uppdraft) maupun arus udara ke bawah (downdrfat) yang cukup kuat mampu meningkatkan proses tumbukan-tangkapan (kolisi-koalisensi) antara partikel awan (tetes) dan partikel presipitasi sehingga memicu terjadinya pemisahan muatan baik positif (atas awan) maupun negatif (tengah awan).
ADVERTISEMENT
Kejutan gelombang elektromagnetik yang dihasilkan dari zona gempa bumi bahkan sampai ke lapisan ionosfer mampu menjadi pemicu dan menginduksi terjadinya petir yang bersumber dari awan terutama petir awan ke tanah (Cloud to Ground, CG) baik positif maupun negatif. Peningkatan aktivitas petir ini seakan menjadi tak biasa (unusual) karena diinduksi secara mendadak dari gelombang elektromagnetik yang dilepaskan oleh energi gempa bumi.
Aktivitas peningkatan petir dapat diukur menggunakan instrumen ground based berbasis Low Frekuensi (LF) baik menggunakan metode Magnetic Direction Finding (MDF) maupun Time of Arrival (ToA) atau kombinasi keduanya (blended), mengingat jenis petir yang ditangkap adalah jenis petir CG. Beberapa peneliti dunia seperti di Taiwan (1993-2004) telah melihat hubungan antara kejadian gempa bumi (M≥5.0) dengan aktivitas petir dan melihat anomali aktivitas petir 18 hari sebelum terjadinya gempa bumi besar.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, penelitian tentang aktivitas petir sebagai parameter prekursor juga sudah dilakukan secara intens oleh negara-negara seperti Amerika, Tiongkok, dan Italia sebelum terjadinya gempa bumi besar. Dengan segala tantangannya, pengembangan penelitian prekursor gempa bumi di Indonesia dengan parameter aktivitas petir selayaknya menjadi pertimbangan penting untuk mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan.
Distribusi spasial kejadian petir dan asosiasinya terhadap PELA (Pre-Earthquake Lightning Anomaly) 18 hari sebelum dan sesudah gempabumi. a) Distribusi spasial petir sebelum (panel kiri) dan setelah (panel kanan) M ≥ 5.0, 5.5 dan 6.0; b) Proporsi PELA (Pre-Earthquake Lightning Anomaly) untuk M ≥ 5.0, 5.5 dan 6.0 (Liu dkk, 2015).